Prolog

89 5 3
                                    

Ayana menatap layar kaca di hadapannya hampir tanpa berkedip. Dilihatnya sesosok gadis kecil manis sedang melakonkan sebuah peran dalam serial drama yang cukup terkenal masa itu.

"Bersambung..." Begitu tulisan yang nampak di layar kacanya saat ini.

Ayana menghela napasnya kecewa. Rasanya, filmnya baru saja dimulai. Tapi, kok, sudah selesai lagi?

Di ruang yang sama, Fahri sedang sibuk memeriksa hasil ujian siswa-siswanya, mengabaikan layar kaca di hadapannya.

"Ayah?" panggil Ayana.

"Hmm?" Tatapan Ayahnya masih fokus ke kertas-kertas di hadapannya.

Ayana nampak tidak terlalu memedulikan itu. Dia terus saja bicara.

"Kalau Mba Ay tinggal di Jakarta, pasti Mba Ay sudah jadi artis!" katanya sambil membayangkan sesuatu.

Fahri mengangkat kepalanya, menghela napas lalu berkata, "Satu-satunya yang pasti di dunia ini hanya lah kematian, Nak." Ia lalu fokus lagi ke kertas di hadapannya.

Ucapan Fahri membuat Ayana tidak lagi memikirkan kemungkinan ia akan jadi artis kalau tinggal di Jakarta. Ia justru penasaran akan hal lain.

"Kematian itu apa, Yah?"

"Kematian itu adalah suatu waktu di mana kehidupan kita di dunia ini akan berakhir," jelas Fahri singkat.

"Jika kehidupan di dunia sudah berakhir, lalu kita akan hidup di mana?"

"Raga kita akan dikubur. Tapi, roh kita akan dibawa ke alam akhirat. Mempertanggungjawabkan semua yang sudah kita lakukan selama di dunia."

Ayana diam, sepertinya ia sedang berpikir.

"Ooh... Seperti Bi Juriyah kemarin ya, Yah?"

Bi Juriyah adalah tetangga mereka yang baru saja meninggal dunia seminggu yang lalu.

"Hmm." Meskipun Fahri sedang sibuk dengan pekerjaannya, ia nampak tidak terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan anaknya.

"Tapi, jika kematian adalah sebuah kepastian, mengapa mereka menangis, Yah? Bukan kah mereka akan merasakan hal yang sama? Lalu, apa yang mereka tangisi?"

Fahri menatap Nisrina kaget. Dari mana bocah delapan tahun mendapat pertanyaan seperti itu?

"Atau... Apakah sebuah kepergian selalu memaklumi kesedihan? Apakah air mata adalah pengiring bagi orang yang baru saja mengalami kematian?" tanyanya lagi sebelum Fahri sempat menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Hmm. Mungkin saja." Sejujurnya, Fahri sendiri sudah bingung harus menjawab apa.

"Ketika dikubur, kita tidak boleh membawa apa-apa, Yah?"

"Tentu saja tidak boleh, Mba."

Annisa yang baru saja datang dari warung depan rumah untuk membeli garam pesanan Bunda ternyata ikut mendengarkan percakapan Fahri dan Ayana.

"Serius nggak boleh, Yah?" tanya Annisa. Ada nada khawatir pada ucapannya.

Fahri mengangguk.

"Ayah... Kalau Dedek meninggal nanti, Dedek mau bawa Elly saat Dedek dikubur. Boleh, ya?" bujuk Annisa pada Ayahnya. Elly adalah boneka kesayangan Annisa yang selalu dibawanya ke mana-mana.

Fahri menggeleng-geleng, menepuk jidatnya. Percakapan itu berakhir dengan Fahri yang menutup lembaran kertas di hadapannya seakan berkata, "Nanti dulu, ya." Demi memberi kuliah tiga puluh menit pada anak-anaknya tentang kematian.

Ayana mendesah. Apes, apes. Hanya karena Elly, bakat orasi Ayah terasah hari ini.

22 Juli 2020
-Wardahmzsy

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

40 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang