Minseok membenci hujan. Ya, hujan membuat seluruh kegiatannya terhenti. Semuanya. Bahkan ia harus pulang terlambat karena hujan. Entah kenapa hujan turun begitu sering akhir-akhir ini. Bahkan tanah di sudut kota belum mengering. Tapi hujan kembali turun membasahinya.
Lelaki bermarga Kim itu menatap ribuan titik hujan yang membasahi jalanan. Sebenarnya hujan tidak terlalu buruk. Hanya saja mereka datang di saat yang tidak tepat. Minseok terkekeh pelan. Heol. Siapa dirinya yang berhak mengatur kapan datangnya hujan?
Minseok melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukan pukul enam petang. Seharusnya ia sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Ya ya ya. Hujan yang menahannya sampai ia harus berteduh di depan coffee shop ini. Jangan salahkan dirinya yang tidak membawa payung. Cuaca tadi siang nampak begitu cerah. Tidak ada tanda akan hujan sama sekali. Entah kenapa saat ia akan bergegas pulang hujan turun dengan begitu lebat.
Lelaki manis itu menghembuskan nafasnya kasar. Ia kembali menatap tirai hujan yang masih terlihat deras. Sepertinya tidak ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat.Drrtt.. Drrtt..
Minseok meraih ponselnya dari kantong celananya. Sebuah telefon masuk. Ia bergegas menjawabnya
"Hallo..."
"........"
"Ah ya, aku masih di jalan. Aku lupa membawa payung."
"........"
"Aku bahkan belum sampai halte bis. Mereka turun begitu cepat."
"......."
"Lupakan. Kau membuatku kesal, Wooseok. Katakan pada ibu kalau aku baik-baik saja."
"......."
"Kau cerewet sekali. Aku membenci hujan, kau tahu! Jadi jangan memaksaku untuk menerobosnya."
"......."
"Ya! Diamlah! Aku akan menutup sambungan telefonnya. Kau menyebalkan. Sampai jumpa."
Pip
Minseok menjauhkan benda pipih itu dari telinganya tanpa ingin mendengar jawaban adiknya itu. Lalu ia mendengus kesal. Adiknya memang menyebalkan. Ia tidak habis fikir kalau Kim Wooseok menjadi sangat cerewet sekarang. Ia bahkan menceramahinya. Oh astaga. Minseok bisa gila hanya dengan memikirkannya. Lelaki manis itu kembali mengalihkan pandangannya kedepan. Langit semakin gelap tapi hujan masih belum mereda barang sedetik pun. Lagi-lagi Minseok menghela nafas untuk kesekian kalinya. Bahkan udara dingin begitu menusuk kulitnya. Ia mengeratkan mantel yang ia pakai.
Minseok menggosok-gosokan kedua telapak tangannya untuk menghasilkan sensasi hangat. Udara benar-benar bertambah dingin. Ia memperhatikan beberapa orang yang melewatinya. Uuh mereka yang membawa payung begitu beruntung sehingga tidak perlu menunggu hujan reda seperti dirinya. Ia menghentikan pandangannya ke seseorang yang baru saja keluar dari dalam coffee shop di belakangnya. Ia membawa sesuatu. Minseok yakin kalau lelaki itu tengah menikmati kopi atau teh hangat. Minseok jadi ingin membelinya untuk menghangatkan tubuhnya. Tanpa fikir panjang ia langsung masuk ke dalam coffee shop tersebut. Kaki mungilnya melangkah mendekati meja kasir. Wanita di balik meja besar itu tersenyum ke arahnya"Selamat malam. Anda ingin pesan sesuatu?."
Minseok mengangguk. Matanya tertuju pada papan menu di belakang wanita muda itu. Matanya terus mencari minuman yang cocoknya untuknya
"Aku ingin 1 kopi hitam dan 1 roti bakar kayu manis."
"Ada lagi Tuan?."
"Tidak, hanya itu."
"1 kopi hitam dan 1 roti bakar kayu manis. Semuanya jadi 3000 ribu won."
Minseok mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya lalu memberikannya pada wanita itu.