Flora adalah nama yang tepat untuknya. Dia menyukai tumbuhan. Paling tidak, yang sekarang sedang dilakukan anak umur nyaris empat tahun itu sangat mendekati tindakan para ahli tumbuhan ketika mengamati tumbuh kembang bunga mawar merah di pot kecil yang baru saja kubeli pagi tadi. Belum ada dua jam yang lalu sebenarnya. Flora memetik satu-satunya bunga cantik itu dan melepaskan satu-persatu kelopaknya.
"Flora, would you stop doing that? Give it to me.. " pintaku frustasi.
Flora cemberut, memeluk erat mawarnya. "This is mine.." desisnya keras kepala.
Aduh, tapi aku bersumpah, dia tahu bunga itu milikku karena aku yang beli. Harganya lumayan. Satu pot hampir tiga ratus ribu. Aku tidak tahu persis harga pasarannya berapa, tapi bapak penjual yang lewat pagi tadi meyakinkan aku kalau ini mawar peranakan dari Peru yang sangat langka.
Tapi kulihat Flora sangat nyaman bermain-main dengan bunganya. Aku tidak tega mengusik lagi. Lagipula, itu hanya bunga.
"Aaaaakkk.. "
Aku terkejut mendengar rengekan dari kursi makan bayi yang teronggok di depanku. Lalu baru sadar, Zayn masih menunggu suapan bubur nestle berikutnya.
"Oh, my good boy.. " aku segera menyendokkan bubur ke mulutnya sepenuh rasa sayang, mulai mencoba melupakan ulah kakaknya.
Mendadak pintu dapur yang tak tertutup rapat mengayun terbuka, dan dari arah ruang tengah, Jill berjalan dengan langkah-langkah ringan ke arahku.
"Viv, jadi shopping? Centro lagi banyak diskonan, lho!" dia berhenti sejenak, menatap Flora yang sedang bermain-main dengan bunganya di taman belakang yang terhubung dengan dapur. "Itu kan bunga mawar yang tadi pagi lo beli?"
"Ya. Memang itu." aku menyuapkan sesendok lagi ke mulut Zayn.
Jill duduk di salah satu kursi dari empat kursi kayu di meja makanku, lalu menopangkan dagunya. "Mawar peranakan dari Peru. Lo percaya itu?"
Aku mengangguk optimis. "Pembawa keberuntungan. Nggak masalah sih kalau bunganya dipetik satu. Besok juga tumbuh lagi."
Jill mengedikkan bahu, lalu mulai menggoda Zayn. Dia menggelitik dagu Zayn. Dan kelihatannya Zayn sama sekali tidak keberatan. Jill adalah sahabatku yang paling parah. Oh baiklah, sebenarnya, dia satu-satunya sahabatku. Dia lajang, tak pernah tertarik menjalin komitmen dengan pria, bahkan di usianya yang sudah hampir kepala tiga. Dia memilih menikmati hidupnya dengan karir bagus di advertising dan tinggal bersama orang tuanya. Tak jauh dari sini. Tapi Jill menyukai anak-anak. Minimalnya, ya, anak-anakku.
"Zayn makan apaan sih, Viv?" Jill mengernyit pada noda coklat di celemek Zayn.
"Bubur instan, memangnya lo pikir dia makan apaan? Rujak cireng?"
"Gue pikir alpukat atau apaan gitu, dikasih susu coklat."
"Zayn suka alpukat, kalo di juice dan ditaburi coklat meses dan keju."
"Itu sih elo yang ngabisin kali, Viv! Lo gak bikin-bikin MPASI sendiri kaya si Aida?"
Aida itu kakaknya Jill, sudah menikah, punya satu bayi, dan tinggal di Bogor.
"Zayn lebih suka bubur instan, sama seperti Flora dulu. Eh, liat ini!" aku meraih ponselku yang semula tergeletak di atas meja. Buru-buru membuka situs belanja online yang sedang aku tekuni. Jill harus lihat ini. Aku selalu mendiskusikan apapun yang kubeli dengannya.
"Gue baru pesan ini buat Zayn, ini penting banget buat mengombinasikan makanannya biar dia gak bosan."
Jill mendekatkan kepalanya ke ponselku, lalu berseru senang. "Babies food? Lo beli makanan bayi impor buat Zayn?"
"Ini semacam sereal yang kaya kandungan gizi. Zayn kan lagi butuh-butuhnya konten vitamin dan mineral yang banyak untuk pertumbuhannya," ujarku merasa bangga. Aku ibu yang pintar memilihkan segala yang terbaik untuk anak-anakku. Aku akan masuk majalah Mom's and Kid"s dan diwawancara di kolom Inspiring Mom. Tentu nanti fotoku di seperempat bagian halaman majalah, akan mengenakan setelan Victoria Beckham yang kubeli lebaran lalu--gaun pendek terusan warna krem tanpa lengan dengan ikat pinggang sangat tipis dan cardigan pendek penuh mute berlian tiruan--di obralan gaun desainer Soho. Zayn harus mengenakan setelan Baby Blink terbaiknya, dan dia akan kugendong dengan posisi yang sama sekali tidak menutupi pakaianku maupun mengganggu tatanan rambutku. Sementara Flora akan mengenakan gaun dari Disney yang paling cantik, yang lebaran lalu hanya dikenakannya beberapa jam saja. Atau, baiklah, kami mungkin butuh baju baru. Tak masalah, itu sebabnya kenapa selalu ada promo menarik jelang akhir bulan. Karena ada saja kebutuhan tak terduga yang melibatkan baju baru.
"Zayn akan suka sekali kan makanan seperti ini?* suara Jill yang pernah mengisi acara Top Trend di radio tempat kami bekerja sekitar beberapa tahun yang lalu, memudarkan angan-anganku tentang Mom's And Kids Magazine.
"Pasti dia suka. Zayn sangat suka sereal."
"Cocok kalo gitu. Keponakanku nggak suka sereal. Dia selalu memuntahkan segala jenis sereal yang dijejalkan Aida. Gue rasa, dia memang selalu memuntahkan makanannya. Cuma Tuhan yang tau kenapa dia masih bisa bertahan sampai sekarang."
"Aida masih ngasi kan? Gue rasa ASI aja cukup." Aku memberikan ASI eksklusif untuk Flora dan Zayn selama enam bulan. Sekarang Zayn sudah mulai MPASI, sementara Flora sudah menjadi pemakan segala.
Flora rupanya sudah bosan dengan pot mawarnya. Dia mendekatiku sambil menggelayutkan tangannya ke lenganku.
"Mommy, ayo jalan-jalan yok," rajuknya.
"Tunggu sampai Zayn selesai makan, okey?"
Wajahnya yang dibingkai rambut bob berponi, cemberut lucu. Jill meraih tubuh Flora dalam pelukannya.
"Gimana kalo Flo siap-siap dulu, ganti baju, dan pake sepatu bagus. Agree?"
Flora mengangguk. Dia selalu lebih menurut apa kata Jill dibanding aku.
"Tante, aku mau beli lipstik Barbie.. "
"Boleeh, nanti kita beli ya.. Sekarang Flora mendingan ganti baju, deh. Terus kita siap-siap berangkat. Let's go, Girl!"
"Okey, Tante!" Flora beranjak dari pelukan Jill, kemudian lari ke kamarnya. Sebentar lagi dia pasti akan mengacak isi lemari dan kembali dengan baju pilihannya.
"Tahun ini Flora mulai sekolah kan, Viv?"
Aku membersihkan mulut Zayn dengan tisu basah. "Yep. Gue masih nyari sekolah yang bagus. Mungkin full day school, atau gak usah full day, asalkan sekolah islam terpadu. Tapi gue ngeri juga sih Jill."
"Ngeri gimana?"
Aku berhenti mengelap muka Zayn, lalu menatap Jill dengan mata yang kupicingkan. "Lo pernah gue liatin foto profil bbm temen gue yang anaknya sekolah di TK, kan? Lo inget gak, waktu anaknya manasik haji, dan ibunya diwajibkan juga ikutan pakai baju putih-putih dan ikutan manasik haji juga? Terus lo inget Macan Ternak?"
Mata Jill melebar. "Wah, jangan sampe, Viv. Lo harus menghindari grup ibu-ibu semacam itu."
"Absolutely!" aku mengangguk penuh tekad. Aku sendiri tak akan pernah membiarkan pihak sekolah memaksaku berpakaian seragam lalu melakukan kegiatan yang sama dengan yang Flora lakukan. Seperti manasik haji, atau merangkai bunga, atau study tour ke Kota Tua. Demi Tuhan, yang sekolah kan Flora, bukan aku. Dan jangan harap aku mau bergabung dengan grup ibu-ibu yang menamakan diri mereka Macan Ternak, singkatan dari Mama Cantik Anter Anak. Aku tidak akan pernah melakukan hal-hal yang menurutku kurang elegan.
"Ya, lo pasti bisa menghindar dari Macan Ternak. Gimana juga, Flo harus sekolah. Gue rasa dia butuh teman dan kehidupan sosial."
Aku setuju. "Makanya kita ajak dia ke play ground di Mall sekarang. Dia selalu bisa berteman dengan siapa aja, bahkan anak yang baru dia kenal di Mall. Gue siap-siap dulu." Aku mengangkat Zayn dari kursinya, lalu beranjak ke kamarku.
"Gue yang nyetir!"Jill mengacungkan kunci mobilnya.-----–--------
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Mother
ChickLitAku, Vivian Damasta, istri dari Aji Damasta, seorang lelaki tampan pekerja keras dengan karir bagus di kilang minyak tengah laut. Usiaku baru tiga puluh dua, dan aku sudah mencapai kemapanan hidup yang kuinginkan. Sebagai istri dari lelaki terbaik s...