Plan B

23 3 0
                                    

Perbatasan Inggris-Perancis

Setelah lebih dari 3 jam terbang dari kota Paris, mereka pun terbang diatas selat English Channel.

"Sepertinya kita telah sampai di perbatasan." Mark menjelaskan

"Ya, kecuali kalau kita kehabisan bahan bakar dan terjun ke selat itu. Ditambah lagi, kau telah membuatku membuka parasut cadanganku." Giselle nampak marah sekaligus khawatir karena jarum penunjuk tangki bahan bakar hampir menunjuk ke huruf 'E'.

"Memangnya kita mau kemana?" Tanya Mark.

"London"

"Kau gila? Kita bisa mati kalau kesana!"

"Tidak, kau tidak akan berpikir kalau kita akan mendarat di landasan udara bukan? Kita akan mendarat dirumahku"

"Tunggu, kau orang Inggris?"

"Bukan, aku orang Perancis. Tapi tinggal di Inggris selama 10 tahun, lalu aku pindah ke New York. Hingga aku bertemu dengan Jean. Dia dulunya sahabatku, lalu dia menjadi bos ku, sebelum kita melarikan diri dengan pesawat sialan ini." Giselle menjelaskan dengan memandang kaca depan.

"Apa kau yakin kalau kita melarikan diri kita akan terlepas darinya?" Tanya Mark.

"Yah, aku juga tidak yakin, mengingat dia selalu berhasil melacak ku." Giselle menghela nafas.

Perlahan-lahan pesawat mulai melambatkan kecepatannya, dan condong ke bawah.

"Sial! Kita kehabisan bahan bakar, lebih baik kita turunkan ketinggiannya sekarang." Giselle berkata sambal panik, lalu mulai menurunkan kemudi secara perlahan-lahan.

"Kita menuju ke sebuah teluk." Jelas Mark sambil berteriak.

"Yah, itu bagus" Giselle berkata tenang.

"Lebih baik aku terjatuh di air daripada di daratan!" Mark nampak ketakutan.

"Tidak apa-apa sayang. Ayo kita terjun." Giselle mulai keluar dari ruangan pilot dan mendekati pintu darurat.

"Kita harus mendarat diatas pasir, disana! Ingat, hanya pasir! Pastikan kau hanya terjatuh di pasir!" Giselle memberikan arahan sambil berteriak kepada Mark.

Giselle mengambil ancang-ancang dan mulai terjun bebas. Baju yang dipakainya mulai berkobar terkena angin.

"Apa yang dilakukan wanita jalang itu? Sial, kurasa dia tidak main-main. Apa aku memang harus terjun? Ah, baiklah!"

Mark pun mulai terjun menyusul Giselle dibawah.

Hamparan pasir pun menanti mereka berdua. Sebuah pantai terpencil dengan pohon-pohon serta semak-semak hijau dibelakangnya. Mereka melayang selama 20 detik sebelum akhirnya hamparan pasir yang menangkap Giselle tertekan kedalam seperti trampolin, lalu Giselle hilang tertelan pasir, disusul oleh Mark yang terjatuh di tempat yang tak jauh dari Giselle mendarat.

Hingga mereka berdua terjatuh diatas air setinggi pinggang orang dewasa, sebuah kolam raksasa dalam sebuah ruangan berdinding besi dengan penerangan lampu dari bagian samping. Dari atas jatuh lender dari benda kenyal seperti campuran agar-agar dan lumut, berwarna persis seperti pasir. Diikuti suara seorang wanita.

"Selamat datang kak!" Suara halus dan lembut namun cukup keras menggema di ruangan itu.

"Oh, dan siapa kau?" Gadis berkacamata dengan rambut yang diikat kuda melanjutkan dengan mata yang menatap Mark.

"Um, aku re..kan kerja Giselle." Mark menjawab.

"Ho.. how could you do that?!" Mark bertanya dengan tangan yang menunjuk keatas, ketempat darimana lender berjatuhan.

"Yah, aku telah menghitungkan komposisi dari benda yang ada diatas situ. Benda itu menetralkan kecepatan saat kau jatuh dari ketinggian, lalu akhirnya kau terjatuh di air yang sama saja saat kau terjun dari papan lompat sebuah kolam renang. Sebenarnya itu konsep yang cukup sederhana kalau kau mencermati dengan baik." Gadis dengan papan data di tangannya itu menjelaskan.

"Yah, kurasa. Kecuali bagaimana cara kau membuat ruangan sebesar ini pada bawah tanah sebuah teluk di Inggris dan tanpa ada seorangpun yang mengetahui semuanya!" Mark terlihat terengah-engah.

"Setelah semua kejadian ini, aku yakin kau telah mengetahui markasku, kakakku, da.."

"Cukup Isabel, ayo kita pergi. Aku ingin mengistirahatkan otak jeniusku." Giselle menyela dan mulai menuju ke permukaan.

"Tunggu, sejak kapan kau naik?" Mark bertanya heran. Lalu mulai berenang ke tepian menyusul Giselle.

"Apa kau mau meninggalkanku di tempat ini?" Mark bertanya.

"Ya, kalau kau mau tetaplah disini. Atau kau juga bisa ikut dengan kami." Giselle berkata dengan enteng ke Mark.

Mereka bertiga mulai berjalan menuju lorong. Menjauhi ruangan besi besar di belakang mereka. Lalu Isabel memencet tombol yang berada tepat disamping kiri lorong itu. Sebuah tombol merah besar.

Dengan segera muncul lapisan kaca tebal setelah Isabel memencet tombol itu. Menutup pintu menuju ruangan besi tadi. Diikuti lapisan pasir yang sangat tebal bergerak dari bawah keatas, terus membumbung tinggi hingga mendorong lapisan agar-agar dari bawah. Menuju ke permukaan. Piston-piston pendorong pun berhenti. Lapisan agar-agari itu pun bergerak meuju ke laut hingga akhrnya tertelan dan mencair terkena air laut.

Isabel menyusuri lorong dalam balutan jas lab putih, berkibar dengan anggun mengikuti tubuhnya. Membawa papan data di tangan kirinya. Matanya menatap tajam kearah pintu. Seakan pintu itu berusaha mengenali dan meminta kode dari Isabel. Dan benar saja pintu itu terbuka dengan sendirinya, lalu diikuti oleh Giselle dan Mark yang membututi Isabel. Menyusuri lorong bernuansa putih biru. Hingga akhirnya mereka memasuki sebuah pintu lagi dan Isabel melakukan hal yang sama seperti tadi ia lakukan pada pintu sebelumnya hingga pintu tersebut terbuka dan seperti tadi pula Mark dan Giselle membuntuti Isabel.

Tibalah mereka bertiga disebuah ruangan seukuran lapangan basket dengan nuansa abu-abu. Cukup luas untuk menaruh 1 set sofa, 2 set meja kerja, dan sebuah layar raksasa seukuran papan tulis sebuah kelas. Menampilkan gambar peta dunia dengan angka serta simbol-simbol yang menunjukkan sesuatu, tersebar pada layar bernuansa hijau toska.

"Tidak apa-apa, kalian takkan ketahuan untuk sementara ini. Sekarang mari kita buat identitas baru untuk kalian" Jelas Isabel. Lalu mulai membuka jas lab dan kacamatanya. Sebelum ia melepaskan tali pengikat rambutnya. Dapat dilihat sebuah setelan berwarna merah marun menutupi tubuhnya. Dengan memakai sepatu hak tinggi menambah kesan elegan yang melekat padanya.

"Selagi kalian menunggu, pergilah kerumah saja lewat tabung itu." Isabel melanjutkan sambil menunjuk tabung kaca yang cukup panjang dan besar untuk memuat satu orang dewasa.

"Um, aku harus berdiri diatas tabung itu?" Mark bertanya.

"Yah, bisa dibilang begitu. Cepatlah." Giselle terlihat tak sabar.

"Lalu apa? Aaaa...hhh....." Mark terjun setelah ruangan didalam tabung menghilang dapat terlihat bahwa kedalaman tabung tadi sangat dalam.

"Yah, aku lupa memberitahunya." Isabel berkata enteng dengan tangan yang seperti baru memencet sebuah tombol dibawahnya.

"Sekarang giliranku." Giselle mulai masuk kedalam tabung.

"Oh, iya dan jangan sampai dia mengetahui kalau kita memproduksi obat itu. Atau akan kubunuh kau!" Giselle mengancam Isabel lalu dengan cepat Isabel memencet tombol dengan muka kesal, sehingga Giselle mulai terjun menuruni tabung itu.

"Yah, kakak yang tak tau kata terimakasih."

***

Panic!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang