ONE STEP CLOSER
[A Savior]
"Aku tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta pandangan pertama. Bagiku, itu mustahil."
Now Playing : [What A Feeling-One Direction]
-RUMAH-
Kota Hujan, 14 Oktober 1999
"Kembaliin flasdisknya, Na! Itu punya gue!" Gadis dengan rambut pirang sebahu itu mencengkram erat lengan Adriana. Membuat Adriana setengah meringis menahan jengkel. Pasalnya, kuku-kuku lancip yang dicat sewarna pelangi itu serasa menancapi kulit polosnya.
Adriana melepaskan cengkraman Thalia dalam sekali sentakan dan melotot padanya. "Gue bakalan kasihin flashdisk ini ke Bu Ida sebagai bukti kalo lo dapet bocoran kunci jawaban ujian matematika kemarin, makanya lo bisa dapet nilai sebagus itu!"
"Sialan. Apa sih mau lo itu? Lo enggak tahu, kan, seberapa besar usaha gue buat ngedapetin bocoran itu? Gue cuma pengen dapet nilai bagus biar enggak dimarahin bokap nyokap gue mulu, Na!"
Adriana mendengus geli. "Hah, lucu. Lo pikir orangtua lo bakalan bangga ngelihat nilai setinggi langit lo yang didapat dari ketidakjujuran?"
Thalia ganti melotot garang ke arahnya. "Ngaca lo, Na! Lo pikir orang tua lo bangga punya anak yang kerjaannya cuma bikin onar di sekolah?! Yang ada juga mereka malu punya anak kayak elo!"
Adriana mengepalkan tangan dengan geram. Berani sekali gadis berotak miring ini menghakimi hidupnya. Ia maju mendekat dan berbisik geram.
"Gue udah ngingetin lo berkali-kali. Jangan main-main sama gue, Tali-Tali." Bersamaan dengan itu, Adriana mencengkram erat tangan kiri Thalia lalu memelintirnya tanpa ampun.
"lle-ppas, Nn-na. Aam-mppu-un."
Adriana menghempaskan begitu saja lengan Thalia yang sudah semerah wajah jeleknya. Dengan setengah puas, Adriana meninggalkan Thalia yang masih sesenggukan di belakangnya menuju kelas.
"Ana!"
Adriana melirik malas sosok lelaki yang sedang melambai-lambai ke arahnya seperti anak idiot di depan kelas sepuluh. Pasti pacarnya itu sedang melakukan rutinitas hariannya seperti biasa, mengganggu anak-anak yang menurut versi geng mereka masuk dalam kategori unik.
Biasanya, Adriana lebih memilih untuk tak acuh dan melenggang pergi saat mendapati Saka melakukan rutinitasnya yang satu itu. Tapi, kali ini Adriana memilih untuk diam sejenak di tempat, mengamati si bocah unik bahan bully-an Saka kali ini yang tampak berbeda dari biasanya. Sepenglihatannya, selain lelaki unik itu lebih tinggi dari 'Saka and The Geng', badannya juga proposional, tidak terlalu kurus ataupun gemuk. Sama sekali bukan tipe unik Saka yang biasanya. Dari punggungnya saja Adriana juga sudah bisa menebak kalau bocah itu juga tidak memiliki masalah dengan tampangnya. Ia merasa sedikit tertarik. Apa yang membuat mereka mengategorikannya ke dalam kategori unik?
Baru setelah Adriana mengamatinya lebih teliti, ia sungguh shock dengan apa yang ia temukan. Lelaki itu memang sungguh keterlaluan uniknya. Mana ada sih, lelaki normal seumuran dia yang menggunakan kaus kaki sewarna bunga di musim semi yang warnanya mencolok mata ke sekolah? Memakai sandal jepit pula. Dan saat mata mereka tanpa sengaja beradu pandang karena dorongan keras Erik -kawan sekomplotan Saka- yang membuat lelaki unik itu terjembab, Adriana terpaku sejenak setelah akhirnya ia tersadar dan memalingkan wajahnya yang terasa panas. Rasanya seperti ada desiran aneh dalam darahnya, membuatnya gagal fokus. Mengabaikan desiran aneh yang tiba-tiba menyerangnya, Adriana sungguh dibuat shock berat lagi. Lelaki itu dengan tidak tahu malunya mengenakan sabuk berlogo tulisan SD yang sungguh terpampang nyata. Belum lagi kacamata berbingkai putihnya yang err.. terlalu bulat, terlalu besar, dan yang pasti.. terlalu melorot. Seandainya bisa, rahang Adriana pasti sudah melorot saking cengonya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah
Teen FictionRumah itu.. Tempat dimana kita bisa jadi diri kita sendiri yang sebenar-benarnya. Tanpa riasan apapun, tak ada polesan sedikitpun. Ia, menyediakan bagi kita kenyamanan berarti yang tak mungkin dapat kita sediakan sendiri. Dan yang terpenting, ialah...