Siang itu aku berjalan ke kantin sendiri, tanpa Harry. entah kenapa aku merasa bersalah padanya karena sudah bersikap aneh. Aku pun sempat mengatakan jika aku tidak akan memaafkannya.
“Kau masih belum memaafkanku?” tiba-tiba seseorang menyodorkanku sebungkus cokelat. Aku mengangkat wajahku dan melihat Harry berada dihadapanku saat ini.
Aku terdiam dan termenung. Apakah aku harus memaafkannya? Harry adalah teman baikku. Aku dan Harry telah menghabiskan waktu banyak bersama-sama. Tapi ia sudah membuatku kecewa.
“kenapa diam? Kau tidak mau memaafkanku? Baiklah kalau begitu, sepertinya kau memang sangat membenciku sehingga tidak mau memaafkanku. Kau adalah sahabat terbaikku.” Ucap Harry dengan kecewa sebelum hendak beranjak meninggalkan aku.
“tidak, maksudku bukan seperti itu. tentu saja aku mau memaafkanmu, mana mungkin aku bersikap jahat seperti itu padamu.” Aku menahan tangan Harry. Ia membalikkan badannya dan langsung memelukku. Aku tersenyum lebar di dalam pelukannya yang hangat.
Aku dan Harry pun berjalan bersama menuju ke kantin. Kami terus bercanda dan terawa seakan tidak ada masalah di antara kami sebelumnya. Kami tidak memikirkan orang-orang yang ada disekitar kami. Inilah yang aku suka dari Harry.
“besok kau ada waktu luang? Aku ingin mengajakmu bermain golf, dan akan aku pastikan besok aku benar-benar datang dan tidak akan mengingkarinya.” Ucap Harry dengan mulut penuh makanan. Aku berpikir sejenak, apakah dia benar-benar akan menepatinya?
“kau masih belum percaya padaku?” tanyanya dengan datar.
“sepertinya begitu, tapi baiklah aku terima ajakanmu. Tapi jika kau tidak menepati janjinya, jangan berharap aku akan memaafkanmu.” Aku mengancam pada Harry. Ia terlihat sangat khawatir dengan apa yang aku katakan.
“baiklah, kau bisa melakukan itu jika aku tidak menepatinya.” Balasnya dengan cukup yakin.
Siang itu menjadi lebih baik dibanding hari kemarin. Aku kembali bercanda dengan Harry tanpa Lisa. Bukannya aku membenci Lisa, tapi aku hanya ingin berdua dengan Harry. Lisa adalah orang yang baik, dia juga temanku.
Aku berjalan menyusuri lorong-lorong kelas. Pandanganku tertuju pada sosok Niall. dia sedang duduk di sudut ruangan dengan buku bacaan ditangannya. Perlahan aku melangkahkan kakiku menghampirinya.
“kau sendirian?” tanyaku secara tiba-tiba.
“Diana? Seperti yang kau lihat, aku memang sendiri. Kenapa? Mau menemaniku?” tanyanya dengan senyuman tipis.
“boleh jika kau bersedia.” Balasku dengan senyuman lebar.
“tentu aku mau, pria mana yang tidak mau ditemani oleh gadis secantik dirimu?” Aku termenung mendengar ucapannya. Gadis secantik diriku? Apakah aku cantik? Niall sejenak membuatku seperti terbang di udara. Aku tersipu malu dibuatnya.
“oh iya kau sering berkunjung ya ke toko kue milik ibuku?” aku memberanikan diriku untuk bertanya pada Niall.
“ya, bersama dengan keluargaku. Ibumu adalah penjual kue terlezat yang pernah aku temui.” Jawabnya dengan antusias, aku tersenyum kecil mendengar jawabannya. Belum pernah aku temui pria seperti dirinya. Maksudku adalah kami baru saling kenal, tapi kami sudah mulai akrab.
“terima kasih, kau juga adalah pelanggan terbaik yang pernah aku temui.” Balasku dengan tawa kecil.
“dan Diana, kau adalah gadis terbaik yang pernah aku temui.” Ucap Niall secara tiba-tiba. Aku menoleh padanya dan terdiam. Maksudnya apa? gadis terbaik yang pernah aku temui?
“maksudmu?”
“ya gadis terbaik. Kau sangat ramah, baik, bersikap apa adanya, cantik dan mempesona.” Aku lagi-lagi dibuat malu oleh Niall. belum pernah aku mendengar seorang pria memuji diriku. Harry saja tidak pernah mengatakan hal manis seperti itu. pria terakhir yang sempat memujiku adalah Chris, dia adalah mantan pacarku. Kami putus 2 tahun yang lalu.