Bagian tanpa judul 5

5 0 0
                                    

Surat keduanya tidak mengubah pandanganku tentang kemungkinan bahwa ia adalah seorang pria.. Bahasanya tetap tegas, dengan tulisan rapih yang sama. Kali itu lebih panjang lagi setengah halaman. Kubalas suratnya keesokan harinya dengan semangat. Alih-alih bertanya tentang siapa yang menurutnya mirip denganku, aku menceritakan tokoh yang sedang kupikirkan beberapa minggu belakangan. Tokoh yang kugadang-gadang akan menjadi tokoh utama cerita pendek yang sedang kugarap. Sebelumnya, aku tahu, aku bukan orang seperti itu. Berbagi tentang ide ceritaku dengan orang lain, apalagi orang asing, tidak pernah kulakukan sebelumnya. Bagiku itu privasi. Lagipula kadang aku sendiri tidak bisa menebak ke mana arah imajinasiku sendiri tentang ide-ide itu. Tetapi aku melakukannya di surat yang kedua. Dan kini aku mulai sadar telah sungguh-sungguh menanti balasannya.

Lagi-lagi tidak sampai seminggu, surat ketiganya datang. Kali ini tidak sepanjang dua surat sebelumnya. Ia hanya berkata bahwa ia senang dengan alur yang sedang kupikirkan. Dan menurutnya itu menarik. Tidak ada komentar lanjutan. Ia tutup suratnya dengan bertanya kira-kira bagaimana akhir cerita yang kubayangkan. Tanpa menunggu lama aku langsung menulis balasan untuk pertanyaan itu. Jadinya suratku bahkan lebih panjang. Kuceritakan alur yang kuinginkan tetapi di sana kuungkapkan juga antiklimaks yang masih kutimbang-timbang, belum kuputuskan. Kukirimkan di hari berikutnya lalu mulai menanti lagi surat balasan. Surat itu lah yang kutanyakan kepada si ibu penjual jajanan di depan jalan samping kamar sewaanku tadi. Ibu ini bertugas juga mengawasi kamar-kamar lain milik induk semangku. Tiga surat yang pertama juga si ibu itu yang menerima.

"Baiklah, Bu, terimakasih. Kalau-kalau ada kiriman atau apa, tolong saya dikabari ya, Bu," ujarku sambil berlalu.

Si ibu mengangguk masih dengan senyum dan membiarkan aku berlalu. Aku kembali merasa kecewa dan dengan gontai membuka pintu kamarku dan berniat segera menghempaskan tubuh lelahku di kasur tipis kesayanganku itu. Tapi aku merasa menginjak sesuatu, tepat ketika aku akan melangkah masuk, persis di ambang pintu. Itu sebuah amplop coklat besar. Sepertinya diselipkan orang masuk lewat celah di bawah daun pintu. Dengan segera aku meraihnya. Terasa tebal. Kulihat alamat pengirimnya, dari kantor redaksi majalah D. Kantor redaksinya memang dengan setia selalu mengirimkan edisi yang memuat tulisanku. Sedikit heran, aku mulai merobek amplop tebal itu. Aku merasa tidak mengirimkan satu naskahpun pada bulan-bulan belakangan. Cover depannya yang seperti biasa berwarna cerah langsung menarik perhatianku, sebab di sana ada namaku. Tertulis dengan jelas sekali di samping sebuah judul yang kelihatannya sebuah cerita pendek. Aku mengenali judul itu, karena judul itu adalah nama tokoh yang pernah aku rencanakan. Tetapi aku pastikan cerita itu sama sekali belum jadi, dan ... tidak pernah kukirimkan ke redaksi majalah manapun. Buru-buru kucari halaman tertera yang memuat cerita itu dan aku terpana. Cerita pendek itu ada di situ. Dengan judul yang kukenal. Kubaca dengan sigap dan kutemukan itulah alur yang memang pernah kupikirkan. Di bawah paragraf terakhir tertulis dengan jelas namaku. Nama penaku. Sekali lagi kupandangi majalah di tanganku itu dan aku mulai bergidik. Siapa si pengirim surat yang kepadanya telah kubagi cerita yang belum selesai itu? Dan bagaimana pula cerita yang belum selesai itu malah kini sudah dimuat di majalah ini? Sekali lagi aku bergidik ngeri. Kupejamkan mata kuat-kuat dan perasan campur aduk mulai membuat jantungku berdegub lebih kencang. Kutatapi lagi judul cerita pendek itu, baris-baris kalimatnya dan nama penaku di bagian bawah.

SuratWhere stories live. Discover now