LARANGAN 2: JANGAN MEMBUNUH ULAR TANPA MENGINJAK KEPALANYA

7.6K 68 10
                                    

PENGANTAR:

Ular selalu dianggap sebagai hewan mistis di berbagai mitologi di seluruh penjuru dunia. Iblis menjelma menjadi ular kala menggoda Adam dan Hawa di taman Firdaus. Di berbagai kebudayaan, ular memang dianggap sebagai simbol kejahatan. Mungkin karena cara melata ular yang aneh. Atau karena alasan yang lebih simpel, ular merupakan salah satu hewan paling mematikan di dunia. Sehingga manusia secara naluriah takut dan memilih menghindarinya.

Karena alasan itu, manusia cenderung membunuh ular begitu menemukannya. Cukup masuk akal, sebab beberapa ular memiliki bisa yang mematikan. Namun orang-orang tua pada zaman dulu berkata, jika kamu terpaksa membunuh ular, jangan lupa hancurkan kepalanya. Entah ini benar atau tidak, namun pada saat mati, hal terakhir yang dilihat ular tersebut akan terekam di dalam matanya, termasuk wajah pembunuhnya. Jika ular lain melihatnya, maka ular tersebut akan mencari kita untuk membalas dendam.

Seperti yang dialami tokoh dalam cerita yang satu ini.

***

"Mati kau!!!"

Batara menghujamkan linggis itu ke perut ular itu, memotongnya menjadi dua. Seketika ular itu menggeliat sebentar, kemudian tak bergerak, menemui ajal.

"Huh," ucap Batara dengan lega, "Untung saja tadi nggak sempat masuk rumah."

Semenjak ditugaskan ke daerah pedalaman, dia selalu saja punya masalah dengan hewan liar yang tinggal di hutan dekat rumah dinasnya. Batara sama sekali tak suka berada di tempat seperti ini. Namun apa boleh buat, ini perintah atasannya. Belum lagi dia dibayar cukup pantas dan paling tidak, ia bisa berlibur ke kota pada akhir pekan.

Ia kemudian mengunci pintu dan berangkat ke kantor. Di sana, ia bertemu dengan temannya, Dewa, dan menceritakan pengalamannya.

"Apa kau tadi menghancurkan kepalanya juga?"

"Buat apa? Toh ularnya sudah mati." balas Batara sambil menyantap sarapannya.

"Ini buruk, kau harus kembali dan menghancurkan kepalanya!" Dewa mengelus dagunya, "Namun itu juga akan percuma jika sudah ada ular lain yang melihatnya ..."

"Kamu ngomong apa sih?"

"Begini Bat ... orang tuaku sering bilang, jika terpaksa membunuh ular, kita harus menghancurkan kepalanya. Jika tidak, ular lain akan kembali dan membalas dendam."

"Hahaha!!!" Batara tertawa hingga nyaris tersedak, "Sudah zaman teknologi maju begini masih saja percaya takhyul. Lihat nih, ini sudah zaman digital!" Batara menunjukkan ipad-nya. "Aku saja kenalan sama cewek cantik nih di Line. Malam minggu nanti kami mau ketemuan di kota!"

"Terserah kamu deh mau percaya atau tidak." Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tapi aku sarankan mulai sekarang kamu berhati-hati ..."

Batara hanya tertawa dalam hati mendengarkan peringatan temannya. Ia bahkan lupa tentang ular hingga ketika pulang, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan.

"Hiiiiy!" Batara melonjak ketakutan ketika membuka lemarinya dan menemukan seekor ular mendesis ke arahnya. Ia segera menutupnya kembali dan menguncinya. Aneh, pintu dan jendelanya semua tertutup rapat. Bagaimana ular itu bisa masuk? Lewat ventilasi-kah? Mustahil. Semua lubang ventilasi di rumahnya sudah ia lapisi dengan kawat kasa untuk mencegah nyamuk masuk.

Batara memutuskan meminta tetangganya membunuh ular itu. Setelah selesai, tetangganya itu menyingkirkan jasad ular itu. Dilihatnya kepala ular itu sudah hancur.

"Hati-hati, Pak. Hancurkan kepala ular kalau sudah dibunuh. Kalau tidak, nanti temannya akan terus berdatangan."

Tak hanya membantunya, tetangganya itu memberikannya sesuatu. Semacam kayu yang konon katanya dapat menolak ular. Batara menerimanya saja. Toh tetangganya itu berniat baik.

Selama semalaman Batara tak bisa tidur. Bagaimana jika Dewa benar? Bagaimana jika ular-ular itu akan terus berdatangan?

Keesokan harinya pemuda itu terbangun. Tak ada insiden berarti. Mungkin karena kayu penolak bala yang diberikan tetangganya. Atau mungkin karena kejadian kemarin hanya kebetulan saja. Tak ada kutukan ular aneh seperti yang dibicarakan Dewa. Batara hanya tertawa karena mempercayai semua itu.

Iapun bersiap untuk pergi ke kota. Ia ada janji untuk nonton bersama gadis yang ia kenal lewat Line. Namanya Naura, nama yang aneh menurut Batara. Namun gadis itu cukup cantik, hingga Batara tak begitu mempermasalahkannya. Mungkin itu nama yang lazim bagi penduduk asli sini.

Pemuda itu menerjangkan motornya melewati perbukitan dan jalanan yang menembus hutan di desanya hingga ia sampai ke kota setengah jam kemudian. Kota itu tak begitu besar, namun cukup banyak fasilitas hiburan di sini. Bioskop dan pusat perbelanjaan misalnya.

Gadis bernama Naura itu ternyata secantik foto profilnya. Agak pendiam, namun Batara tak keberatan. Gadis itu juga tampaknya cukup tertarik dengannya. Buktinya gadis itu meminta agar pulang bersamanya, sebab katanya ia memiliki saudara di desa tempat Batara kini tinggal.

"Tentu." kata Batara.

Gadis itu hanya tersenyum membalasnya.

"Sebentar, aku ambil helm cadangan dulu di jok motor."

Namun tiba-Batara terkejut ketika membuka jok motornya dan seekor ular melompat ke arahnya.

Batara menangkisnya dengan helm yang ia pegang dan kemudian menendangnya. Jantungnya berdegup amat kencang dan ia ketakutan setengah mati. Namun ia mencoba seberani mungkin di hadapan Naura.

"Astaga, apa kau tak apa-apa?" tanya gadis itu dengan mimik muka khawatir.

"Ti ... tidak apa-apa ..." Batara mencoba menormalkan lagi pernapasannya yang tadi menderu kencang.

"Memang banyak ular tinggal di hutan. Namun aku tak pernah melihat mereka sampai ke kota." kata Naura penuh rasa heran.

"Sial, ular-ular ini tak main-main rupanya!" pikirnya, "Berapa banyak lagi yang akan berdatangan? Jangan khawatir ... setibanya di rumah, aku akan aman ..."

Pemuda itu membocengkan Naura dengan rasa was-was. Diliriknya pepohonan yang ia lewati, kadang dengan mendongak ke atas juga. Ia tak mau ada ular yang tiba-tiba melompat ke arahnya.

Beruntung, ia sampai ke desanya dengan aman. Akhirnya ia tiba di depan rumahnya. Ketika ia menengok ke kotak posnya, dilihatnya sekelebatan ekor loreng masuk ke dalamnya.

"Sial! Mereka nekad juga!" pikir Batara. Didengarnya juga suara desisan dari berbagai arah. Dari semak-semak di pagar, dari pohon asam yang berdiri di pekarangan rumahnya, dari atas atap, bahkan dari balik rerumputan yang diinjaknya.

"Naura ... kau tak keberatan kan jika kita langsung masuk rumah saja?" ucapnya dengan gemetar, "Setelah ini akan aku antar kau ke rumah saudaramu."

"Tak usah, nanti biar kuminta saudaraku menjemputku di rumahmu."

Batara merasa lega mendengarnya dan segera mengajak gadis itu masuk.

"Bi ... biar kubuatkan minum dulu ..." ia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari keberadaan ular di dalam rumahnya.

"Mereka tak ada di sini ..." Batara mencoba meyakinkan dirinya, "Aku aman di dalam sini ..."

"Uh bau rumahmu aneh sekali ..." Naura tampak menyembunyikan wajahnya di balik rambut hitam panjangnya.

"Oh, maaf. Ini pasti gara-gara kayu pemberian tetanggaku." Batara juga baru menyadari bahwa kayu itu mengeluarkan sejenis wewangian yang cukup menusuk hidung. "Apa kau tidak apa-apa?"

Batara mendekati gadis itu karena khawatir, namun lalu ia melompat mundur karena ketakutan.

"ASTAGA ... NA ... NAURA?!"

Wajah Naura kini tak lagi menyerupai manusia. Kulit wajahnya bersisik. Matanya seakan terbelah seperti mata ular. Lidahnya menjulur panjang dan ujungnya bercabang menjadi dua. Dan dia mengeluarkan desisan panjang.

Batara hanya bisa menyesali, seharusnya ia hancurkan saja kepala ular itu.

THE END


PAMALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang