11. Di Bawah Spathodea (d)

1.3K 243 24
                                    


6

Setelah "kencan" pertama dengan Geo (hatinya menghangat hanya mengingat namanya), Maya pulang dan menunggu Juno yang mengambilkan mobilnya dari bengkel. Tetapi perbaikan radiator lebih lambat dari yang diperkirakan. Lewat Ashar, Juno baru datang. Belum sempat makan siang. Maya menemaninya makan. Masakan Bunda waktu itu.

Sekrup pipinya masih kendor karena Geo. Dan Juno menatapnya penuh selidik. "Kenapa senyum-senyum terus?"

"Tidak," bantah Maya, memasang ekspresi datar. Tapi tidak lama, ia tergelak sendiri.

Juno mengangkat alis. Sendoknya menggantung di udara.

Maya menutup mulut dengan tangannya. "Maaf. Aku masih geli mengingat cerita-cerita Geo tadi."

"Geo?"

"Ya. Dia mengantarkan aku mengantar-jemput Keysha les piano. Kami menunggu dua jam di taman dekat tempat les. Dan ia menceritakan pengalaman-pengalaman lucunya saat haiking. Geo pernah tersesat, pernah terperosok, dilempari biji-bijian oleh kawanan monyet, hingga kehilangan sebelah sepatu di sungai."

"Kedengarannya seperti bencana." Juno melanjutkan makan.

"Yah, awalnya memang begitu. Tapi waktu menceritakan kembali, ia bisa memandang setiap masalah dari sudut lain. Ia bisa menertawakan kebodohannya sendiri. Cara berceritanya juga lucu."

"Begitu, ya?" kata Juno, mengamati wajahnya lagi. "Kamu suka kepadanya?"

Pertanyaan lugas. Tetapi membuat Maya gugup sesaat. Ia lalu menjawab diplomatis. "Yah, dia baik dan humoris. Spontan dan peka."

"Hmm." Juno meletakkan sendok. Nasinya bersisa. Sepertinya tidak berminat melanjutkan makan. "Yang jelas, dia suka kepadamu."

"Apa?" Maya terbelalak. Dipukulnya bahu Juno main-main. "Bagaimana kamu tahu? Kalian baru bertemu."

Juno tersenyum samar, mengalihkan persoalan. "Aku agak lelah. Kita bicara nanti malam saja?" Tanpa menunggu jawabannya, Juno bangkit. Membawa piring ke bak cuci. Menampung sisa nasi ke dalam plastik, untuk diberikan kepada ayam tetangga nanti. Ia mencuci piring tidak sambil bersenandung. Maya memandangi punggungnya. Merasa bersalah telah membuatnya repot dan kelelahan, sementara ia enak-enakan mengobrol dengan Geo. Barangkali itu yang membuat Juno bersikap kaku. Maya mengembuskan napas keras-keras. Menghapus semua cengiran dari bibirnya.

Rambut lurus Juno sudah mencapai kerah. Mencuat ke segala arah. Bahkan poninya sudah menjuntai di depan kacamata. Kapan terakhir ia ke tukang cukur? Maya pergi ke kamarnya sebentar, mengambil gunting, sisir, dan selembar kerudung persegi empat.

"Juno, duduk sini." Maya menunjuk lantai di depan kursi yang didudukinya. "Kurapikan rambutmu. Pasti sudah tidak nyaman."

Juno menoleh. Sesaat ekspresinya sulit terbaca. Tapi kemudian ia tersenyum, dan menuruti perintah. Maya memasang kerudung di bahunya untuk menampung potongan rambut. Dan mulai bekerja. Rambut Juno menguarkan wangi sampo bercampur sangit asap jalanan.

"Terakhir kamu memotong rambutku, kamu menyulapku jadi modis dan keren."

Maya tertawa. "Bagaimana kamu bisa menarik perhatian Angie kalau penampilanmu kembali seperti si culun norak yang terkena puting beliung, sama sekali tak ada bekas Pangeran Guru Minda."

"Kalau tahu Angie bakal seagresif itu, aku lebih suka menjadi si culun norak tersambar petir dan sama sekali tidak dilirik olehnya."

Angie masih mengejar-ngejar Juno hingga lulus SMA, lalu akhirnya melepaskannya karena mendapatkan incaran baru. Mereka tergelak mengenangnya. Kebekuan itu pun mencair dengan sendirinya. Tetapi mereka memang tak pernah lama bersitegang, apalagi kalau tidak ada alasan yang jelas.

Pangeran Bumi Kesatria Bulan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang