-Kabur-

46 5 0
                                    

Dreyan menyambar tas di kasur dengan malas. Tubuh tegapnya telah terbalut kaos abu dan seragam SMA yang hanya dikancingkan satu dua. Ibunya menggeleng ketika melihat tampilan putra semata wayangnya, jauh dari kata rapi. Tangan wanita paruh baya yang tadi sibuk memindahkan makanan ke meja makan kini telah berpidah ke kepala Dreyan, sukses menjitaknya.

"Aduh! Bu, kok aku dijitak, sih?" Dreyan mengelus kepalanya, lumayan untuk ukuran ibu-ibu.

"Masih nanya? Kamu ini udah SMA lho! Udah gede, Dreyan! Rambut nggak disisir, baju nggak dikancingin, kamu mau ke sekolah apa ke pasar, hah?!" Nada bicara ibu Dreyan meninggi beberapa oktaf. Dreyan tak menggubris. Tangannya justru menjumput perkedel yang ada di piring. "Kalau diajak omong tuh nyahut, Dreyan!"

"Buk, pagi-pagi kok udah marah-marah. Yang penting aku sekolah, kan? Kalau Ibu ngizinin aku kerja juga..."

"Dreyan," tukas sang ibu sebelum Dreyan melanjutkan kalimatnya. Selalu seperti ini. Setiap pagi di kontrakan mungil namun rapi ini selalu ada keributan kecil. Entah Dreyan yang tak pernah menurut kata-kata ibunya, atau Dreyan yang selalu ngotot untuk berhenti sekolah agar bisa bekerja.

Bagaimana lagi?. Sejak ayah Dreyan meninggal beberapa tahun lalu, segala kebutuhan hidup ditanggung oleh sang ibu, sendirian. Dreyan kadang tak tega jika tengah malam ibunya masih menekuni jahitan pesanan tetangganya. Deru mesin jahit kadang membuat Dreyan terbangun, setiap menengok ke ruang tengah, yang dilihatnya hanya sang ibu dengan wajah lelah.

"Udah, ya Buk. Aku nggak ingin ribut sama buk. Dreyan pamit, assalamualaikum," ujarnya sambil mengecup punggung tangan ibunya.

"Walaikumsalam." Ibu Dreyan hanya bisa memandang pasrah anak yang telah gagal ia didik.

****

"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Pak Gunawan, guru fisika pada siswa di kelas Dreyan.

"Pagi," balas murid lain, kecuali Dreyan. Matanya bahkan tak menyentuh Pak Gunawan sama sekali. Ia lebih sibuk memandangi atap rumah yang terlihat dari jendela kelasnya. Ada banyak hal berkecamuk di pikirannya. Tentang masa depan dan kebahagiaan.

"Dreyan!" Sebuah sentakan keras mengagetkan Dreyan. Tampak wajah Pak Gunawan yang telah memerah karena marah. "kamu nggak memperhatikan pelajaran saya?" lanjutnya dengan nada yang berapi-api.

"Nggak, tuh Pak! Habis Bapak ngajarnya boring gitu. Mana ada murid yang mau merhatiin Bapak?" Tangan Dreyan memainkan pensil di mejanya.

"Eh, kurang ajar, kamu ya!"

"Ya kalau saya kurang ajar berarti salah yang ngajarin, dong. Salah sendiri ngajarin setengah-setengah, nggak tuntas. Ya jadinya gini, deh. Kurang ajar!" Kalimat yang meluncur dari bibirnya benar-benar tidak tepat. Wajah Pak Gunawan bukan lagi memerah, mungkin jika diibaratkan gorengan wajahnya telah gosong.

"Saya udah capek-capek menjelaskan, kamunya aja yang nggak fokus! Keluar, kamu!" Teriak Pak Gunawan. Dia pikir teriakannya dapat membuat Dreyan meminta maaf dan memperhatikan pelajaran. Tapi dia salah besar. Dreyan malah santainya berjalan melewati bangku-bangku. "Dreyaaan! Ke ruang BK sekarang!"

Dreyan duduk dengan santai di kursi kayu di ruang BK. Di seberangnya, terpisah meja besar seorang guru tengah menatapnya tajam. Di sampingnya, Pak Gunawan dengan bersungut-sungut menceritakan perilaku Dreyan. Dreyan mendesah kesal. Pasti teman-temannya tengah gembira karena sang guru sedang bersamanya di sini.

"Ya sudah Pak Gunawan, Dreyan biar saya yang urus. Bapak kalau mau mengajar lagi silahkan," ujar Pak Agus sang guru BK ketika telah mengetahui inti permasalahan. Dreyan dapat bernafas lega sekarang, paling idak telinganya tidak panas mendengar ocehan Pak Gunawan.

Jikalau Langit Punya BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang