Sepucuk Surat untuk Bapak
[ sebuah catatan harian terbuka ]
***
Mendengar bahwa bapak akan pulang di bulan Agustus ini karena tugasnya hampir selesai, saya langsung merencakan pulang di tanggal 10 Agustus. Rencana kepulangan saya yang mendadak memang membuat saya sedikit kelimpungan saat itu. Saya harus mencari info mengenai klinik atau rumah sakit yang melayani tes PCR, juga persyaratan dokumen penerbangan selama PPKM. Banyak sekali barang-barang yang tertinggal di indekos.
Ya udah lah, yang penting buku-buku aman, pikir saya saat itu.
Memang, koper saya dipenuhi buku-buku yang akan saya gunakan untuk kuliah daring nantinya, bukan pakaian dan perlengkapan lain. Terlalu banyak hal yang ada di pikiran saya sampai-sampai saya juga melupakan banyak hal. Saya bahkan lupa membawa pen tablet padahal saya butuh itu untuk bekerja. Yang ada di tas saya ternyata hanya laptop, charger, stylus pen, dan kabel pen tab. Saya waktu itu berujar dalam hati, “Ya ampun, ini tabletnya nggak dibawa, gimana mau ngerjain projcet?”
Ah, saya tidak tahu mengapa memilih tanggal 10 Agustus, padahal kuliah saya tidak libur saat itu—karena memang liburnya digeser, ya, kan? Tapi untungnya, teman-teman saya cukup kooperatif. Di hari saya pulang, saya meminta salah seorang teman yang memiliki dua device untuk menggantikan saya di Zoom Meeting. Saya juga mengabari di grup kelas, sekalian meminta bantuan untuk mencari alasan bila nama saya dipanggil dosen. Yah, dosen-dosen memang suka memanggil mahasiswa secara acak, terutama yang mematikan kamera. Bila tidak menyahut dan tanpa konfirmasi bisa langsung dianggap tidak hadir.
Semuanya berjalan lancar meski saya harus menunggu di bandara selama lima jam karena jadwal penerbangan saya dialihkan (sebenarnya sudah diinfokan melalui Whatsapp oleh pihak maskapai, hanya saja tidak terbaca oleh saya). Saya tiba di rumah pada malam hari dan disambut ibu, adik-adik, dan masakan rumah yang saya rindukan. Saya mengabari bapak, sekaligus pamer karena saya tiba di rumah duluan. Oiya, kami memang sudah biasa saling mengejek dan becanda.
Sampai pada suatu malam ....
Malam itu—tepatnya di tanggal 16 Agustus—sekitar pukul sepuluh, pintu rumah kami diketuk berkali-kali. Saya yang saat itu sedang mengerjakan tugas kuliah mendadak terkejut karena ketukan pintu yang terdengar heboh sekali. Saya, ibu, dan adik-adik awalnya ragu untuk membuka pintu. Bukan apa-apa, hanya merasa sedikit takut karena di jam-jam segitu ada orang mengetuk pintu dengan cara yang tidak santai.
Ternyata rekan bapaklah yang terlihat ketika pintu kami buka. Kedatangan beliau di malam itu bermaksud memberi kabar kepada keluarga kami. Butuh beberapa detik untuk kami mencerna perkataan beliau karena ucapan yang terbata-bata dan diiringi isak tangis.
“Si Om meninggal, Bu, kecelakaan saat patroli tadi malam,” begitu kira-kira inti perkataannya.
Ketika mendengarnya, hal pertama yang muncul di benak saya adalah kebohongan. Benar. Saya berharap bahwa beliau berbohong. Saya berharap berita yang beliau bawa itu tidak benar. Saya bahkan langsung menghubungi bapak di Whatsapp seperti yang ada di tangkapan layar di bawah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepucuk Surat dari Ayah
Storie breviSejak Nur menerima amplop cokelat titipan ayahnya, perempuan itu tahu bahwa akan ada banyak hal yang berubah dalam hidupnya. Tapi tidak dengan perasaannya. - Gambar: Pinterest