Sip Ha

16 0 0
                                    

(Sudut pandang laki-laki)

Aku melihatnya. Di sana, bercengkrama dengan teman-teman yang lain. Ia sesekali tertawa karena pembicaraan mereka yang entah tentang apa, tapi sepertinya memang lucu.

Aku melihatnya. Di sana, dengan dress merah selutut yang sesuai dengan dress code malam ini, dan sangat pas di tubuhnya. Ia sesekali juga menyunggingkan senyumnya–yang sungguh, sangat memikat–tanpa benar-benar memperhatikan sekelilingnya.

Dan aku melihatnya. Di sana, akhirnya melambaikan tangannya pada teman-teman yang lain dan berjalan menuju stand yang menyediakan makanan.

Jam tanganku menunjukkan angka 11:03. Cukup malam, untuk dia yang lebih banyak menghabiskan malamnya di rumah.

Ah, bahkan hingga kini aku masih mengingat tentangnya. Bagaimana bisa aku lupa, jika tiap hari hanya sosoknya yang terlintas di benakku?

Sambil memperhatikannya, aku kemudian berpikir. Apa ia pernah merindu padaku, barang sedetik pun?

Aku menghela napas.

Aku menunggunya, dari jauh, hingga ia menyelesaikan makannya kemudian berjalan ke arah teman-teman untuk berpamitan. Dan yang kulakukan selanjutnya adalah: mengikutinya.

Ku lihat, ia memeluk dirinya sendiri, mengusir dingin yang menusuk. Tanpa suara, aku menghampirinya sambil melepas jasku, kemudian menyampirkan pada pundaknya dan langsung berbalik masuk.

Badannya sempat menegang. Mungkin kaget. Aku dapat merasakannya, tadi.

Apa ia menyadari hadirku?

***

(Sudut pandang perempuan)

Badanku menegang sesaat ketika merasakan sebuah jas tersampir di pundakku. Tentu saja aku kaget. Siapa juga yang menyampirkan jas tersebut? Padahal setauku, hanya aku yang barusan berjalan ke luar gedung.

Aku menengok ke belakang, dan mendapati seorang lelaki masuk kembali ke dalam gedung.

Aku tau itu siapa. Aku tau pasti. Dia. Sang pengisi hati, yang telah lama hilang. Yang menempati hatiku untuk waktu yang lama. Dia di sana, berjalan masuk ke dalam gedung tanpa menengok lagi.

Dalam diam, aku tersenyum samar. Antara bahagia serta sedih hinggap dalam hatiku, berikut dengan rindu yang siap meledak kapan saja.

***

Aku membaca secarik kertas yang tadi kutemukan di saku jas miliknya. Tadi aku menemukannya, ketika merogoh saku jasnya. Katakanlah aku lancang, tapi sungguh, aku penasaran.

Jika kamu adalah matahari dan hidup adalah semesta. Maka semestaku pasti sangat redup sekarang. Sebab tak ada lagi matahari yang singgah di semestaku; tak ada lagi kamu yang mengisi hidupku.

Jika aku adalah lebah dan kamu adalah makanannya, maka sang lebah sudah pasti akan mati. Sebab tak ada lagi makanan yang bisa ia makan; tak ada lagi kamu yang melengkapiku.

Jika aku adalah sebuah taman dan kamu adalah hamparan bunga beraneka warna, sudah pastilah taman itu takkan menarik. Sebab tak ada warna-warni dari hamparan bunga-bunga; tak ada kamu yang mewarnai hariku.

Jika aku adalah aku yang tidak akan berpikir bodoh, maka aku tak akan melepasmu. Jika kamu adalah kamu yang selalu mampu melengkungkan sudut bibirku ke atas, pastilah aku tak akan membiarkan siapapun memilikimu; hanya aku yang boleh.

This Ain't a Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang