LARANGAN 4: JANGAN MENCORAT-CORET WAJAH TEMANMU SAAT TIDUR

2.4K 69 12
                                    

PENGANTAR

Tibalah kita di cerita keempat. Apakah kalian semua menikmati ketiga ceritaku sebelumnya? Apa kalian belajar sesuatu dari cerita-cerita tersebut? Baguslah jika iya. Sebab cerita berikutnya akan mengisahkan remaja-remaja yang tak mengindahkan sebuah pamali lama. Tanpa mereka sadari, akibat dari perbuatan mereka akan sangat mengerikan ....

*** 


"DASAR USIL!" Jerri cekikikan ketika Bagus melukisi lengan Hanick yang sedang tertidur dengan tinta.

"Biarin aja. Ini anak kalo sedang tidur seperti mayat, nggak bisa dibangunin." Bagus terkikik.

"Hei, bentar lagi masuk nih." Jerri mengingatkan. Mereka bertiga memang sedang mengikuti acara pesantren kilat di sekolah mereka selama tiga hari. Akibatnya, mereka semua harus menginap di sekolah.

"Iya bentar lagi. Aku kok belum puas ya mengusilin anak ini?" Bagus kemudian mencoretkan tinta itu di wajah Hanick yang masih terlelap dalam alam mimpi.

"Hei hei! Apa yang kau lakukan?!" cegah Jerri.

"Mencorat-coret wajahnya. Pasti lucu begitu dia bangun dan panik karena terlambat terus muncul di aula dengan wajah penuh coretan seperti ini."

"Apa kau belum pernah dengar kalo pamali mencorat-coret wajah orang yang sedang tidur?"

"Kenapa memangnya?"

"Roh-nya kan sedang berkelana saat tidur. Bisa jadi roh-nya sulit menemukan tubuhnya karena tak mengenali wajahnya yang dicorat-coret. Akibatnya bisa fatal!"

Mendengarnya, Bagus malah terbahak-bahak. "Astaga kamu masih percaya saja takhyul begituan?"

Tiba-tiba terdengar suara dari megaphone yang memerintahkan agar semua siswa kembali ke aula.

"Dengar itu Pak Guru memanggil! Buruan bangunin Hanick!" Jerri segera berlari keluar karena tak mau terlambat.

Namun Bagus hanya tersenyum dan meneruskan mencorat-coret wajah Hanick.

***


"Hei mana Hanick?" tanya Jerri ketika akhirnya acara mereka siang itu selesai.

"Lho, dia masih belum bangun? Tadi pas kutinggal dia masih tidur?" Bagus menatapnya.

"Lho? Belum kamu bangunin? Gimana sih?"

"Maaf ... kupikir dia akan segera bangun. Wah nyenyak sekali tidurnya ya? Jam segini masih belum bangun?"

"A ... apakah kalian melihat Hanick??" terdengar seutas suara seorang gadis di belakang mereka.

"Lola? Ada apa kau menanyakannya? Dan kenapa wajahmu pucat sekali?"

Wajah gadis itu memang terlihat pucat.

"Dimana Hanick? Kalian teman dekatnya bukan?"

"Terakhir kulihat dia masih di kelas, ketiduran. Kenapa memang?"

"Ka ... kalian pasti menganggapku gila karena menceritakan ini, namun apa yang akan kuceritakan ini benar." Gadis itu tampak ragu apakah akan menjelaskannya pada kedua pemuda itu atau tidak.

"Ada apa memangnya, Lol? Jangan membuat kami penasaran begitu dong."

"Begini ... sejak kecil aku memiliki kemampuan ini ... kalian bisa menyebutnya indra keenam. Jika firasatku buruk, biasanya hal yang jelek memang akan terjadi pada orang itu."

"Apa maksudmu? To the point saja!"

"A ... aku melihat Hanick di sini ..."

"Nah, bagus dong. Berarti dia tidak telat masuk ke aula." Bagus merasa lega.

"Lalu kenapa kau justru mencarinya?" Jerri masih tak mengerti.

"Bu ... bukan Hanick yang kalian kenal. Melainkan roh-nya ... dia berdiri di pojok situ!"

Bagus dan Jerri menoleh ke arah yang Lola tunjukkan, namun tak ada apapun di situ.

"Ra ... raut mukanya amat kebingungan. Aku tak mengerti kenapa rohnya bisa terpisah dengan tubuhnya seperti itu, seperti hantu. Itu hanya bisa terjadi jika dia meninggal ..."

"Astaga, Hanick!" Jerri segera bergegas menuju ke kelas dimana Hanick tadi terlelap, diikuti Lola dan Bagus. Di sana mereka menemukan tubuh Hanick masih terbaring di atas tikar.

"Hufh, syukurlah dia baik-baik saja!" Bagus menarik napas lega, "Lihat, Lol! Dia di sini. Kau pasti salah lihat tadi."

"Tidak! Dia tidak baik-baik saja!" Jerri berusaha membangunkannya, tapi percuma. "Tubuhnya sudah mulai mendingin. Lihat, wajahnya pun pucat sekali. Dan aku tak bisa merasakan denyut nadinya ..."

"A ... apa? Beneran?!" wajah Bagus ikut memucat.

"Kenapa wajahnya dicorat-coret seperti itu?" jerit Lola begitu melihatnya, "Kalian tak melakukannya saat ia tertidur kan? Rohnya bisa kesulitan mencari tubuhnya jika seperti itu!"

"Se ... semua ini serius?" Bagus ketakutan, "Ji ... jika aku tahu seperti ini akibatnya, aku takkan seiseng ini! Aku benar-benar menyesal!"

"Semoga kita masih bisa menolongnya! Perasaan tak enak ini ... aku pernah mengalaminya dulu, saat aku bersama kakak kelas kita yang sudah lulus dan adiknya yang masih kecil. Beberapa hari kemudian, adiknya tewas karena dipukuli dengan brutal. Jika kita tidak segera bertindak, mungkin Hanick akan mengalami hal serupa!"

"Apa yang harus kita lakukan?"

Cepat ambil air untuk menghapus semua tinta di wajahnya ini!" perintah Lola. Kedua pemuda itu segera melaksanakannya dan berusaha sekeras mungkin menghapus semua coretan yang ada di muka Hanick.

Mereka semua terkesiap ketika muka Hanick telah bersih, perlahan-lahan ia bernapas makin kencang dan terbangun dengan tersengal-sengal, seakan dia habis terjaga dari mimpi buruk.

"Hanick, kamu nggak apa-apa?"

Hanick menatap mereka berdua, "A ... apa yang terjadi padaku? Rasanya aku tadi seperti tertidur selama bertahun-tahun."

Jerri dan Bagus merasa ngeri mendengar cerita Hanick selanjutnya. Selama tertidur, dia merasa bermimpi sedang mencari sesuatu, namun ia tak kunjung menemukannya. Ia juga merasa ada sosok menakutkan yang mengejarnya, namun Hanick tak ingat apa itu. Yang jelas, makhluk itu seakan ingin merenggut dirinya masuk ke dalam kegelapan agar tak dapat kembali lagi.

"Syukurlah kau sekarang baik-baik saja." ujar Jerri lega.

"Iya, maafkan aku!" Bagus tampak menyesal, "Mulai sekarang aku takkan iseng seperti itu lagi."

Mereka bertiga segera keluar dari ruangan kelas. Namun perasaan yang sejak tadi menggelayuti hati Lola tak kunjung pergi juga.

"Kenapa ini ..." pikirnya ketika merasakan hatinya masih belum merasa enak, "Padahal kan Hanick sudah bangun ..."

Gadis itu menoleh ke pojok kelas dan tercekam.

Di sana berdiri Hanick, masih seperti yang ia lihat di pojok aula tadi. Mukanya muram diselimuti aura gelap. Putus asa.

"Tunggu, jika itu Hanick ..." Lola segera menoleh, "Berarti itu tadi ..."

Bagus dan Jerri sudah keluar dari kelas, namun Hanick yang tadi terbangun masih berada di ambang pintu dan menoleh.

Ia menyeringai ke arah Lola sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya.

"Sssssssst!"


THE END


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PAMALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang