1. Sepucuk Surat dari Ayah

5K 846 269
                                    

Sepucuk Surat dari Ayah

Aku berlari ke dermaga. Membawa syal berwarna hijau yang kurajut khusus untuk ayahku. Hijau adalah warna kesukaan ayah. Katanya, warna hijau selalu mengingatkannya pada negeri ini. Pada luasnya hutan tropis yang menjadi kebanggaan tersendiri.

Karena itulah ayahku memilih menjadi prajurit sejati. Tak peduli di mana, kapan, dan berapa banyak musuh yang datang menyerang, ayah selalu siap melawan. Aku pernah bertanya pada ayah, mana yang lebih penting antara keluarga dan negara? Ayah mantap menjawab, "Bagi ayah, keluarga dan negara itu sama pentingnya. Namun ayah lebih memilih melindungi negara. Karena ketika ayah berjuang untuk melindungi negara, itu berarti ayah juga berjuang melindungi keluarga."

Jawaban ayah itu berhasil membuatku tak takut lagi bila ditinggal tugas. Aku mengerti mengapa ayah pergi jauh dengan seragam loreng dan senjatanya. Dia melindungi negara, melindungi keluarga, seperti yang dilakukannya selama nyaris sebulan ini.

Ya, ayah ditugaskan di daerah perbatasan Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, memang sempat terjadi konflik di sana. Ayah berkata, "Nur pernah berkelahi dengan teman, kan? Tapi Nur pernah bercerita pada Ayah bahwa besoknya, Nur dan teman langsung berbaikan. Nah, hubungan Indonesia dan negara tetangga seperti itu. Doakan saja masalah ini cepat selesai, agar Ayah bisa pulang di hari ulang tahunmu. Jangan lupa tunggu Ayah di dermaga."

Dan hari ini, tepat di hari ulang tahunku, aku mengikuti pesan ayah. Menunggunya di dermaga dengan hati penuh harap. Membawa hadiah spesial yang akan membuat ayah tersenyum. Tak sabar mendengar cerita menarik yang selalu dibawanya setelah tugas.

Dari kejauhan, aku melihat sebuah kapal mendekat. Aku tersenyum senang. Semakin kapal itu mendekat, aku melihat seorang pria berseragam hijau loreng yang membanggakan. Senyumku semakin lebar. Itu ayahku. Itu ayahku!

Namun, ketika kapal itu benar-benar merapat ke dermaga, senyumku perlahan memudar. Orang itu bukan ayahku. Dia Kak Ali, prajurit muda yang dekat dengan ayah. Kak Ali berjalan ke arahku. Mengapa Kak Ali yang datang menemuiku? Ke mana ayah?

Kak Ali berjalan mendekat. "Apa kabar, Nur?" tanya Kak Ali. Dia tersenyum. Namun, aku menemukan hal yang berbeda dari senyumnya. Senyum itu ... tidak seperti biasanya.

Aku menggenggam erat syal di tanganku. Mengabaikan pertanyaannya, aku lantas bertanya hal lain. "Di mana Ayah?"

"Bagaimana nilai Matematika-mu?" tanya Kak Ali. Aku tidak menjawab. Hanya ayah yang boleh tahu nilai Matematika-ku. Kak Ali kembali berkata, "Nilaimu pasti membanggakan."

Ya Tuhan, mengapa Kak Ali mengatakan sesuatu yang biasanya dikatakan ayahku? Aku bertanya lagi. "Di mana Ayah? Katanya, Ayah akan pulang di hari ulang tahunku. Ayah memintaku menunggu di dermaga. Ayah tidak lupa janjinya, kan?"

Kak Ali menatapku sendu. Dia tiba-tiba membawaku ke dalam pelukannya. "Kamu selalu membanggakan," bisiknya. Kata-kata itu, ayahku sering mengatakannya! Napasku tercekat ketika Kak Ali memelukku semakin erat. "Ayahmu, Nur ...." Suara Kak Ali terdengar bergetar. "Ayahmu, Pak Abdi, gugur sebagai prajurit sejati."

Ayah juga pernah mengatakan tentang prajurit yang gugur, namun dulu aku masih terlalu kecil untuk tahu apa makna dari ucapan ayah itu. Aku senang saja saat mendengar kalimat "Prajurit itu seperti bunga. Bila ia gugur, ada tunas baru yang akan menggantikannya", karena aku pikir, tunas tetap tumbuh meskipun bunga tidak gugur. Namun sekarang, aku mengerti. Sangat mengerti kiasan yang bermakna menyesakkan itu.

Aku mendorong Kak Ali, membuat tubuhnya jatuh berlutut. Aku menatapnya lekat-lekat. Mulutku tertutup rapat. Tidak mengatakan apa-apa.

"Ayahmu pergi dengan rasa bangga karena melindungi negaranya." Kak Ali menunduk. "Ayahmu pergi dengan segala hormat dari seluruh prajurit. Ayahmu ...."

"KAK ALI, HENTIKAN!" Aku membentak Kak Ali, membuatnya berhenti. Kata-kata yang keluar dari mulutnya menyakitiku tanpa ampun. Aku tak sanggup merasakan perihnya. Perlahan, air mataku mulai menetes. "Tolong katakan kamu berbohong, Kak. Tolong katakan itu hanya rencana Ayah di hari ulang tahunku! Sudahlah, di mana Ayah bersembunyi? Katakan!" kataku mendesaknya.

"Itu semua benar, Nur. Kita tidak bisa menentang takdir. Siap atau tidak, kita harus menerimanya. Ikuti saja skenario Tuhan," ucap Kak Ali.

Aku melemah. Syal yang ada di genggamanku terjatuh begitu saja. Lalu aku menangis sejadi-jadinya. Tak cukupkah Tuhan mengambil ibuku? Tak cukupkah dengan nasib yang sangat menyedihkan ini? Tuhan, apa maksud-Mu mengambil ayahku? Senangkah melihat anak perempuan berkepang dua ini hidup sendirian?

Aku merasakan tangan Kak Ali berada di pundakku. Dia memandangku lama. Matanya juga menunjukkan kesedihan. Menyiratkan bahwa seorang prajurit pun tersakiti bila ditinggal teman sejati. Kak Ali tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya, kemudian menyerahkannya padaku. "Dari Ayahmu," katanya.

Tanganku gemetar menerima amplop cokelat itu. Kali ini, tulisan ayah yang akan menyakitiku melebihi ucapan Kak Ali.

***

Malam harinya, aku duduk di dermaga. Membiarkan kakiku terendam oleh air laut yang dingin. Tak menghiraukan semilir angin yang menampar wajahku. Membangunkanku dari mimpi indah bersama ayah. Menyadarkanku bahwa kenyataan pahit ini benar-benar menghampiriku.

Aku menatap amplop cokelat di genggamanku. Menghela napas panjang, aku membukanya. Membaca goresan tangan ayah yang siap menyayat hatiku.

***

Untuk anakku, Nurmala.

Nur, jika kamu menerima surat ini dari Komandan Edi ataupun Kak Ali, itu artinya kita tidak bisa bertemu lagi.

Ayah meminta maaf karena tidak bisa menepati janji. Tidak bisa mengantarmu sekolah. Tidak bisa melihatmu menjadi perempuan pintar dan cantik. Tidak bisa menghabiskan waktu bersama lebih lama lagi. Tidak bisa melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan bersama, karena mulai sekarang, kau yang harus melakukannya sendiri.

Nur, maaf Ayah tak hadir di hari ulang tahunmu. Maaf karena tidak bisa menjadi Ayah yang membanggakan, seperti Ayah teman-temanmu yang sering kauceritakan. Maaf untuk keadaan kita yang serba kekurangan. Nur tidak membenci Ayah, kan?

Nur, perjuangan Ayah sudah berhenti sampai di sini. Sudah waktunya Ayah beristirahat memegang senjata. Itu artinya, Nur yang harus melanjutkan perjuangan ini dengan caramu sendiri.

Ayah ingin Nur melakukan satu hal, juga membuktikannya pada Ayah. Bahwa rakyat kecil bisa menjadi besar untuk negaranya. Tekadkan bahwa kau mampu mengubah nasib orang kecil, yang hasil jerih payahnya sering dilupakan mereka karena buta dan tuli oleh kekuasaan. Berjuanglah demi tempat di mana kau dilahirkan. Angkat nama negaramu dengan kekuatan seorang pemuda, yang nasionalismenya tumbuh subur dalam hatinya. Ayah selalu mendukungmu dari surga.

Nur, terima kasih sudah menjadi penyemangat Ayah. Terima kasih sudah menunggu Ayah di dermaga. Terima kasih sudah mau mendengar cerita-cerita Ayah sebelum tidur. Dan yang paling penting, terima kasih sudah meneteskan air mata untuk Ayah.

Kamu harus ingat. Bahwa prajurit sejati harus siap mati dan anak Ayah juga harus siap ditinggal pergi.

Peluk cium dari surga,

Ayah.

***

Air mataku tertahan setelah membaca sepucuk surat dari ayah. Surat itu menyiratkan tidak ada yang perlu ditangisi dari kepergian ayah, melainkan memintaku menjadi kuat seperti dirinya. Ayah tidak butuh air mataku, namun pembuktian aku bisa sukses meskipun tanpa ayah. Aku akan bahagia dengan kesuksesanku di masa depan. Dan kelak, rakyat kecil sepertiku akan menjadi besar untuk negaraku.

Tamat

***

2017.

Sepucuk Surat dari AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang