Ada

24 0 0
                                    

Kegelapan itu begitu menenangkannya.

Ia telentang di atas rumahnya menghadap langit gelap. Rasanya, ia ingin selalu di sana. Selamanya. Tempat itu begitu sepi. Suara riuh jalanan tidak lagi mengganggunya. Hanya alam, dirinya yang telentang dan... mereka. Gemintang.

Entah magis apa yang dimiliki bintang-bintang itu hingga seorang Kiran begitu menggilainya. Ia rela bangun tidur tengah malam untuk menemui kekasih yang tak bisa dimilikinya. Ia bisa bertahan dengan cinta pertamanya satu-dua jam. Terkadang, sampai ia tertidur dan bangun kembali saat sapuan pandangannya tidak lagi dapat menangkap cahaya kecil bintang karena sudah sembunyi di balik terang pagi.

"Kau datang dengan sederhana / Satu bintang di langit kelam / Sinarmu rimba pesona / Dan, kutahu t'lah tersesat."

Lagu trio RSD, Satu Bintang di Langit Kelam, selalu diputar saat ia mengencani bintang-bintang. Berulang-ulang.

Sembilan tahun lalu, Kiran menemukan satu bintang. Ia merasakan getaran yang bersumber dari orang itu. Ia jatuh cinta pada orang itu. Entah karena apa. Bukankah itu yang namanya cinta, tanpa alasan?

Baginya, orang itu seperti bintang. Hadir, ada, namun tidak dapat dimilikinya. Ia hanya bisa menikmatinya seperti bintang di langit. Ia dapat menyentuhnya, tapi sekadar fisik luarnya. Bukan, hatinya. Ia ingin menyentuhnya luar-dalam. Namun, ia tahu diri. Ia dan bintang itu tidak diciptakan untuk bersama karena alasan yang tidak perlu dipertanyakan. Jika mereka nekat untuk bersama maka Tuhan, agama, negara dan manusia-manusia yang ada di sekelilingnya akan mencecar dan menghukumnya.

Tuhan cukup tahu diri dengan menjadikan mereka sahabat. Sahabat dekat sampai saat ini. Persahabatan mereka bagai keberuntungan bagi Kiran, atau malah menjadi... kesialan? Sembilan tahun selalu bersama. Bahkan, mereka sering dianggap pasangan oleh teman-teman mereka. Kiran selalu menyangkal anggapan itu, sedangkan Keenan menanggapinya dengan candaan jika mereka memang pasangan. Tanggapan Keenan selalu diakhiri dengan tawa, menandakan ia hanya bergurau.

Saat membeli rumah ini, Keenan-lah yang membantu kepindahannya. Menginap selama dua hari dan membantu menata rumah. Itulah awal Keenan menghabiskan weekend di rumahnya setiap libur kerja. Selalu. Seperti masa kuliah dulu, Keenan sering menginap di kosannya. Sampai akhirnya Keenan mengetahui kebiasaannya berdiam di atap rumah, yang berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian. Bertukar ceriya, bercanda dan berkhayal bersama.

Keenan menceritakan semua detail diri dan pengalamannya. Satu yang tidak pernah ia ceritakan. Tentang percintaannya. Tiap kali ditanya, Keenan menjawab kalau dirinyalah pacar Keenan. Lalu, Keenan tertawa lepas. Ia tahu kalau Keenan hanya bercanda dengan jawabannya. Atau, aku harap itu jawaban serius, Nan.

Di atap. Itulah tempat favorit mereka menghabiskan waktu. Memang, bintang yang terlihat di sini tidak sebanyak dibanding di rumah orang tua Kiran. Namun, dari sini, mereka bisa menikmati noktah cahaya di kaki gunung Salak. Tidak seindah gemintang, tapi ada rasa nyaman saat memandanginya.

"Gue tahu, itu tidak seindah konstalasi bintang di kampung lu. Cahaya itu ciptaan tangan manusia, jangan disandingkan dengan ciptaan Tuhan." kata Keenan saat kali pertama menunjukannya ke Kiran.

"Tak ada rotan, akarpun jadi." sahut Kiran. "Ini bisa mengganti bintang-bintang yang tidak pernah terlihat di sini karena selalu mendung."

Malam ini, langit cerah, gemintang bersatu dengan noktah cahaya di kaki gunung Salak. Terlihat saru batas antara bumi dan langit. Kecuali jika mata lebih tajam akan terlihat batas antara langit dan bumi. Pandangannya tak beralih dari langit malam. Pemandangan malam ini memanjakan matanya dan mengobati kerinduan yang lama ada di dalam hatinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang