Mentari yang cerah terlihat di sudut timur, didampingi dengan sejuknya hembusan angin pagi yang masih menyisakan hawa musim dingin, masuk melalui jendela kamarku dan sedikit membuat bulu kudukku meremang. Seperti biasa, aku memulai hari ku dengan berkemas untuk kuliah, duduk berlama-lama dibalik meja, memperhatikan dosen berbicara panjang lebar yang kenyataannya tidak semua yang ia ucapkan dapat terserap dengan mudah di otakku.
Ku rasa hari ini akan berjalan baik, karena ini adalah awal musim semi, musim dimana bunga-bunga bermekaran dengan harum semerbak yang menyelimuti hidung setiap penikmatnya. Aku begitu mencintai musim semi. Tak ada lagi hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang, tak ada lagi angin dan badai yang berhembus memporak-porandakan pepohonan dan atap-atap rumah dan pertokoan. Karena tak mungkin angin dan badai itu dapat meruntuhkan gedung-gedung bertingkat yang dibuat dengan fondasi yang begitu kokoh di kota ini. Yang aku sesalkan hanya tak ada lagi snowflake yang berjatuhan. Ini mungkin terdengar aneh, aku benci udara dingin namun aku begitu menyukai butiran snowflake yang jatuh ke tanganku dengan bentuknya yang bulat polos.
Aku menyiapkan kebutuhan kuliah dan bekerja. Tentu saja aku bekerja, hidup berjauhan dengan orang tua tak semudah yang dibayangkan. Pekerjaanku tak begitu rumit, hanya memberikan sebagian hasil imajinasiku kepada editor di salah satu perusahaan yang memproduksi majalah ternama. Ya, aku adalah pengarang cerita pendek pada majalah tersebut, dan aku bersyukur mereka selalu puas dengan hasil karyaku.
2 tahun lalu saat kuliah menjelang akhir semester 1, aku mendapati kabar bahwa salah satu dari tiga kedai kopi milik ayah hangus terbakar akibat konsleting listrik yang tak terduga. Aku amat syok saat itu mengingat ayah hanya seorang diri mengurus tragedi itu sekaligus mengurus adikku yang masih duduk di bangku SMP. Ibuku meninggal saat melahirkan adikku, pendarahan yang begitu parah hanya mampu menyelamatkan satu nyawa. Ibu atau Kiara, adikku. Dan ibu memohon kepada ayah agar memilih adikku. Sejak kebakaran kedai kopi ayah aku mulai bekerja disini dan bertekad untuk tidak terlalu mengharapkan uang kiriman ayah walaupun aku tahu ayah masih dapat mencukupi kebutuhanku, bahkan aku pernah menolak mentah-mentah uang kiriman ayah, tetapi begitulah ayahku, dengan keras kepalanya iya berhasil mendesakku untuk tetap menerima uang pemberiannya. Kami sempat bernegosiasi, aku hanya mengizinkan ayah mengirimkan uang untuk keperluan kuliahku atau tidak sama sekali. Karena uang hasil kerjaku begitu cukup untukku makan dan menyewa tempat tinggal bersama teman-temanku.
"Kim!" Suara itu membuyarkan lamunanku.
"Kimberly! Cepatlah turun!" Arghh setiap pagi aku selalu mendapat teriakan itu.
"Kimberly Jeffrey Athena!" Oh tidak, dia sudah menyebut nama lengkapku. Dan sebentar lagi ia akan...
BRAKK!
"Oh God, kenapa kau lama sekali? Huh? Semua hampir mati kelaparan karena menunggumu! Kau bukan seorang putri kerajaan! Bisakah kau percepat sedikit gerakanmu?!" Dia adalah Judy, sahabatku yang tinggal satu atap denganku semenjak kami berkenalan di universitas tempat kami berkuliah.
"Morning, mom!" Jawabku sambil memberikan senyum manis yang kuharap dapat meruntuhkan kemarahannya.
"Tidak, jangan bersikap sok manis karena kali ini yang kau hadapi adalah singa yang sedang kelaparan. Cepatlah turun atau aku akan menggerogoti jarimu satu persatu dan kemudian melahapmu dalam hitungan menit!" Makinya lagi. Itulah tradisi kami, sarapan bersama adalah sebuah kewajiban.
"Baiklah, mom. Tunggu aku 5 menit lagi dan aku akan siap untuk sarapan bersama para singa yang siap menerkamku kapanpun mereka mau." Celotehku sambil terkekeh.
Judy mendengus sebal kemudian berlalu, tapi ia kembali lagi dengan wajah yang semakin membuatku tertawa. "Berhentilah tertawa! Dan jangan panggil aku MOM!" Tegasnya. Tawaku meledak dibarengi dengan kepergiannya. Aku sungguh bersyukur memiliki sahabat yang begitu perhatian seperti Juddy. Sikapnya mengingatkanku pada Ibu, aku begitu merindukannya.
YOU ARE READING
Tracker (everything becomes possible)
Random"Kimberly Jeffrey Athena adalah nama lengkap dari gadis pemilik mata biru itu. Kim biasa orang-orang memanggilnya." Jelas Steve "Ia seorang penulis pada salah satu majalah yang beredar di kota ini. Ia juga masih mengenyam pendidikan yang bergelut pa...