"Kau menyembunyikan rahasia bahwa kau mengobrak-abrik ruang data siswa? Astaga! Kenapa kau se-brutal itu, Orlyn?" Teriak Abby histeris ketika mereka baru saja sampai di tempat tinggal Orlyn. Sepanjang perjalanan Abby terus saja mengoceh sendiri dan terus saja membicarakan pendapatnya yang berasal dari imajinasi absurdnya.
"Sampai kapan kau akan terus menerus bicara tak jelas?" Orlyn menggeleng-gelengkan kepalanya heran, "Lagipula kenapa kau seperti sangat ingin tahu apa yang ku sembunyikan?" Tanyanya datar sambil duduk disofa. Merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.
"Aku hanya heran," Abby berlagak layaknya professor, "Aku hanya heran kenapa kau tak mengajakku melihat data-datanya! ASTAGA ORLYN, DIA SANGAT TAMPAN. KAU TAHU? AKU SUKA DENGANNYA!"
Orlyn melongo, "Apa kau bilang? Aku tak salah dengar, 'kan?"
Abby tersenyum lebar, "Tentu saja kau tak salah dengar! Aku menyukainya!" Abby menepuk kedua tangannya antusias, "Apa kau tahu?" Abby mencondongkan tubuhnya, "Orang yang pertama kali diajaknya bicara disini itu kau! Hebat, bukan? Seharusnya kau bangga! Karena kata Ayahku, saat Ia berada di ruangannya, Ia sama sekali tak bicara satu katapun." Lagi-lagi Ia terlihat antusias, "Untung saja yang diajaknya bicara itu kau, coba kalau orang lain, aku tak tahu sampai level berapa kecemburuanku." Abby nyengir.
"Kalau sampai kau cemburu padaku, aku yakin Zero-mu itu akan menjadi steak empuk untuk makan malammu," Ancam Orlyn sadis.
"Aaaaaaaa!" Abby berteriak histeris, "Jangan lakukan apapun pada Zero! Aaaaaaa! Dia itu kucing kesayanganku! Sudah seperti anakku sendiri," Abby-sok-meratap sedih, "Karena aku sangat menyayanginya, maka dari itu aku mencarikan Ayah untuknya dan aku sudah menemukan yang cocok... yaitu.... Keiran,"
Orlyn melengos kemudian beranjak pergi, "Punya dosa apa aku memiliki sepupu aneh sepertimu?"
"Orlyn! Kau mau kemana?" Teriak Abby.
"Kamar." Jawabnya sebelum menghilang dibalik pintu.
**
"Tatapannya itu..."
Kei duduk melamun dibalkon kamarnya. Ia mengingat dengan jelas bagaimana tatapan yang gadis itu berikan padanya. Tatapan dingin yang menusuk namun seperti sarat akan kesedihan. Tapi itu hanya sesaat, gadis itu sangat ahli mengubah-ubah keadaan hatinya.
Kei dapat merasakannya karena Ia memiliki kekuatan perasaan yang sangat kuat.
"Melamunkan Orlyn, hm?"
Kei mendongak dan mendapati Akira berdiri diambang pintu balkon kamarnya. Gadis itu menatapnya datar dengan kedua manik matanya yang berwarna biru langit.
"Bukankah sudah ku peringatkan jangan pernah membaca pikiranku sembarangan?" Kei mendengus dan mengalihkan pandangannya, "Tinggalkan aku sendiri."
Akira berbalik, "Kau tak akan pernah bisa mengetahui apa yang terjadi pada gadis itu sebelum Ia yang menceritakannya sendiri." Ujarnya sembari berlalu.
Kei tertegun mendengar perkataan Akira. Ia kemudian beranjak dari tempatnya semula.
**
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Keiran?"
"Tidak ada," Jawab Kei datar lalu melanjutkan makan malamnya, "Jangan mencoba untuk membaca pikiranku, Ayah," Lanjutnya dingin.
"Ah, baiklah," John lebih memilih untuk mengalah pada anaknya, "Bagaimana hari pertamamu disekolah?"
"Baik," Jawabnya pendek, "Semua anak-anaknya baik dan sepertinya mereka juga biasa saja padaku. Tak ada yang melebih-lebihkan bahwa aku adalah anakmu."
"Baguslah kalau begitu," John beralih ke arah Akira yang sedari tadi hanya diam, "Lalu, bagaimana denganmu, Akira?"
"Flat." Jawabnya datar. Akira kemudian beranjak dari meja makan, "Permisi." Ucapnya sebelum berlalu.
John mengerutkan keningnya, "Apa yang terjadi padanya, Kei?" Tanya John tajam.
"Aku tak tahu," Kei kemudian beranjak, "Permisi, Ayah." Ujarnya lalu meninggalkan meja makan. Meninggalkan Ayahnya yang menatap dirinya dengan tajam.
"Kau tahu kan, Kei, siapa dia? Jangan pernah kau menyakitinya." Kei menghentikan langkahnya sejenak, lalu kembali melangkahkan kakinya tanpa perduli geraman sang Ayah.
**
Vote+Comment ya guys! ^^
Copyright by JustFairy© 17 Januari 2014 - 11:45 AM
KAMU SEDANG MEMBACA
Vampire
VampireBanyak yang tidak mempercayai bahwa makhluk penghisap darah itu ada. Aku mempercayainya karena aku mempunyai alasan tersendiri untuk percaya kehadiran mereka di muka bumi ini... Kehadiran mereka bukan hanya sekedar mitos, namun sebuah kenyataan.