Seketika itu beberapa suster masuk dan salah satu dari mereka berlari menuju ruang dokter, sedangkan yang lain mengecek setiap alat yang ada di dalam ruangan. Aku yang masih terkejut dan tentu saja merasa sangat senang, terus berdiri di samping ranjang Akashi-kun, tetap diam dan menunggu sampai dokter datang dan mengatakan kalau Akashi-kun baik-baik saja.
Beberapa menit kemudian, dokter datang diikuti oleh suster yang tadi. Dokter langsung memeriksa keadaan Akashi-kun dan aku masih menunggu. Dalam hati aku terus berdoa untuk kesembuhan orang yang paling kusayangi. Akashi-kun kelihatannya hanya terdiam dan tubuhnya pun masih terlihat lemas. Tentu saja, sebulan ini Akashi-kun hanya diam, sudah pasti otot-ototnya kaku.
Pemeriksaan masih dilakukan, aku memberikan ruang sebanyak mungkin bagi dokter untuk memeriksa keadaan Akashi-kun. Namun tetap saja, ada perasaan mengganjal yang kurasakan. Akashi-kun... tidak apa-apa kan...?
“Kuroko-san, Akashi-san keadaannya mulai membaik, namun saya perlu berbicara dengan anda di ruangan saya.” Ucapan dokter sontak saja membuat perasaan tidak enak yang ada melesak naik dan seakan terus menghantui pikiranku. Sekuat mungkin aku berusaha menghilangkan perasaan itu lalu mengangguk dan mengikuti dokter selama Akashi-kun ditangani oleh para suster.
Aku duduk di kursi menghadap sang dokter. Raut wajahku cukup tegang, tentu saja. Siapa yang tidak akan merasa seperti itu?
“Kuroko-san, saya sudah melakukan beberapa cek dan hasilnya bagus. Hanya perlu menunggu hasil lab untuk hasil pastinya,” ujar sang dokter membuka percakapan. Aku mengangguk paham.
“Masalahnya adalah... Akashi-san sepertinya kehilangan kemampuan penglihatannya karena benturan keras dan pendarahan di kepalanya. Saya mengira akan sulit untuknya melihat. Saya belum bisa pastikan apakan Akashi-san kehilangan penglihatannya secara permanen atau tidak, hanya saja selama pemeriksaan tadi, pasien yang bersangkutan samasekali tidak memberikan perhatian kepada saya lewat matanya,” lanjut sang dokter panjang lebar. Kedua mataku membulat sempurna, kedua tanganku terkepal erat dan dadaku rasanya sangat sesak.
Ini... sungguhan?
Kenapa...
“Apa bisa kembali normal, Dok?” tanyaku terdengar agak ragu.
“Saya belum tahu, tapi tentu saja mengenai hal ini akan saya periksa lebih lanjut. Untuk itu, saya minta Kuroko-san untuk tetap tegar dan sebisa mungkin membantu pasien karena kemungkinan pasien akan sangat membutuhkan dukungan moral dari orang terdekatnya.” Dokter menjawab setelahnya.
Aku mengangguk. Tentu saja akan kulakukan apapun untuk Akashi-kun. Jika perlu, aku akan memberikan semua yang kumiliki untuknya.
Setelah itu, hanya percakapan biasa, dan aku diperbolehkan kembali ke kamarnya Akashi-kun. Sesampainya di sana, Akashi-kun masih terbaring di ranjang, namun kini masker oksigen telah digantikan dengan selang oksigen di hidungnya.
“Akashi-kun?” panggilku lembut seraya berjalan mendekatinya. Ia menoleh sedikit. Hatiku rasanya sakit. Benar saja, Akashi-kun tidak memusatkan penglihatannya padaku. Aku berdiri di sampingnya.
“Akashi-kun, bagaimana keadaanmu, lebih baik?” tanyaku seraya mengusap pelan tangannya.
“Tetsuya... apa aku buta?” pertanyaan itu membuatku terdiam, dan tentu saja rasanya seperti menusuk. Aku yang mendengarnya saja merasa sakit, apalagi Akashi-kun yang mengalaminya.
”Tetsuya, kau ada di sini kan? Jawab aku.” Nada bicaranya yang terdengar absolut itu masih ada, dan aku tersenyum lembut.
“Akashi-kun, aku akan selalu ada di sampingmu, sampai akhir hayatku, bahkan aku ingin tetap bersama Akashi-kun di dunia setelah kematianku,” jawabku seraya tetap berusaha tersenyum dengan tulus.
Akashi-kun terdiam setelahnya. Ia menggenggam tanganku, lalu satu tangan lainnya terangkat seakan mencoba untuk meraihku. Aku mendekat, lalu membawa tangannya menuju pipiku. Aku tersenyum saat Akashi-kun memperlihatkan senyum lemahnya.“Tetsuya...” panggilnya seraya mengusap pipiku lembut. Sentuhan ini, benar-benar membuatku bahagia. Sentuhan dari orang yang kucintai, perasaan hangat ini...
“Akashi-kun, selamat datang kembali," ujarku sambil menggenggam tangan Akashi-kun yang satunya, dan memegang tangan yang berada di pipiku.
“Izinkan aku menyentuhmu lagi, Tetsuya...” Akashi-kun kini menggerakkan tangannya perlahan, meraba-raba wajahku. Mulai dari mengusap rambutku, lalu turun menuju pipi, semakin turun lalu ia menyentuh bibirku dengan jari-jarinya. Aku membiarkannya, seraya menahan tangis.
“Akashi-kun, tetaplah di sini bersamaku, tetaplah tinggal dan aku akan selalu menjagamu, Akashi-kun. Ku mohon...” pintaku.
Akashi-kun tertawa kecil, “Tetsuya, itu kalimatku...” ujarnya. Aku lalu tersenyum dan kemudian memeluknya perlahan, berusaha untuk tidak membuatnya merasa sakit. Akashi-kun membalas pelukanku.
“Aku masih dan akan selalu mencintaimu, Akashi-kun...” bisikku seraya membiarkan tubuhku berada dalam pelukan sang Emperor.
“Aku juga, Tetsuya. Sampai kapanpun...” terasa olehku, Akashi-kun mengecup puncak kepalaku dengan lembut. Aku merasa sangat lega, merasa aman, merasa hangat selama Akashi-kun ada di sisiku.
Malam itu aku memutuskan untuk menginap. Awalnya Akashi-kun memintaku untuk pulang dan ia tidak setuju mendengar aku ingin bolos sekolah selama satu hari hanya demi dirinya. Sempat ada perdebatan kecil, namun akhirnya kali ini, aku berhasil menang dan aku menginap di sana. Menghabiskan malam bersama. Aku benar-benar tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Hari di mana Akashi-kun bangun adalah hari yang benar-benar aku tunggu.
“Selamat malam, Akashi-kun. Selamat tidur. Aku mencintaimu...” aku mendekatkan diriku lalu mencium bibirnya lembut, seperti yang Akashi-kun minta.
“Selamat malam, Tetsuya. Aku juga mencintaimu...” ia tersenyum, dan kami sama-sama tertidur.
Hari itu merupakan hari yang paling menyenangkan untukku. Meskipun aku harus menahan kesedihan setelah mengetahui kenyataan bahwa Akashi-kun tidak akan bisa lagi melihatku seperti dulu, tidak akan bisa lagi memancarkan cintanya lewat tatapan matanya, namun keberadaannya di sampingku sudah sangat cukup bagiku. Aku akan selalu berada di sampingnya, selama-lamanya.
.
.
.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hope Tomorrow Will Never Come
FanfictionDisaat yang lain menikmati dinginnya cuaca dengan menghabiskan waktu bersama yang terkasih dan saling berbagi kehangatan, aku di sini, berdiri di depan gedung yang menjulang tinggi, terus berdoa, mengharapkan kesembuhan kekasih yang terbaring lemah...