Swiing..!!!
Batu sebesar kepalan tangan melesat cepat disamping telinga Alvin. Untung saja dia cepat menggerakkan kepalanya, hingga batu yang hanya berjarak beberapa milimeter dari telinga kirinya, tidak sampai menyentuhnya.
"Sialan!" maki Alvin dengan suara yang teredam hiruk-pikuk teriakan di tengah tawuran.
Cepat dia bergerak maju, mengayunkan tongkat bambu yang di perolehnya dari Dzulvi sesaat sebelum tawuran itu terjadi.
Matanya menyipit. Pandangannya fokus terhadap sosok yang berdiri sekitar enam meter di depannya. Pada tubuh tinggi dengan baju seragam putih abu-abu yang terlihat berantakan dan keluar dari celana panjangnya, berikut dua kancing baju yang terlepas di bagian paling atas.
Farhan adalah musuh bebuyutan yang selalu Alvin incar saat tawuran antar sekolahnya berlangsung.
Di seberang, Farhan terus mengamati seseorang di depannya dan Alvin perlahan memotong jarak diantara mereka.
Pasti sebentar lagi batu yang berada di dalam kepalan tangan Farhan akan terlempar tepat di kepala Alvin.
Bugg!!
Sebongkah batu yang tidak begitu besar tapi bergerigi itu tepat menghantam dahinya, menggores kulitnya, dan membuat luka menganga yang mengucurkan darah segar yang merambat cepat menuruni pipi dan lehernya.
"ARRGH!!" Alvin berteriak kesakitan mendekap telapak tangan kiri di dahinya.
Farhan tersenyum puas saat mengetahui lemparan nya sangat tepat sasaran. Farhan langsung membalikan badannya menyusul teman-temannya.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya Alvin berlari ke arah teman-teman yang menunggunya dibelakang. Saat sirine semakin dekat, Alvin mempercepat larinya dengan tangan kiri berlumuran darah yang masih mendekap luka di dahinya.
Nafasnya terengah-engah, darah masih mengalir pelan di sela-sela telapak tangan kirinya yang sengaja di gunakan untuk menutupi luka yang menganga. Sekarang tubuhnya menyandar di tembok gedung belakang sekolah dan dikelilingi teman-teman yang panik begitu melihat kepala Alvin berlumuran darah.
"Lo nggak apa-apa?" tanya salah satu temannya.
"Pancong, dia baru aja kena batu, bagaimana bisa dia baik-baik aja!" sahut teman di sampingnya.
"Gue anter lo ke rumah sakit!" ajak Dzulvi yang sudah berdiri dan mengeluarkan kunci mobil.
"Gue bukan balita umur tiga tahun!" maki Alvin kepada teman-temannya.
"Gue mau cabut!" sungutnya yang langsung berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dan pergi dari gerombolan teman-temannya.
Setelah bisa berjalan sampai motor ninjanya meskipun dengan sempoyongan, Alvin tetap naik ke atas motor dan memasang helm pengaman. Meskipun dia setengah mati menahan sakut luka di kepalanya. Mengeluarkan kunci motor dari saku nya dan menghidupkan mesin. Tidak lama Alvin menghilang dengan motornya.
Mendung menggantung di angkasa. Suasana redup. Di sepanjang jalan Ibu Kota, lalu lintas lumayan lengang karena Alvin melalui jalan yang jauh dari kemacetan.
Motor Alvin berhenti persis di depan pagar besi tinggi yang di cat putih. Memandang bangunan kokoh berlantai dua yang tak pernah membuatnya nyaman berada di dalamnya, selalu membuat hatinya sakit-kesal.
Pintu pagar terbuka perlahan, Alvin menuntun motornya masuk lalu kembali menutup pagarnya.
Setelah memarkir motor di garasi samping rumah, Alvin segera masuk lewat pintu yang terhubung dengan tangga untuk akses ke lantai dua.
Diruang tengah, tidak terlihat siapapun yang mengisi ruangan itu, pemandangan ini sudah sering terlihat dan itu tidak sama sekali Alvin perdulikan. Alvin setengah berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua.
Sampai di dalam kamarnya Alvin langsung melempar tasnya di atas tempat tidurnya dan melempar jaket kedalam keranjang pakaian kotor yang berada di surut kamar.
"Sial!"
Alvin terlihat kesal dan wajahnya menunjukan beribu kebencian yang mencuat di hatinya.
Farhan lawan dalam setiap tawuran adalah saudara tirinya, mamahnya dan om Adjie menikah setelah Flora resmi bercerai dengan ayah kandung Alvin. Ilham.
Dan tawuran adalah cara Alvin untuk mengeluarkan semua kebenciannya. Karena itu Alvin selalu masuk dalam daftar absen BP, entah sudah berapa kali Alvin di DO dari sekolahnya dan tidak tau sudah berapa kali Flora menghadapi sikap anaknya yang selalu merepotkan dirinya.
Tok..tok..tok! terdengar pintu kamarnya di ketuk dari luar.
"Mas..mas Alvin?" suara budeh Ratna sayup-sayup memanggil Alvin.
"Iyaa masuk aja!" sahut Alvin dari dalam.
"Yaa gusti mas Alvin..!" ucap budeh Ratna panik, matanya membelak ketika melihat perban yang melilit di kepala Alvin.
Alvin memastikan sebentar lagi budeh Ratna akan menjadi wartawan setelah melihat perbanan di kepalanya.
"Mas Alvin kenapa itu kepalanya-?" tanya budeh Ratna yang sudah Alvin prediksi sebelumnya.
"Mas Alvin mau budeh panggilin dokter?"
"Mas Alvin mau budeh buatin apa?"
"Mau budeh buatin soup?"
"Atau bubur ayam?"
"Atau mau budeh buatin cokelat panas?"
Alvin sangat benci budeh Ratna yang terlalu berlebihan kepadanya. Padahal Alvin sudah menginjak usia enam belas tahun tapi sama saja budeh Ratna memperlakukan dirinya seperti balita umur tiga tahun.
"Udah saya nggak apa-apa, saya cuman mau sendiri!" ujar Alvin yang masih merendahkan suaranya.
"Yaa udah kalau Mas Alvin mau nya gitu, budeh ke dapur dulu ya mas. Kalau mas Alvin butuh apa-apa panggil budeh aja ya!" pamit budeh Ratna sebelum keluar dari kamar Alvin.
Alvin mengangguk, tiba-tiba dia ingat sesuatu untuk di tanyakan kepada budeh Ratna.
"Mama kemana?" tanya Alvin sebelum budeh Ratna menghilang dari balik pintu.
"Tadi mama mas Alvin pergi tapi nggak tau kemana?" jawab budeh Ratna.
Alvin menghembuskan nafas berat, segera mengambil pakaian bersih dari dalam lemari kemudian mengganti baju seragam yang sudah penuh darah di bagian bahu dan kerahnya di dalam kamar mandi.
Baru saja Alvin mau membuka pintu kamar mandi suara dering ponselnya terdengar sampai ke sudut-sudut kamar.
"Siapa sihh?" geram Alvin melangkah menuju keranjang tempat tidur untuk mengambil ponselnya yang dari tadi berdering.
Alvin mendengus saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Sebetulnya dia enggan mengangkat telepon darinya.
"Hallo Vin, akhirnya lo angkat juga lo kesini dong mobil gue mogok di ujung jalan komplek rumah lo!" terdengar suara cewe sedang panik yang langsung menjelaskan permasalahannya panjang lebar.
"Ohh." jawab Alvin singkat dan segera memutuskan sambungan teleponnya. Alvin langsung menonaktifkan ponselnya dan kembali ke dalam kamar mandi tanpa memperdulikan ucapan yang dibilang gadis di dalam ponselnya.
¥¥¥
Maaf kawan-kawan kalau ada typo bertebaran maklum manusia.
Jangan lupa tinggalkan jejak. Thank's guys 😘Alvindito Samara adalah manusia yang tercipta dari berbagai bongkahan es.
*Venozaa_
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN
Teen FictionSeorang Rainna Azeera yang beranggapan bahwa cinta hanya akan menyakiti diri sendiri. Kisah cintanya di masa lalu dan kebencian yang mendalam menyulitkan dirinya untuk jatuh cinta lagi pada seorang bad boy seperti Alvin. Alvin tau cinta juga bisa...