Sebuah One-Shoot
Aku sudah berkecimpung di dunia ini cukup lama dan menghabiskan waktu dan tenaga yang tidak sedikit itu bukan untuk disebut tidak berguna, tidak ada skill bahkan jelek.
*
Kenapa orang begitu senang menggunjing masa lalu demi menemukan celah untuk dihujamkan kembali pada inti bumi?
Aku membuang tablet di atas kasur. Jika ada yang mengatakan membaca komentar buruk benar-benar merusak otak dan membikin cepat mati, maka aku setuju.
Apa mereka tidak ada kerjaan lain selain memberikan komentar buruk pada wajah kami ketimbang penampilan atau bahkan lagu kami.
Dasar sampah!
Aku beranjak ke dapur. Tidak ada orang di dorm. Sinb dan Yewon masih di sekolah. Yuna dan Eunha masih berlatih vokal untuk project baru kami dan Yerin ada jadwal sendiri. Aku baru saja pulang dari kelas akting, memakai bus untuk sampai ke dorm karena para manager terjadwal penuh menemani member dengan jadwal individu masing-masing.
"Tidak ada yang mengenaliku." Aku bilang ketika mereka sedang mendiskusikan bagaimana aku sampai di tempat kursus.
"Kalaupun ada toh tidak akan terjadi kegemparan sebagaimana jika mereka bertemu Sinb atau Yuju." Aku meyakinkan lagi. Mereka akhirnya setuju untuk membiarkanku pergi sendiri dengan public transportasi.
Sudah sangat lama aku tidak naik bus. Terakhir adalah ketika aku masih dalam trainee. Atmosfer bus yang membawaku kembali pada masa-masa sulit sebelum debut. Aku merindukannya. Melihat ke luar jendela. Melihat orang-orang sibuk dengan aktivitas masing-masing dan yang paling aku kagumi, panorama temaram dari gedung-gedung bertingkat sepanjang perjalanan. Menyenangkan sekaligus melankolis.
"Permisi, boleh aku duduk di sini?" seorang perempuan yang ku kira masih SMA meminta ijin untuk duduk di sebelahku. Maksudku kenapa harus minta ijin pada fasilitas publik. Tetapi demi sopan santun, aku mengangguk, mempersilahkan. Dia tersenyum manis kemudian duduk dan bermain ponsel sementara aku lebih senang memandangi panorama di luar jendela.
Klik!
Aku mendengar suara jepretan kamera tepat di samping telingaku. Seketika aku memutar kepala dan mendapati gadis itu menatap layar kameranya puas dengan hasil jepretannya.
Apa dia barusan memotretku?
"Apa yang kau lakukan?" aku bertanya, terkejut akan tingkahnya.
"Hai!" dia menyapa dengan senyum manis yang dia miliki.
"Apa kau barusan memotretku?" Dia lebih terkejut atas pertanyaanku yang sebenarnya tidak salah.
"Excuse me?" matanya membesar tidak mengerti. Aku mengamati gadis itu lagi. Bola mata coklat bersembunyi di balik kacamata persegi yang besar. Rambut coklatnya dibiarkan tergerai jatuh di bawah bahu. Syal berwarna kelabu melilit lehernya dengan rapi juga kardingan coklat yang membungkus tubuh kecilnya rapat.
"Maaf, aku sedang membidik gedung pencakar langit yang di sana!" ujarnya menjelaskan. Aku menatapnya tajam, mencari kejujuran dari mata coklatnya. Tidak menemukan adanya kebohongan, aku berbalik, kembali menatap ke luar jendela.
"Boleh aku tahu dari mana asalmu?"
Huh? Aku menoleh dan bertemu mata jelita bulat yang bersinar penuh percaya diri sedang menatapku, menanti jawabanku.
"Kau asli Seoul?" dia bertanya lagi. Aku mengangguk ragu.
"Dari mana asalmu?" aku tergerak untuk bertanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SLICE LIFE OF KIM SOJUNG
Fiksi PenggemarThere's a moment when Sojung dunno how to handle her mind