One, two, three.
Seiring langkahku yang mendekat padamu.
Tanpa sadar,hatiku telah tertambat padamu.
-Kisah Pertama Vague***
Jika saja bukan Ifa yang berbicara, Dee pasti akan memilih untuk tidak mengacuhkan. Sayangnya ini Ifa, karib yang diketahuinya termasuk golongan orang jujur sepanjang masa.Bisa dibilang karib paling terpercaya dibandingkan si Daffa atau Ira. Bukannya dua orang ini gabisa dipercaya, tapi mereka ini tukang ngibul. Dee sendiri adalah tipe orang yang gabisa bedain orang ngibul sama orang jujur. Jadi kalo Daffa atau Ira ngibul, Dee sih percaya aja.
"Ha?" Satu kata yang cukup menjelaskan jawaban dari pertanyaan Ifa. Sayangnya Dee masih bingung sendiri dengan ucapan Ifa, jadi menurutnya kata 'ha?' adalah kata yang paling cocok untuk menggantikan kata 'ya' atau kata 'tidak'.
"Kamu masuk OSIS, Dee. Perlu diperjelas lagi?" Jawab Ifa masih berusaha meyakinkan Dee.
"Didi ngomong 'ha?' sekali lagi siap-siap gua timpuk lu!" Ancam Daffa dengan muka sewot andalannya. Kalau sudah begini Dee cuma bisa nyengir.
"Kok bisa sih Is? Padahal kan aku ga ikut pencalonan" balas Dee kemudian kepada Ifa. Dee sendiri memiliki panggilan yang unik, menurutnya sih untuk membuktikan seberapa penting orang itu bagi Dee, Dee akan memberikan nama kesayangan untuk orang itu, dan Ifa adalah salah satunya.
Nama 'Is' sendiri merupakan penggalan dari 'Iis' yang diambil dari nama belakangnya, Vaisania. Jadi kalau digabung nama lengkap Ifa adalah Ifa Vaisania.
Memang namanya mirip seperti penyanyi dangdut yang terkenal itu. Tapi toh Ifa juga tidak mempermasalahkanya. Mereka saja memanggil Dee dengan Didi, udah kayak merk pasta gigi aja.
Tapi masih untung juga Dee dipanggil Didi. Daripada Dede, biang onar satu sekolah. Masa anak baik-baik macam Dee dikembarin sama Dede. Ya, jauh laah.
"Jadi ceritanya ada perubahan mendadak di struktur OSIS, tiba-tiba kita butuh anggota baru dan gak mungkin kita ngadain pencalonan lagi. Jadi, akhirnya kita buat rekomendasi dan aku merekomendasikan kamu. Bu Ati juga udah setuju kok" Daffa tiba-tiba menyerobot. Padahal nanya sama siapa yang jawab siapa. Memang dasar ketua osis baru, jadi begitulah.
Sekarang Dee merasakan bagaimana rasanya memiliki teman anak-anak teladan. Kata siapa berteman dengan anak baik-baik itu berarti hidupnya membosankan? Dee, Ifa, Ira, dan Daffa memang sama-sama bersaing dalam urusan nilai. Tapi diluar itu? Mereka membentuk keluarga baru yang saling menopang satu sama lain.
Sama-sama mendengarkan saat temannya dirundung masalah. Sama-sama senang dengan hiburan yang mereka buat sendiri.
Justru kesenangan mereka bukan berorientasi seperti halnya anak-anak famous yang sukanya bermain di mall. Mereka lebih tertarik untuk berkunjung ke mall kecil dan menghabiskan waktu dengan menonton bioskop atau pergi ke gramedia.Mereka senang dengan cara mereka sendiri. Hidup sederhana bukan berarti mereka tidak bahagia. Terkadang kebahagiaan yang sederhana merupakan kebahagiaan yang paling berarti.
"Tapi minta restu dulu Dee dari orang tua. Ya, biar ga diomelin kalo pulangnya telat terus" sambung Ifa.
Dee menganggukkan kepalanya menyanggupi persyaratan yang paling krusial. Sesulit apapun persyaratan buat nyalonin jadi OSIS, lebih susah minta restu ortu. Karena restu ortu itu kadang-kadang gampang, sedang, susah, susah banget buat didapetin. Harus cari momentum yang tepat biar rencana sukses.
Tipe mama dan ayah Dee mungkin tidak terlalu mengekang Dee. Tapi tetap saja, bukan hal yang tidak mungkin kalau mereka menolak Dee masuk OSIS. Kalau mau masuk OSIS janji tidak mempengaruhi nilai. Ya, bukannya itu wanti-wanti klise? Dari segala lapisan masyarakat sampai mbah buyut waktu sungkeman pasti bilangnya belajar yang rajin.
Belajar yang rajin di sekolah, pasti yang dimaksud belajar matematika atau ipa gitu. Kan gaada belajar ikut ekskul, belajar ikut organisasi. Sama-sama belajar, cuma beda konteksnya.
Ya, semoga aja mereka mau ngasih restu. Kelas 11 kan tahun-tahun bersinar, tahun paling bahagia, paling-paling segalanya deh.
"Yaudah, nanti gua omongin ke bapak sama mak"
Kalimat final Dee mengakhiri percakapan pada saat itu. Merasa perlu untuk mencari topik baru, Dee pun segera menanyakan persoalan lain."Tadi gimana proses penghitungan suaranya?" Sambung Dee.
"Sebenarnya hasil pemungutan suaranya banyakan Inka, cuma yang dipilih jadi wakil Oktan" ujar Daffa mulai antusias dengan 'gosip' yang kami bicarakan sendiri.
"Ha? Kok gitu, sih?" Sahut Dee bingung. Bukannya Inka seharusnya menjadi wakil dan Oktan menjadi sekretaris umum menggantikan Inka?
"Katanya sih biar sepasang, cowok cewek. Terus rajian Inka dibandingkan Oktan. Didi tau sendiri kan gimana tingkahnya si Oktan?" Ifa menimpali.
Kuanggap cara penyeleksian anggota OSIS di sekolah ini antimainstream. Disaat sekolah lain mengambil perwakilan dari kelas, maka sekolah ini akan mengambilnya dari ekskul masing-masing.
Belum lagi dengan peraturan-peraturan yang seenaknya diubah sendiri. Sekolah ini nyatanya benar-benar independen. Dalam artian anti mainstream.
Dan setelah acara menggibah sudah usai, kami pun kembali duduk dengan tenang menatap pelajaran fisika yang membuat mood belajar turun seketika.
Memang dasar hidupku ini. Ya kalau tidak bergosip, saat belajar ujung-ujungnya tidur. Namanya juga manusia. Meskipun dicap anak teladan, pasti ada teledornya juga. Yang penting kan rankingnya bagus, orang tua gak akan protes. Beres, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Vague
Teen FictionVague mengartikan dirinya sebagai ambigu. Sama seperti kita. Kau dan perasaanmu yang ambigu, dan aku yang bimbang dengan kejelasan antara kita. Vague mengisahkan tentang kisah cinta klise yang terlalu norak untuk dibicarakan. Gak muluk-muluk dengan...