chapter 9

19.2K 949 64
                                    

'Hai hai... Fanya update lagi nih. :D
Maaf kalo updatenya kelamaan, pengennya sih cepet.
Tapi idenya suka mandek.

Oh ya, kalau ada mau pesan novel brownies/ harmony between love and hate bisa langsung hubungin fanya ya. Inbox/ wa aku langsung. Jangan lupa sertakan nama, alamat dan no telepon. :D

Happy reading

Fanyandra :* :* :*



Lauren duduk di teras kamar. Menatap ke halaman luas tempat putrinya berlarian dan bermain. Sesekali ia tersenyum saat putrinya melambaikan tangan.sedikit beruntung, dengan adanya Isabell pikirannya sedikit terkuras. Pikiran-pikiran aneh tak lagi bersarang dalam otaknya. Pikiran tentang Fabian yang semakin protektif pada Melanie. Fabian yang seakan tidak ingin Samuel mendekati Melanie. Lauren tertunduk semakin dalam. Fikiran yang menyakitkan terpaksa menyusup dalam otaknya. Menusuknya, namun, tidak juga membunuhnya. Hanya sebuah memberikan luka tergores semakin dalam ke hatinya.

Berkali-kali ia menepis perasaan takutnya. Ketakutan Fabian akan meninggalkannya. Ucapan Fabian yang seakan menegaskan, kalau selamanya mereka tidak akan pernah terpisah. Membuat Lauren terhanyut dalam perkataan Fabian. Tetapi, setiap kali ia mencoba meyakinkan sebuah masa depan. Ia selalu melihat Melanie berada di hadapannya. Menghadang kebahagiaannya, seakan ingin merebut Fabian darinya.

Lauren menggelengkan kepalanya. Melanie tidaklah bersalah. Dialah yang menyuruh gadis itu untuk melakukan apa yang ia inginkan. Apa yang ia harapkan. Sehingga Fabian melihatnya, sebagai wanita yang mengandung anaknya. Itulah kesalahannya, dan ia harus menunggu waktu, dimana Fabian benar-benar pergi darinya.

Tak ayal pikiran itu menyesakan Lauren. membuat buliran airmatanya tak berhenti terjatuh. Lauren tertunduk dalam seluruh sesal, ketakutan dan kesedihannya yang tak bisa menjadi wanita yang sempurna.

***


Menemani Isabell tidur, Lauren menepuk-nepuk lembut punggung putrinya. Isabell bergelung di sampingnya, menandakan kalau ia sudah tertidur pulas. Luaren membenahi selimut Isabell dan berjalan keluar. Dari lantai dua, ia melihat dua adik kakak yang sedang bersih tegang. Fabian yang mencengkram kerah baju Sam, sedangkan Sam tak membalas, namun, ia membalas nyalang mata Fabian.
"Berapa kali aku katakan, jauhi Melanie!" suara Fabian cukup pelan, namun, sauna lengang dan hening seakan menggemakan kata-kata Fabian. Terdengar seperti hantaman dalam di dada Lauren. Terlihat ada kemarahan di mata Fabian, ketidak sukaannya pada Sam yang ingin mendekati Melanie. Lauren mencengkram tiang penyangga. Menahan tubuhnya untuk tidak terjatuh ke jurang terdasar, yang seakan ingin menyeretnya kelembah hitam dalam hidupnya.

Sakitnya di khianati masih terasa nyata di hatinya. Bertahun-tahun memapah diri, mematikan hati, hingga Fabian menariknya dari lembah hitam itu. Lalu, apa sekarang ia harus kembali terjatuh?

"Aku tidak perduli dengan persetujuanmu." Balas Sam, satu tinjuan kembali terarah pada rahangnya. Membuatnya tersengkur pada pilar besar. Punggungnya bersandar pada pilar. Lauren menelan pahitnya rasa sakit. Ia melepaskan cengkramannya pada penyanggah, berjalan terhuyung kembali pada kamar Isabell. Setidak ada satu tempat yang mampu menenangkan hatinya.

****

Lauren memperhatikan setiap gerak-gerik Fabian. Suaminya itu memperhatikan semua kebutuhan Melanie. Ia akan selalu datang setiap kali wanita itu membutuhkan pertolongan. Seluruh makanan yang harus dan tidak untuk Melanie makan. Kebutuhan pakaiannya, mengingat tubuh Melanie semakin bertambah setiap bulannya. Fabian selalu memberikan semua kebutuhan Melanie. Bahkan, saat ini saja, bagaimana cara Fabian menggandeng Melanie ke meja makan dan menarikkan sebuah bangku untuknya. Lauren menahan rasa golak di hatinya. Rasa kecewa dan takut bergeluk dan berputar dalam kepalanya.
"Mom, aku sudah selesai." Ucap Isabell. Menunjukan sepiring pancake yang sudah habis dan gelas susu yang sudah tandas. Lauren tersenyum padanya dan membelai rambutnya pelan.
"Anak pintar, ayo kita bermain sebentar. Sebelum guru kamu datang." Lauren membantu Isabell turun dari bangkunya. Ia pun beranjak pergi.
"Lauren, kamu tidak sarapan?" suara Fabian sedikit menumbuhkan rasa bahagia untuknya. Tetapi, hati yang tergores memaksanya untuk mengacuhkan pertanyaan Fabian dan tetap pergi dari ruang makan. Fabian menatap Lauren yang terlihat aneh, dari semalam yang ia tak kunjung datang ke kamar mereka. Dan saat ia mengecek kamar Isabell, keduanya sudah tertidur pulas. Dengan airmata yang belum kering di pelupuk mata istrinya.

Fabian tak mengerti dengan apa yang Lauren pikirkan sekarang. Wanita memang makhluk paling sulit di tebak. Tiba-tiba saja Lauren tak berbicara dengannya sama sekali sejak kemarin. Jika pun berbicara, itu hanya seperlunya. Ia seakan menyibukan diri dengan mengurus Isabell, atau membuat kue di dapur. Yang pasti ia berusaha keras untuk menjauh dari Fabian.

Setelah guru homeschooling Isabel sudah datang, Fabian segera mendekati Lauren. sebelum Lauren mencari alasan untuk menghindarinya lagi. Lauren sudah berniat untuk pergi ke dapur, hari ini ia sudah janji akan memuat tart cheese untuk Isabell, namun, dengan tiba-tiba Fabian sudah menghadangnya.
"Ada apa denganmu?" tanya Fabian, manik matanya menatap Lauren yang seakan ingin menghindarinya. Ada kemarahan di matanya. Dan juga ada airmata yang seakan di tahannya.
"Tidak ada apa-apa." Jawab Lauren, ia bmencoba untuk pergi dari hadapan Fabian. Tetapi, laki-laki itu masih mencengkalnya. Menahan tubuhnya dengan erat.
"Aku tidak akan mengerti jika kamu tidak bicara." Ucap Fabian, ia menatap Lauren seakan memohon sebuah penjelasan. Mereka mencoba mengambil sebuah kebahagiaan, lalu, kenapa Lauren tiba-tiba menjauhinya?
"Lebih baik, kamu mengurus calon anak kamu. Ia lebih membutuhkanmu, daripada aku." Lauren melepas cengkraman Fabian dan pergi meninggalkannya. Fabian mendesah keras dengan sikap Lauren. Dialah yang memaksanya untuk melakukannya, namun, di saat waktu tinggal berjalan sedikit lagi. tiba-tiba saja ia berubah. Fabian mengacak wajahnya kasar, dan memilih menghabiskan waktunya di ruang kerja.
"Kamu yang memaksaku untuk melakukannya." Fabian seakan mengingatkannya pada Lauren, siapa yang menginginkan anak itu.
"Ya! Aku memang memaksamu. Tapi, aku tidak memintamu untuk mencintai Melanie." Jawab Lauren, menekan rasa sakit yang seakan ingin di teriakinya.
"Aku tidak..."
"Aku melihatmu menjaganya. menyuruh Sam untuk menjauhinya, apa arti dari semuanya? Hanya untuk sebuah perlindungan? Sam bukan orang lain di rumah ini, dia juga calon paman anak itu. lalu, kenapa kamu tidak mengizinkannya mendekati Melanie?" pertanyaan Lauren tak bisa di jawab Fabian. Ia tak bisa menyakiti Lauren dengan kenyataan lain. Tetapi, semuanya akan tetap terasa menyakitkan, karena Lauren akan terus berpikir kalau ia mencintai Melanie.
"Hanya ada satu penjelasan untuk itu semua. Persaingan antar pria. Silahkan kamu rebut dia dari Sam, tapi, sebelumnya aku mohon kamu membuat surat perceraian untuk kita." Fabian tak menyangka ucapan itu terucap dari bibir Lauren yang bergetar menahan tangisnya. Ia membuat sejuta cara untuk membahagiakannya, namun, tanpa di sadarinya seluruhnya malah berbalik menyakitinya. Fabian tak bisa berucap, ia membiarkan Lauren pergi dari hadapannya. Ia pun tak bisa untuk berlari mengejarnya. Karena tidak ada penjelasan lain. Setelah ia menjelakan semuanya, Lauren akan mengetahui, kalau mereka tidak akan pernah memiliki seorang anak. Fabian mendesah keras, merasa sesak dengan semuanya. Hanya satu ruangan yang bisa menenangkannya. Ruang kerja, menyibukkan otaknya dengan seluruh pekerjaan. Itu akan terasa lebih baik.
*****

Fabian tidak tahu sudah berapa lama berada di ruang kerja. Membaca berkas, surat kontrak, pemasukan proyek dan ajukan kerja sama selalu menumpuk di meja. Ia tak pernah memusingkan itu semua di dalam rumah, karena yang ia lihat hanya istrinya. Tetapi, sekarang ia butuh waktu untuk menghindari istrinya. Bukan karena rasa cintanya berkurang, setidaknya ia menormalkan seluruh perasaannya terlebih dahulu, sebelum berbicara dengannya. Setidaknya, saat ia bicara dengan kepala dingin, ia bisa mengelakan pertengkaran. Dan bisa mencari alasan dari semua tindakannya pada Melanie.

Fabian menoleh pada gorden besar di ruang kerja, ia berjalan ke gorden itu dan membukanya. Sedikit merenggangkan tubuhnya dan melihat keluar jendela. Fabian baru menyadari kalau hari sudah berganti dengan malam. Bulan penuh terpampang dihadapannya, bagai sebuah lukisan panorama yang indah.

Pintu ruangan terbuka. Fabian yakin kalau ia sudah mengunci pintu ruang kerja ini. dan hanya dua orang yang bisa membukanya. Mommy dan Lauren. Lauren sedang tidak ingin berbicara dengannya, sudah pasti Mommy. Fabian berbalik dan mendapati wanita yang sudah beranjak tua, namun, tetap cantik di matanya itu, berjalan pada sofa seraya membawa baki makanan.
"Kamu boleh bekerja seharian penuh, tapi, jangan menyiksa dirimu tanpa makan apapun." Fabian tersenyum dengan omelan ibunya. Wanita yang sangat mengerti dirinya. Ia berjalan medekati mommy, dan duduk disampingnya.

Fabian memakan makanan yang di bawa Naora, seorang ibu selalu memperhatikan setiap tingkah anaknya. Walau ia sudah besar, dan memiliki sebuah keluarga. Tangan Naora membelai rambut tebal putranya yang sudah mulai sedikit memanjang. Putra pertamanya, harapan pertamanya setelah lima tahun menikah dengan Gail. Pria yang di cintainya.
"Mom.." ucap Fabian, Naora tahu, sejak kecil Fabian tidak akan pernah tega melihat wanita yang ia cintai sedih. Dan itu di bawanya sampai sekarang.
"Mom tahu, kamu bertengkar dengan Sam. Tanpa kalian harus bercerita." Fabian menaruh piring makanannya. Mengingat adiknya, membuatnya tak berselera makan. Rasa marah seakan membakar seluruh isi kepalanya.
"Kamu ingat, saat daddy memberikanmu satu mobil remote control dan Sam mendapatkan sebuah robot besar? Sam tidak mau robot itu, ia ingin merebut mobilmu. Kalian bertengkar hebat saat itu. Daddy sudah ingin menghukum kalian, tapi, mom berkata pada dad,' biar, itu akan menjadi proses untuk mereka belajar.' " Fabian melihat senyum rapuh di pipi wanita itu, tangannya dengan halus membelai lengan Fabian.
"Dan pertengkaran itu, membuat kalian saling pukul. Sampai-sampai, Sam harus mendapatkan sebuah jahitan di kepalanya. Karena tubuhnya yang lebih kecil darimu, dan setiap kamu marah, tidak akan ada yang bisa mengontrol dirimu sendiri." Fabian seakan terbawa ke masalau. Pertengkaran-pertengkaran mereka yang seakan memekakan rumah besar ini. Teriakan dan keributan, seakan menjadi hiasan hari-hari.
"Dan saat melihat adikmu dengan jahitan di kepalanya. Kamu sangat menyesal. Kamu meminta maaf, dan memberikan mobilmu padanya. Mom tidak pernah ikut campur dalam urusan kalian, tapi, kalian sendiri yang mengurus masalah kalian. Mom percaya pada kalian." Ucap wanita tua itu dengan senyum sedihnya. Fabian menutup matanya, seluruh penyesalan seakan menggerayangi pikirannya. Ia berjanji untuk tidak membuat wanita yang di cintainya bersedih. Tetapi, sekarang? Dua wanita yang di cintainya menatapnya dengan luka di matanya.

Fabian mendesah dan menarik pelan tubuh rapuh ibunya ke dalam pelukannya. Dalam kesunyian ia berbuat janji, tidak hanya dalam hati, juga pada bibirnya." Aku tidak akan bertengkar lagi dengan Sam." Ucap Fabian, setidaknya ia masih bisa menghindarinya. Atau memilih mengacuhkannya. Tetapi, bertengkar hanya akan melukai mommy yang paling di cintainya.

"Soal Lauren, kamu jangan sedih, ia sangat mengerti Melanie mengandung anak kalian. Tetapi, ia tetap seorang istri yang terluka, merasakan kamu akan menjauh dan pergi darinya. Tetaplah disampingnya dan yakinkan dia akan cintamu. Mom yakin, dia tidak akan pergi darimu, karena mom melihat sebesar apa cinta kalian." Fabian tersenyum dengan perkataan mommy, ia mengangguk faham dan akan segera memperbaiki keadaan.

****

Lauren menidurkan Isabell, namun, ia enggan untuk beranjak dan kembali ke kamarnya. Ia tidak ingin bertemu dengan Fabian, dan sepertinya suaminya juga melakukan hal yang sama. Ia mengurung diri seharian di kamar dan tidak keluar sama sekali. Sejak siang tadi ia sama sekali tidak ingin keluar dari ruang pribadinya. Lauren ingin membawakan makanan untuknya. tetepi, ia mengurungkan niatnya. Ia ingin mengacuhkannya untuk hari ini. membiarkannya untuk bekerja sesuka hatinya.

Tetapi, perasaan wanita tetap saja sulit untuk di tahan. Ia meminta pada mommy untuk membawakan makanan untuk Fabian. Tetapi, pria itu sama sekali tidak keluar dan tetap mendekam di dalam. Lauren menghela nafas, ia beranjak dari kasur dan berjalan ke dapur. Rasa lapar memancingnya untuk membuat pancake.

Tetapi, gerakan Lauren terhenti saat satu tangan membukam bibirnya. Lauren mememberontak untuk melepaskan pelukan pria itu, namun, tubuh pria itu membuat Lauren tak bisa mengelang. Tubuh mereka rapat tanpa pembatas, desahan pria itu terasa di tengkuk Lauren yang hanya mengenakan lingerie.
"Berhenti memberontak." Suara itu membuat Lauren benar-benar tak bergerak. Pria itu membopongnya dan masuk ke dalam ruang pribadi Lauren.

Fabian melempar tubuh mungil Lauren ke kasur. Lauren hanya menatap Fabian, pria itu tak berbicara. Ia mengambil benda ke sayangannya. Dasi." Tanganmu." Bagai budak yang sudah lihai, Lauren menyerahkan kedua tangannya pada Fabian, membiarkan pria itu mengikat tangannya dan menyampirkannya pada tiang kasur.
"Aku tidak menyukai cara ini. tapi, kamu yang memulainya." Fabian mencondongkan wajahnya, membuat wajah mereka tak berjarak. Lauren merasakan nafasnya berderu. Semarah apapun dirinya pada suaminya. Gairahnya akan suaminya seakan tidak bisa di di bendung. Seakan ada bara api yang menyulut sebuah minyak. Ia menginginkannya. Bagaimana pun cara suaminya menyentuhnya. Ia tidak sabar dengan setiap tindakan Fabian.

Tangan Fabian merobek  lingerie yang di pakai Lauren. menampakan seluruh tubuh itu tanpa batas. Lauren merasakan wajah Fabian berada di kewanitaannya. Deru nafas Fabian berdesir di sana, membuat Lauren mengangkat tubuhnya dan menderukan nafasnya yang terputus-putus. Menyesap rakus kewanitaan Lauren, melumatnya, dan menggigitnya kasar. Membuat punggung Lauren terangkat oleh kenikmataan dan rasa sakit.
"Kamu sengaja memancingku, hanya untuk ini, sayang?" tanya Fabian, namun, Lauren tak menjawabnya. Giarahnya sudah tersulut. Pikirannya hanya terpusat pada Fabian. Tangan pria itu menentuh bokongnya kencang. Masih dengan desahan nafas hangat yang menyiksaknya. Lauren semakin mendesah nikmat. Merasakan bibir dan lidah pria itu menjilat perutnya. Menggigitnya dengan nafsunya." Fabhhh..." erang Lauren. Tubuhnya semakin tak terkendali, deru nafas semakin keras dan cepat. Lauren tersentak, saat jemari Fabian meremas bokongnya, dan memukulnya dengan sangat kasar. Bersamaan dengan bibirnya menggigit tepat pada bagian perutnya. Sementara tangannya yang lain, menyiksa di kewanitaannya. Lauren semakin mendongak, antara kesakitan, kenikmatan, dan penyiksaan yang Fabian lakukan padanya.

Payudaranya terbuka tanpa bra bersarang disana. Ia melahap dengan rakus. mengggigitnya dengan kasar dan menghisapnya dengan kuat. Membuat tubuh Lauren semakin mencuat bersama dengan deru dan desahan yang semakin tak tertahan. Tangannya mencengkram tali dasi Fabian semakin erat. Sedangkan tubuhnya, menikmati setiap penyiksaan yang suaminya berikan. Tanpa hentinya, bibir Fabian mengulum puting Lauren, menggigitnya dengan kasar. Sedangkan jemarinya, menyiksanya kewanitaan Lauren, dengan tiga jarinya.
"Fabbbhhh... ahhh..." teriak Lauren keras, Lauren mendongak, ia merasa seluruh oksigennya terkuras. Kerja otaknya sudah hilang. Desahannya dan erangannya semakin kencang dan keras. Meneriaki pria yang membuat tubuhnya menggila dalam kenikmatan penyiksaan.

Lauren mengerang semakin keras, ia merasakan sentakan orgasme yang hampir datang. Jemari Fabian bergerak semakin kasar dan nikmat, sementara bibirnya, mengulum payudara semakin dalam dan rakus. menggigit ujung puting Lauren dengan keras, namun, dengan tiba-tiba ia mengakhir semuanya. Di saat Lauren hampir mencapai orgasmenya. Fabian tersenyum dengan kefrsutasian Lauren. Ia sangat mengenal istrinya. Dan ia tahu apa yang di inginkannya.

Fabian tetap berada di atas ranjang. Menikmati wajah Lauren yang seakan tersika. Sesekali tangannya menyentuh asal payudaranya, seakan membangkitkan gairah yang sudah hampir membakar Lauren." fabhhh... please..." Erang Lauren keras, dalam sebuah rasa tersiksa. Tubuhnya seperti daun rapuh, yang sangat sensitive dengan angin. Seakan siap jatuh dengan setiap sentuhan Fabian.

"Apa yang kamu inginkan, sayang." Fabian mengecup asal puting Lauren, seraya meremas bokong wanitanya keras." Katakan dengan jelas." Lanjut Fabian, Lauren semakin tersiksa, setiap ucapannya terhenti di awang. Merasakan hisapan kuat Fabian di payudaranya dan bahunya.
"Ngghhh... Fab... aku... menginginkanmu...please." Fabian hanya tersenyum, ia melumat rakus payudara Lauren, jemarinya kembali membelai kewanitaannya. Tanpa memasukanya, hanya sebuah belaian selembut kapas.
"Faabhhh..." tubuh Lauren semakin mengerang, seperti anak kecil yang memohon permen lollipop yang besar.
"Apa ini masih kurang?" tanya Fabian dengan santai. Ia menatap wajah Lauren, mata wanita itu terpejam menikmati belaian jemarinya di kewanitaan. Tetapi, mata itu menunjukan sebuah penyiksaan yang Fabian lakukan dengan sangat kejam.
"Masuki aku! Sentuh aku! Ahhh.. Fab...." Lauren mengerang keras, saat merasakan sentakan keras yang sangat tiba-tiba. Lumatan Fabian pada payudaranya semakin kasar. Menciptakan decapan keras pada payudaranya. Lauren mengangkat punggungnya, merasakan kejantanan Fabian makin dalam. Keduanya terhanyut dalam kenikmataan. Kerinduan. Dan ketakutan sebuah perpisahan.

Bibir Fabian melumat habis bibir Lauren, menyecap manis bibir wanita yang ia cintai. Menghisapnya dengan kuat dan menggigitnya dengan nikmat. Gerakan tubuh keduanya semakin bergairah, Fabian meremas bokong Lauren semakin erat, hentakannya semakin dalam. Bersama dengan erangan keduanya, mereka merasakan sebuah klimaks yang nikmat.

Nafas keduanya saling bersahutan. Wajah keduanya tanpa jarak. Fabian melepaskan ikatan tali pada tangan Lauren. Bibirnya mengecup bibir wanitanya dengan sangat lembut.
"Berjanjilah, kamu tidak akan pernah berucap seperti tadi." Ucap Fabian, Lauren menunduk, menyesal dengan perkataannya. Memang tidak sepantasnya ia berbicara seperti itu. Semarah apapun padanya pada Fabian, tuhan sudah mengikat mereka, dan ia akan sangat berdosa memutuskan tali yang sudah tuhan ikat padanya.
"Maafkan aku..." Lauren tak bisa menahan tangisannya, ia memeluk Fabian dengan erat. Ia tidak ingin kehilangan pria yang paling ia cintai. Seluruh hidupnya sudah ia janjikan untuknya.
"Ada sesuatu yang tak bisa aku jelaskan. Aku mohon jangan bertanya untuk saat ini. Jika nanti sudah sampai waktunya, aku akan menceritakan semuanya padamu. Tapi, aku bersumpah, hanya kamu wanita yang aku cintai. Tidak ada wanita lain." Lauren tak berucap apapun, ia hanya mengangguk dan membenamkan wajahnya pada leher Fabian. Ia sangat menyukai wangi tubuh suaminya. Wangi persetubuhan mereka.

****



Lauren terbangun, ada rasa sakit yang ia rasakan sejak tadi. Tetapi ia tidak tahu kenapa. Seperti biasa, Lauren bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, namun, tubuhnya sangat lemas. Rasa sakit itu masih saja terasa dan seakan meremas perutnya. Ia tidak minat dengan sederetan sarapan yang tersaji, rasa sakitnya semakin menyiksanya.
"Kamu baik-baik saja? Aku akan panggil dokter."
"Aku..."
"Kamu tidak baik-baik saja Lauren." Bantah Fabian, Lauren seakan menjadi anti dokter dan rumah sakit setelah kejadian itu. Sebisa mungkin Fabian memahami keadaan istrinya. Tetapi, tidak untuk saat ini. Wajah istrinya pucat saat terbangun, ia selalu meremas perutnya dan nafsu makannya hilang. Ia akan melakukan apapun untuk menarik istrinya ini ke rumah sakit.
"Kamu ada rapat penting. Aku akan pergi sendiri kesana, kamu bisa menjemputku di restoran itali. Bagaimana?" Usul Lauren, Fabian menatapnya meyakinkan istrinya akan pergi kesana. Ia sering kali mengucapkan itu hanya untuk membuat Fabian tidak khawatir dengan keadaannya.
"Aku tidak akan berbohong. Sudah, cepat habiskan sarapanmu." Lauren melihat omlet Fabian masih utuh. Fabian menyendokan satu sendok omlet. Tetapi, bukan untuk dirinya, melainkan untuk Lauren.
"Satu suap saja, sayang." Ucap Fabian, saat melihat Lauren yang menghindari suapannya. Dengan ragu Lauren memakannya, setidak ada sedikit makanan yang masuk ke dalam perutnya.

***

Lauren melakukan beberapa tes yang di perintahkan dokter. Tidak berapa lama, setelah menunggu dengan rasa takut dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Lauren mendengar suster menyebut namanya. Ia memasuki satu ruangan, dokter menyambutnya dengan hangat. Ia mempersilahkan Lauren untuk masuk.

Dokter melihat hasil dari lab tentang Lauren, tatapannya sedikit tidak percaya. Ia menyerahkan hasil lab itu pada Lauren. beberapa saat ia tidak mengerti dengan apa yang tertulis di sana. Tetapi, sesuatu membuatnya menangis, ia tak bisa mengontrol emosinya sendiri. Tertunduk memeluk hasil lab itu, Lauren merasakan dokter membelai punggunya. Seakan menenangkan perasaan pasiennya.

The hope of smallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang