Alanis sedang menata hatinya, salju yang turun dari langit kini telah melebut menjadi butiran-butiran kecil halus yang hampir selalu menyelimuti Russia. Alanis tidak pernah menyukai itu, baginya tidak ada yang lebih indah daripada musim panas yang menyimpan sejuta kebahagiaan, dan kedamaian. Dia bersenandung demi hatinya yang dia harap dapat kembali normal.
Sekeping salju turun mengenai telapaknya sebelum sampai ditanah, dan menggunung. Alanis tidak habis pikir bagaimana ia bisa hidup selama sekian tahun dalam belenggu musim dingin Saratov. Hampir separuh hidupnya, ia hidup dengan musim dingin, setelah negeri Russia dikutuk untuk tidak mengenal musim panas. Sungguh Alanis akan mengutukki habis-habisan jika ia bertemu dengan penyihir itu. Kalau boleh ia memilih, ia akan memilih untuk tidak pernah tumbuh dewasa, dan tetap pada usianya yang kesebelas. Dimana dia dapat melihat matahari yang menumbuhkan daun dan buah-buahan. Dan dimana ia melihat musim panas terakhir.
Alanis menutup jendelanya, sudah waktunya ia pergi dan memulai hidupnya sendiri. Ia merapihkan beberapa gaun dan matelnya, lalu memasukkannya ke dalam koper kulit berwarna cokelat. Ia memantapkan hatinya, jika ini memang takdirnya, ia akan mengikutinya. Tapi Alanis ingat betul, Kevaro pernah bilang bahwa Yekaterinburg menyimpan lebih dari dua kali lipat salju dari Saratov.
"Anne, kau yakin akan membiarkan Alanis pergi ke Yekaterinburg?" Arow meraih pundak istrinya, dan meyakinkan sekali lagi. Annemarrie tampak bimbang, tapi pada akhirnya, ia menyerah juga.
"Arow, kita tahu- Saratov akan mengalami kehancuran. Karena kita, Pamella akan mengirim badai salju dari sekian mil, dan Saratov akan membeku. Aku tidak akan membiarkan Alanis menderita"
Arow juga mengalah, memang dengan mengirim Alanis ke Yekaterinburg adalah satu-satunya cara supaya ia dapat hidup.
"Aleris akan memimpin Saratov, dan Saratov akan membaik" Arow menepuk pundak istrinya, dan memberikan senyum sejuta berlian andalannya, senyum kesukaan istrinya.
Alanis membukan kenop pintu kamarnya, dan berhambur kepelukan Annemarrie dan Arow. Tidak ada air mata, Alanis tahu ini akan terjadi. Karena pada dasarnya, meninggalkan orang tuanya adalah keputusan tersulit. Anne cepat-cepat menghapus air matanya sendiri sebelum akhirnya membeku.
"Ingat Mom, minus enam" Alanis memperingati ibunya, tapi akhrinya mereka tertawa juga. Betapa sulit bagi mereka untuk berpisah, tapi Yekaterinburg sudah menunggu, siap menerima Alanis.
Romario telah menunggu mereka dibalik gerbang singgahsana Arow, begitu Alanis menemuinya, pria tua itu langsung membimbingnya ke kereta kuda. Siap mengantarnya ke Stasius Saratov.
"Kau yakin, Nona? Akan pergi seorang diri?" Pada lubuk hati Romario menyimpan sejuta simpati pada Alanis. ia pelayan keluarga Arow, melihat Alanis tumbuh menjadi gadis yang kuat adalah sebuah kebanggaan tersendiri untuknya. Bagi Romario, Alanis tak jauh dari seorang keponakan kesayangannya.
"Aku terbiasa sendiri,Rio. Sedari Aleris kecil, aku terbiasa berpetualang ke Moskow untuk sekedar membeli pakaian" Jawab Alanis percaya diri. Romario hanya tersenyum simpul karena sejujurnya hatinya berkata tidak. Bagaimana bisa Alanis ke Yekaterinburg sendirian? Sementara salju sedang mengamuk, dan berlomba-lomba untuk membekukan.
"Andai saja Kevaro dapat menjemputmu, ia dapat menjamin keselamatanmu"
"Rio, tidak selamanya Kevaro akan berada disisiku. Kita paham dengan apa yang menimpanya, Kevaro akan selalu menjadi partner setiaku, bukan pelayanku" Alanis tersenyum lagi. Ah, betapa naifnya Alanis. Sehingga Romario khawatir, bahwa orang-orang akan terkena candu senyuman Alanis yang sangat menawan. Romario sadar, bukan hanya paras yang dapat menggerakkan jantung menjadi sepersekian detik lebih cepat, tetapi juga kerendahan hati Alanis.