Halo.. Salam kenal semua. Senang sekali rasanya aku bisa menceritakan kisah ini pada kalian.
Kalian bisa memanggilku Rama. Aku hanyalah seorang bocah ingusan miskin yang mencoba membagi kisahku pada kalian.
Tapi, sudikah kalian mengetahui keadaanku? Kehidupanku? Kesengsaraanku?
Mungkin ceritaku ini bukanlah cerita roman sepasang kekasih yang hanyut dalam cinta. Walau bagaimanapun aku hanyalah seorang anak kecil yang belum lagi mengerti masalah seperti itu.
Ceritaku juga tak menceritakan tentang kesuper heroan orang lain. Karena bagaimanapun bagiku mendapat pandangan belas kasih sudah membuat hatiku melambung tinggi.
Kisahku juga tidak membahas tentang keajaiban dunia atau kisah fantasi lainnya. Tapi kalau kalian menyebut bahwa orang orang yang disebut 'sampah masyarakat' sepertiku adalah keajaiban, itu terserah kalian.
Ini hanyalah kisahku. Kisah hidupku yang aku harap kalian yang berhati mampu melirikku dan orang orang senasib denganku walau hanya sebentar. Maka ibalah.
Apa kalian tau? Aku merasa senang dan sedih saat musim penghujanan tiba. Apa kalian tau kenapa? Ya jelas, karena rasa senangku bersumber dari sikap kalian yang awalnya cuek pada kami kini menatap kami kasihan. Hanya kasihan tanpa ada niatan di hati sebagian dari kalian untuk membantu kami. Rasa sedihku turut menyelimuti hatiku melihat berita berita yang mengiris ngiris ngilu jiwaku saat benda benda eletronik itu menyuarakan bahwa kejadian banjir itu disebabkan karena kehadiran kami "pemukiman kumuh di sepanjang kali"
Ah ah.. lalu, saat itu kami akan langsung berhadapan dengan petugas petugas itu. Mereka akan menggusur kami, mereka akan mengusir kami bagai sampah tak berguna. Sebagian dari kalian pun tak jauh beda, memandang kami hina dan tak mau dekat dekat pada kami bahkan beberapa kali aku mendengar suara orang tua memperingati anaknya dengan pandangan jijik mengatakan "jangan dekat dengannya. Dia orang gila"
Dan aku meringis. Apa pakaian ku yang kumal tak terawat ini menampilkan bahwa aku memang orang tak waras? Apa tubuhku yang kurus ringkih ini memang terlihat tak punya otak? Apa kulitku yang cokelat gelap karena terlalu lama tersiram cahaya mentari ini memang mencerminkan bahwa aku sudah hilang akal sehat? Apa tubuhku yang bau dan kakiku yang tanpa pengalas memang sudah sepantasnya dianggap gila? Apa aku yang memang tak bisa menikmati pendidikan diusiaku yang ke 10 ini akan selalu dianggap tak mendengar perkataan itu? Tak merasa di tatap jijik begitu?
Apa kalian adalah orang yang sama seperti itu?
Kembali pada tempat yang ku sebut rumah. Sebuah rumah yang terbuat dari kardus dan seng tua yang berkarat dan keropos. Sekali diterpa angin maka hilanglah sudah tempatku untuk mengistirahatkan tubuh kurusku. Sekali di terjang air hujan maka basahlah di mana mana, bertambahlah rasa dingin di sekujur tubuhku. Ditambah dengan nyamuk yang datang dan menjadikan kami santapan lezat bahkan dari kami banyak yang tak mampu bertahan dari gigitan nyamuk penyebab dbd atau malaria dan sejenisnya. Kami bahkan tak punya selimut seperti yang kalian pakai, ah jangankan selimut selembar kain untuk membungkus tubuh kami saja sangat syukur jika masih bisa kami dapatkan.
Tapi seperti itulah kami.
Terkadang aku dan juga adik serta kedua orang tuaku harus saling memeluk satu sama lain guna menghangatkan tubuh kami. Terkadang di kala kami seperti itu terdengar suara isakan pelan tangisan ibu. Kemudian ibu kembali meracau sambil mengelus elus kepalaku dan adik kecilku, Tiara. "Berdosalah aku.. berdosalah aku telah membawa kalian merasakan neraka dunia sampai kalian menderita... berdosalah aku.. aku akan masuk neraka... aku akan di bakar.. aku ibu yang tak berguna.. tak seharusnya aku membuat kalian menderita sampai separah ini..." kalimat kalimat itu terdengar pilu dan menyakitkan menghantam jantung dan mengoyak ngoyak perasaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Spritual
SpirituellesGambaran sebuah kesabaran yang Insyaa Allah menginspirasi.