Bagian Satu

185 15 1
                                    

(Namakamu) Point Of View.

Dengan mata memerah dan lesu, ku pandangi lamat-lamat semua objek yang berhasil tertangkap oleh mataku. Merenggangkan otot yang terasa kaku sambil menikmati sinar matahari pagi yang masuk melalui celah gordyn yang terbuka.

Berharap sinar matahari itu bisa memulihkan semua energi yang terbuang percuma tadi malam.

Berharap sinar matahari itu bisa menghilangkan warna hitam yang tergambar melingkari kedua mata. menghilangkan kantung mata yang secara alami timbul dan membesar setelah semalaman menangis.

Malam tadi.. menangis. lagi.
Aku lelah, jiwa dan seluruh tubuhku lelah harus menangis sepanjang malam. Tapi entah kenapa mata ini tak pernah berhenti mengeluarkan air bening itu. entah kenapa disetiap tarikan nafas dadaku terasa sakit. Terasa sesak.

Bangkit untuk duduk dan bersender di kepala kasur. Ku torehkan wajah kearah samping. Mencari seseorang lain yang seharusnya masih ada disampingku. Memeluk dan menjagaku. Tapi kemana dia sekarang? Dia tak pernah melakukan itu lagi beberapa hari terakhir ini. dan bahkan dia tidak pernah menginjak-kan kakinya lagi dikamar kami.

Dia selalu menghindar untuk bertemu dengan ku. Bahkan untuk menatap mataku pun dia seolah risih. Jijik.

Lucu sekali, kami tinggal bersama. Menghirup nafas dibawah atap yang sama. Tapi kami seolah memiliki dunia tersendiri.
Dunia kami seolah berbeda. Aku dan dia bahkan tak pantas lagi disebut ‘kami’.

Ini menyakitkan. Sungguh-sungguh menyakitkan. Aku ingin mati rasanya.
Ku raih kalender yang sengaja ku simpan disamping bantal. Itu sengaja ku lakukan agar mempermudahku untuk mengingat hari buruk yang ku beri lingkaran merah. Dan itu tepat dua hari lagi. Dua hari lagi menjelang pernikahan suami-ku.

Kematian-ku.

Lagi-lagi air mata terjun bergitu saja membasahi pipi hingga akhirnya menetes setelah berhasil melewati rahangku yang bergetar.

Ini adalah konsekuensi yang harus lo terima (namakamu)! lo yang milih bertahan disamping dia, ya ‘kan?

Menangis seharian membuatku merasa haus. Jadi ku putuskan untuk keluar dari kamar dan berjalan ke dapur untuk mendapatkan sesuatu yang bisa melegakan dahaga.

Kamar kami, ah atau maksudku adalah kamarku ada dilantai kedua dirumah ini. dan untuk menuju dapur aku harus melewati kamar yang sekarang ditempati oleh suami-ku. Dan mungkin nanti akan ditempati juga oleh wanita lain.

Ku fokuskan langkah ku pada tujuan awal, dapur. Ya dapur. Jangan berhenti apapun yang terjadi (namakamu)!

Saat melewati kamarnya, pintu kamar sedikit terbuka. Dan sialnya langkahku langsung terhenti tepat didepan pintunya.

Kakiku terasa sangat berat bahkan untuk berpindah secentipun dari sana.

Oh Tuhan..

Dari celah pintu yang terbuka, bisa ku lihat dia sedang berdiri dihadapan cermin.

Sedang menyimpulkan dasinya sendiri. Lagi-lagi airmata dengan mudahnya meluncur. Bahkan hanya dengan melihat wajahnya pun aku tak kuasa menahan tangis.

Apalagi melihatnya menyimpulkan dasi sendiri. Mengingat bahwa itu adalah hobi-ku dulu. Aku tak tahan. Harus segera ke dapur dan berhenti menatapnya!
Tapi yang terjadi adalah..

‘kriet’(?)
adalah bunyi derit pintu yang terdengar saat aku membuka pintu kamarnya. Melangkah dengan mantap kearahnya. Masih dengan air mata yang belum berhenti mengalir.

“(n-namakamu)?” dia terkejut saat melihat kedatanganku yang tiba-tiba.

Tak ku hiraukan dia yang keheranan. Segera kuraih dasi yang menggantung dilehernya. Membantunya untuk menyimpulkan dasi.
Tapi dia malah menahan tanganku. “aku bisa sendiri.” Cegahnya. Menjauhkan tubuhku darinya.

Un - HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang