LARANGAN 1: JANGAN MEMETIK BUNGA EDELWEIS SAAT NAIK GUNUNG

1.9K 92 10
                                    

PENGANTAR:

Hai pembaca. Ini adalah cerita pertamaku dan tujuh cerita yang akan kubagikan. Tiap daerah memiliki mitosnya sendiri. Aku pernah dengar tentang larangan memetik bunga edelweis yang biasa tumbuh di puncak gunung jika kita mendaki. Aku lupa di gunung mana tepatnya.

Kurasa larangan itu tak berlaku di semua gunung, karena aku sering melihat pedagang lokal menjajakan rangkaian bunga edelweis pada wisatawan di beberapa dataran tinggi yang pernah kukunjungi. Atau mungkin saja larangan itu hanya berlaku bagi pendatang dan bukan warga lokal yang menggantungkan nafkahnya pada gunung? Atau jika ingin memetiknya, harus ada ritual khusus atau paling tidak mengucapkan "permisi"?

Namun kita pasti tahu, di semua kebudayaan, gunung dianggap sebagai lokasi mistis dimana "sesuatu yang tak berasal dari dunia ini" biasa bermukim, jauh dari gangguan manusia.

Entahlah, yang pasti ada cerita menakutkan yang menimpa seseorang yang pernah melanggarnya.

Ada seorang pendaki bernama Dennis. Ia dan empat orang teman kuliahnya (semuanya laki-laki) mendaki sebuah gunung. Ada semacam prestise di kalangan anak muda jika mereka berhasil menaklukkan sebuah gunung dan memposting foto-foto keren mereka di puncak ke instagram sebagai buktinya. Namun seringkali mereka lupa bahwa mereka adalah "tamu" di sana dan harus mengikuti aturan yang berlaku di sana.

Tanpa kecuali ...

***

"Woi, ngapain kamu?" teriak Yuga, teman mendakinya, "Kan kamu tahu dilarang memetik bunga edelweis di sini!"

"Ah, tak ada yang lihat. Lagian cuman satu kuntum kok, apa salahnya?" Dennis bersikeras dan memasukkan bunga itu ke dalam tasnya. Cukup keren ia pikir, jika ia memberikannya pada Lia , gebetannya di kampus, jika ia pulang nanti.

"Sudah saatnya melanjutkan perjalanan nih!" komando Yuga kepada teman-temannya begitu ia merasa waktu istirahat mereka sudah selesai. Kembali mereka mengambil barang-barang mereka dan beranjak pergi.

"Ugh," ujar Dennis susah payah sembari mengangkat tas ranselnya, "Seingatku barang bawaanku nggak seberat ini?"

Akibatnya, Dennis merasakan dirinya mulai tertinggal dengan teman-temannya. Mereka terus berjalan, sedangkan Dennis mulai kepayahan.

"Woi! Tunggu!" seru Dennis dengan napas tersengal-sengal. Namun sepertinya mereka tak mendengarnya.

Hingga pada suatu titik, Dennis tak melihat mereka lagi.

"Kurang ajar! Setia kawan apanya?!" makinya dalam hati. Lebih parah lagi, kabut mulai turun. Dedaunan yang tadinya hijau kini terselimuti aura putih yang mulai membuatnya menggigil.

Namun tak masalah, pikir Dennis. Jika ia mengikuti jalan setapak ini, pastilah ia akan tiba di pos berikutnya.

Tiba-tiba ia melihat seseorang di depannya. Dennis langsung berpikir pastilah itu salah satu dari temannya.

"Woi! Kenapa tadi nggak dengar ..."

Namun betapa kagetnya ketika menyadari ia salah orang. Sosok di depannya adalah seorang gadis berpakaian pendaki yang menggendong sebuah ransel usang.

"Oh, maaf ... aku pikir kamu temanku. Apa kau melihat mereka?" Dennis salah tingkah. Apalagi gadis di depannya lebih muda darinya dan berwajah cukup manis.

Mimik wajah gadis itu sedikit ketakutan, namun terlihat lega. "Apa kau tersesat juga?"

"A ... aku tidak tersesat. Aku hanya ditinggal teman-temanku tadi. Apa kau kehilangan arah? Jangan khawatir, kita tinggal mengikuti saja jalan setapak ini."

PAMALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang