Miskin.
Aku benci miskin.
Aku tak suka saat aku tak miliki apa apa. Aku tak suka saat orang lain menatapku kasihan. Seolah aku butuh rasa kasihan itu saja!
Cih.. aku tak mau miskin. Miskin tanpa kekayaan ekonomi. Oleh karenanya aku menyembunyikan fakta itu.
Fakta bahwa aku gengsi menjadi anak seorang ibu miskin dan terlahir miskin.
.....
Aku dan beberapa temanku sedang nongkrong di pojok kantin saat istirahat siang ini. Kami bersenda gurau tak peduli orang orang risih pada kegaduhan kami. Tapi toh kami tak peduli.
"Wahyu, pesenin bakso gih 2 mangkok" perintahku pada temanku yang duduk paling dekat denganku. Aku menaruh selembar uang di hadapannya.
"Siip bos" katanya sigap mengambil uangnya dan memesan bakso pesananku.
"Dih bos kita wahyu doang di traktir? Aku gimana?" Protes Firman.
Aku mendengus. "Iya pesan ajah" jawabku santai.
Firman kegirangan, buru buru saat ia ingin memesan aku menyelanya.
"Tapi bayar sendiri" teriakku membuat mereka lemas seketika.
"Ihh gak asik ah" Firman mencak mencak.
Aku hanya tertawa melihat wajah kasian Firman.
"Pesen ajah kalik" kataku kemudian membangkitkan kembali semangat 45 Firman untuk menikmati semangkok bakso.
"Beneran?"
Aku mengangguk.
"Gak lagi di bencandain kan?"
Aku menggeleng.
"Yeee.. bos Fajar emang paling perfect" serunya riang mirip anak SD.
........
"Oi Fajar"
Aku yang sedang bersiap menaiki motorku untuk pulang berbalik dan menatap bingung kearah Adam yang tadi memanggilku yang kini berdiri 3 meter dariku dengan menenteng tas di bahu kanannya.
Raut wajahku berubah datar.
"Mau apa kau?" Tanyaku ketus.
Sejujurnya aku tak suka dia.
Ia membuka tasnya, mengambil selembar kertas dan menyerahkannya padaku.
Aku mengernyit bingung.
Saat aku melihat kertas itu yang ternyata kertas ulanganku. Kenapa bisa ada padanya?
Aku merebut kertas itu dengan kasar.
Aku tersenyum miring melihat nilaiku.
95. Wow..
"Tadi pak Arya memberikannya padaku untuk diserahkan padamu" katanya dengan raut wajah datar andalannya itu.
"Dan kenapa harus padamu sih?" Kataku sewot. "Kayak gak ada orang lain ajah" aku mencibir.
"Karena kita tetangga berdekatan rumah" jawabnya datar. Ia memutar langkahnya dan berjalan menjauhiku.
"Maksudmu dari kata tetangga itu adalah istana dan sarang tikus yang di sebut rumah itu hah?"
Ia berhenti melangkah dan berbalik melirikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Spritual
EspiritualGambaran sebuah kesabaran yang Insyaa Allah menginspirasi.