Conversation

1.1K 165 25
                                    

“Kaneki,” sapa Hide.

Kaneki tidak menjawab. Tidak seperti biasanya, Kaneki hanya mematung dan mengabaikan Hide seperti ini.

Hide mencoba untuk memanggilnya sekali lagi. “Kaneki.”

Tidak ada jawaban.

“Hari ini, Takatsuki Sen menerbitkan buku baru tentang ghoul, aku sangat tertarik jadi aku membelinya. Ah, aku beli dua. Ini, satu untukmu.” Hide mengacungkan buku itu, dan diabaikan oleh Kaneki. Aneh. Kaneki menyukai buku Takatsuki Sen, ya 'kan?  “Bukankah suatu kemajuan, bila aku mulai menyukai buku karangan penulis favoritmu itu? Mungkin lain kali kita bisa membeli buku bersama-sama jika karya lainnya terbit.”

“Kaneki, kau mendengarku, 'kan?” Hide memandang sahabatnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Perlahan wajahnya berubah menjadi raut yang menggambarkan kekecewaan, tetapi dalam hitungan detik wajahnya kembali seperti semula.

Mungkin dia lapar? Hide bertanya-tanya dalam pikirannya sendiri. Namun sekilas kemudian, dirinya teringat sesuatu sebelum menanyakan apakah Kaneki lapar atau tidak. Hide tidak jadi menyinggung perihal soal makanan. Otaknya berpacu untuk mencari topik lain yang dapat membuat Kaneki terpancing untuk berbicara dengannya.

“Kalau kau menolak membaca buku ini ...” Hide mengalihkan pandangannya ke bawah. Dia tahu pasti bahwa ini tidak akan pernah menjadi percakapan yang seimbang.

Maksudnya—ini bahkan tidak dapat disebut sebagai percakapan.

Definisi dari percakapan, yang Hide tahu, adalah suatu bentuk komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Dibandingkan dengan itu, yang dilakukan Hide saat ini mungkin lebih cocok bila dinamakan sebagai monolog.

“Ah, Kaneki, bintangnya banyak sekali, bukan?” Hide menemukan topik baru: cuaca. Terdengar membosankan memang, tapi Hide tidak akan pernah bosan bila berbasa-basi dengan Kaneki. Apapun topiknya. Hide akan selalu bersama Kaneki, itu tujuannya. Matanya tertuju ke langit, berlawanan dengan arah pandangan sebelumnya. Beberapa anak rambutnya tertiup angin malam yang menerpa wajahnya. “Meskipun begitu, aku hampir tidak dapat melihat apa-apa di sini. Rasanya seperti hanya ada kau dan aku di dunia ini.”

Hide tersenyum lemah. Dia menyentuh bagian dari sahabatnya, kemudian menarik nafas panjang, menghirup udara malam. “Sudah lama kita tidak ke luar malam-malam seperti ini, 'kan, Kaneki?”

Kaneki tidak bergeming. Menjadi pendengar yang baik adalah hal yang pas untuk Kaneki, Hide sama sekali tidak keberatan bila harus sedikit lebih banyak bicara dibanding dirinya.

Namun kini Kaneki tidak bereaksi, dan Hide tidak menyukai hal itu. Dia benci diabaikan seperti ini. Dia merasa seperti dikembalikan pada masa saat dirinya tengah menjadi 'transparan' di tengah keramaian pengunjung dan pegawai di Anteiku. Di sana, dia melihat Kaneki bercakap-cakap dan tertawa dengan akrab bersama pegawai Anteiku lainnya. Hide ditinggalkan, begitu pikirnya saat itu.

Tapi Hide tahu satu hal, Kaneki tidak akan melupakannya begitu saja. Kaneki hanya ingin melindunginya, itu saja. Pernah beberapa pertanyaan terbesit di benak Hide, yang mencampur aduk perasaannya. Apakah hal itu layak dibayar dengan hilangnya kesempatan mereka untuk bersama?

Apakah Kaneki akan tinggal bersama selamanya dengan ghoul lainnya?

Apakah Kaneki akan menemukan sahabat yang menggantikan dirinya di luar sana?

Apakah Kaneki akan pulang?

Kapan Kaneki akan pulang?

Apa Kaneki ingin pulang?

Mengingat masa itu, Hide tersenyum gelisah.

“Kaneki, malam sudah larut, ya?” gumam Hide, yang tentu saja tidak akan ditanggapi oleh Kaneki. Sampai detik ini, Hide tahu pasti usahanya akan sia-sia. Ia tertunduk perlahan.

“... aku senang sekali.”

Hide mengangkat kepalanya dan menunjukkan senyum lebar yang dimilikinya.

“Aku senang kau sudah pulang, Kaneki. Kita akhirnya bisa bersama kembali. Kabar baik lainnya, kau bisa menghabiskan waktumu denganku, selama apa pun.”

Hening.

Hide dan Kaneki diselimuti oleh keheningan. Keduanya sama-sama terpaku seolah waktu sedang berhenti. Bintang-bintang masih bersinar, menyinari keduanya di tengah malam yang semakin larut.

Tidak lama kemudian, salah seorang dari mereka terkekeh. Orang itu adalah Hide, orang yang pasti dan selalu memecah keheningan di antara mereka berdua. Selalu. Namun, usahanya tetap tidak diindahkan oleh Kaneki, yang berdiam diri sejak awal dan masih berpegang teguh pada pilihannya untuk tidak merespon tingkah laku Hide.

“Aku tidak menyangka, aku ternyata sangat merindukanmu, Kaneki,” Hide berkata, kemudian mengulas senyuman tipis. Pelupuknya tidak dapat menolak untuk kesekian kalinya mengeluarkan setetes air mata yang turun ke pipinya.

“Berbicara dengan makammu setiap hari, aku seperti orang idiot, bukankah begitu?”

Sebuah fakta, bahwa sebagian besar waktu yang diluangkan Hide adalah bersama Kaneki. Hide menyukai kebiasaan itu, dia tidak ingin melewati hari-harinya tanpa kehadiran Kaneki. Sedikitpun tidak.

owari

ConversationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang