Pagi ini aku terbangun dengan perasaan lebih lega dari biasanya. Ya, Akashi-kun akhirnya membuka mata setelah kurang lebih satu bulan berbaring tanpa mampu bergerak. Meskipun hal itu memerlukan penglihatan Akashi-kun sebagai tebusannya. Kini kamarnya sudah berpindah dari ICU dan menempati kamar perawatan kelas atas. Oh ya, kudengar Ayahnya Akashi-kun yang meminta, meskipun beliau belum sempat menjenguk, namun ia meminta pihak rumah sakit untuk memastikan kesembuhan putra semata wayangnya tersebut.
"Tetsuya..." panggilan lirih itu menarikku kembali dari lamunan. Tanpa kusadari, selama ini ternyata aku terus memandangi kekasihku yang tidur dengan tenang sambil mengusap tangannya lembut, menyalurkan perasaan bahagia dan cinta untuknya.
"Ya, Akashi-kun," jawabku sambil tersenyum. Meskipun Akashi-kun tidak akan melihat senyumku, bukan berarti aku bisa terlihat sedih di depannya 'kan?
Setelah itu ia seperti mencoba untuk menggerakan tubuhnya, mencari posisi yang pas untuk merilekskan otot-otot tubuhnya setelah semalaman tidur dengan posisi yang sama. Ah, Akashi-kun pasti rindu kasurnya.
"Akashi-kun perlu bantuan?" tanyaku lembut. Namun sepertinya ia benar-benar tidak ingin terlihat lemah di hadapanku. Tawaranku ditolaknya dengan senyum dan gelengan kepala. Ia berusaha untuk duduk sendiri. Pada akhirnya aku membantu membetulkan posisi bantal dan menaikkan sedikit bagian kasur atas agar ia lebih nyaman duduk. Setelah itu ia berbicara seraya tersenyum, "Terimakasih, Tetsuya."
Jam menunjukkan pukul 08.30 pagi, matahari sudah mulai naik lebih tinggi dan cahayanya masuk melalui jendela, menyinari lelaki bersurai merah yang menjadi satu-satunya pengisi kekosongan hati. Akashi-kun terlihat tampan meskipun cahaya di matanya redup, dan tubuhnya lebih kurus sekarang. Aku harus terus memperhatikan asupan makanannya, ingatku dalam hati.
"Tetsuya, duduk di pangkuanku." Aku yang tengah mengambil segelas air putih pun berbalik, terkejut dengan permintaan yang baru saja dilontarkan.
"Eh...?"
"Duduk di pangkuanku, Tetsuya. Kau dengar aku?"
"Tapi, Akashi-kun..."
"Tidak apa-apa, cepatlah Tetsuya."
Oh astaga, aku benar-benar tidak paham dengan pikiran Akashi-kun saat ini. Aku memang tahu kalau kepalanya sempat terbentur, tapi bukan berarti aku harus mengikuti perintahnya duduk di pangkuan sementara ia sendiri masih belum benar-benar pulih 'kan?
"Tetsuya?" Akashi-kun kembali memanggil. Ia menoleh, mencari keberadaan diriku karena tak lantas menghampiri. Pada akhirnya aku meninggalkan gelas berisi air putih tersebut dan berjalan mendekatinya.
"Akashi-kun belum benar-benar pulih, lagipula untuk apa aku harus duduk di pangkuanmu?" aku berujar lembut. Tangannya kugenggam dan ia pun tersenyum, senyum yang lebih mirip dengan seringai tipis. Oh tidak.
"Aku merindukanmu, Tetsuya. Coba katakan sekali lagi, berapa lama aku tertidur di sini?" balasnya sambil melihat kearahku, mencoba untuk mempengaruhi lewat kata-katanya. Ah, melihat manik merahnya kini redup membuatku sedih, jujur saja. Aku berharap Akashi-kun akan bisa mendapatkan kemampuan penglihatannya kembali.
"Tetsuya?" panggilnya lagi. Ah, gawat. Aku terlalu banyak melamun. "Kau baik-baik saja?" lanjutnya kembali bertanya. Satu tangannya terangkat dan menyentuh pipiku. Dapat kurasakan jemarinya dengan lembut mengusap pipiku, dan raut wajah Akashi-kun seakan terlihat khawatir.
"Ah, maaf. Melihatku seperti ini membuatmu sedih, ya?" senyuman itu, senyuman yang menyiratkan rasa sedih. Seketika itu pula aku merasa keterlaluan. Aku seharusnya terus menghibur, bukannya malah membuat Akashi-kun khawatir seperti ini.
"Tidak.. Tidak, Akashi-kun. Aku sangat bersyukur Akashi-kun kembali untukku, aku hanya masih terkejut." Aku berbohong, dan Akashi-kun sepertinya bisa merasakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hope Tomorrow Will Never Come
FanfictionDisaat yang lain menikmati dinginnya cuaca dengan menghabiskan waktu bersama yang terkasih dan saling berbagi kehangatan, aku di sini, berdiri di depan gedung yang menjulang tinggi, terus berdoa, mengharapkan kesembuhan kekasih yang terbaring lemah...