Ku Cinta

96 10 4
                                    

Yang aku cintai.

"Jika Saja."
By:MillaChoi

"Kudedikasikan untuk dirimu yang tak lagi sama. Aku mencintaimu."

Happy Reading ^^
.
.
.
.
.
"Doakan saja dia." Ucap sahabatku di tengah riuhnya suasana kelas. Membuatku kembali berlayar mengarungi memori tentang dirinya.

Dia.

Sejak tahun pertama kehidupan SMA, lelaki itu berhasil menyita seluruh perhatianku. Menguasai sebagian besar pikiran dan hatiku. Menjadi satu-satunya lelaki yang mampu membuatku tersenyum saat memikirkannya.
Lelaki dengan mata seindah kelopak mawar itu mampu mengeluarkanku dari labirin masa lalu. Senyum sehangat mentarinya berhasil mencairkan hatiku yang beku oleh waktu. Dia indah, bahkan melebihi maha karya seorang seniman kelas dunia.

Aku mencintainya, tentu saja. Lebih dari apapun dan sampai kapanpun.

Tapi bodohnya aku, yang hanya menyimpannya. Ditata rapi dalam arsip berharga dengan title "lelakiku" jauh di dasar hati terdalam. Menjadi seseorang yang dipuja kala malam tiba. Yang dengan sengaja aku mencuri pandang saat kelas berlangsung. Semua itu begitu mengasyikkan. Rasanya seperti indra prasaku mengecap selai strawberi, manis. Atau seperti ketika aku berada di tengah hutan, tenang. Kalau tidak, seperti saat aku berlari-lari di bawah guyuran hujan, menyenangkan.

Setidaknya itulah yang aku rasakan sebelum dia mempunyai kekasih. Seorang gadis cantik dengan senyumnya yang manis. Perasaanku terluka mengetahui itu. Aku tak hentinya menangisi kenyataan bahwa dia milik orang lain. Aku takut untuk berhenti menyukainya. Dan rasa takut itu menyusup di antara oksigen yang aku hirup. Membuatku sesak saat mengingatnya.

Aku hampir menyerah dan mulai belajar untuk menyukai lelaki lain. Tapi nyatanya aku kembali padanya. Kebenarannya nama dia yang muncul dalam benakku. Aku tak bisa lepas begitu saja darinya. Dia terlalu berharga.

Ya, sangat berharga.

Di suatu malam-aku terbiasa memikirkannya. Tiba-tiba ada sesuatu yang mengetuk pintu hatiku. Mengajak untuk berdiskusi dan sedikit membuka pikiranku.
Jika aku mencintainya, seharusnya ... seharusnya aku berani untuk ikut bahagia saat dia tertawa. Sekalipun dia milik orang lain, bukan berarti aku tidak boleh menyukainya. Suka atau tidak itu hakku. Aku yang kuasa mengendalikan itu. Jika ingin berhenti terluka, maka belajarlah untuk tulus.
Dari sana aku mulai sadar dan menangis. Mengorbankan semua ego yang ada dan mulai mengenal ketulusan cinta yang tak mengharapkan balasan. Karena dari hati yang tulus akan ada bunga-bunga bermekaran ketika melihatnya tertawa bahagia, sekali pun bukan denganku atau karena aku. Dan itulah yang aku rasakan. Sampai sekarang.

Tapi saat liburan akhir tahun selesai, lelaki itu tak muncul. Dan membuatku tak lagi bisa mendengar suaranya. Terakhir yang kuingat adalah semester lalu saat dia merengek meminta bantuan untuk menyelesaikan tugas remedialnya. Sementara aku membantu, lelaki itu tertidur dengan ransel biruku yang dijadikannya bantal. Wajah tampannya yang polos terlihat damai seolah tanpa beban. Dia selalu seperti itu dan aku selalu seperti ini, tak bisa menolak seberapa keras pun aku mengelak.

Mataku menatap kosong meja yang selalu digunakannya. Mejanya berada tepat di sebelah kanan tempatku. Tapi yang membuatku tak senang dari awal masuk bukan dia yang duduk disana. Akan ada orang lain yang secara bergantian menempati tempat itu.

Semenjak mendengar kabar bahwa dia sakit, hatiku tak pernah berhenti berdoa. Berharap hari esok ia muncul dengan sikapnya yang menjengkelkan. Tapi sampai sekarang, yang kudengar hanya kesehatannya yang kian memburuk.

Rindu yang terasa mencekik ini memaksaku untuk datang melihatnya. Menegaskan kembali sisa ingatanku tentang lelaki itu. Tentang bagaimana senyumnya, tentang suara khasnya, dan tentang semua yang melekat padanya. Aku ingin menceritakan banyak hal. Mengenai kelas yang tak lagi seru tanpanya dan ... -mungkin-mengakui perasaanku.

"Antologi Cerpen"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang