Part 30

33.4K 1.7K 39
                                    

Ariana menghantamkan bola basketnya ke arah lantai lalu melempar bola itu kepada Jane. Setelah itu ia berlari melewati garis tengah lapangan. Jane mencoba melempar bola ke ring namun sayang tembakannya meleset. Ariana mengambil bola itu dan kembali memantulkannya. Ia menatap beberapa orang temannya yang berusaha menghalangi langkahnya. Ariana tersenyum dan segera melakukan gerakan memutar sehingga lawan terkecoh dan Ariana dapat dengan mudah mendekati ring.

Wanita itu menghentakkan langkahnya dan melompat dengan tangan kiri terangkat. Bola yang semula berada di tangannya pun kini melewati ring dengan mulus.

Suara peluit terdengar bergema memenuhi seluruh penjuru lapangan indoor itu. Hari sudah hampir gelap namun Ariana dan teman-temannya tidak pernah kehilangan semangat untuk berlatih mempersiapkan pertandingan nanti.

"Oke latihan hari ini selesai, kerja bagus semuanya," ucap sang pelatih sambil bertepuk tangan.

"Makasih, coach!" balas seluruh tim sambil ikut bertepuk tangan. Lapangan yang tadi begitu penuh kini sudah mulai lenggang karena beberapa pemain sudah meninggalkan wilayah itu.

Ariana segera berjalan ke kursinya dan mengambil botol mineralnya. Ia segera meminum air dalam botolnya hingga tandas. Lalu tiba-tiba ia merasakan sesuatu menempel pada pipinya. Ariana mengalihkan tatapannya ke sampingnya.

"Kau terlihat lelah," ucap Rafael sambil mengelap keringat Ariana dengan handuk yang ia bawa. Pria itu tersenyum sambil menatap wajah Ariana yang memerah. Bukan karena ia merona, namun karena tubuhnya benar-benar terasa panas sekarang ini.

"Lumayan. Kamu belum pulang?"

"Aku tungguin kamu, kan aku yang bakalan nganterin kamu pulang. Sebentar lagi gelap, aku gak mau kamu pulang naik angkot," balas Rafael.

Ariana mengangguk mengerti.

"Ariana," panggil seseorang membuat kedua orang itu menoleh. Orang yang barusan memanggil Ariana ialah Alexander Hugneth, pelatih basket tim Ariana sekaligus sahabat dari Ariana.

Ariana cukup akrab dengan dunia basket sehingga beberapa kali ia bergabung di club-club basket dan memiliki banyak partner bermain. Alexander adalah salah satu dari partner-nya, ia sering menjadi lawan main pria itu.

"Ada apa, Al?" tanya Ariana sambil memperhatikan penampilan Alexander yang tidak pernah berubah dari dulu. Pria itu suka sekali memakai kaos hitam tanpa lengan dengan celana selutut yang kebesaran. Tak lupa ia menambahkan topi pada kepalanya.

"Ada yang harus aku bicarakan," balas Alexander seraya menatap lurus ke arah Rafael yang terus menatapnya intens. "Bisa kita bicara berdua?" tepat saat itu juga tatapan Rafael berubah tajam

"Tentu sa—"

"Bicara aja di sini, lagipula aku ini kekasihnya Ariana, jadi kau tidak usah takut," potong Rafael. Pria itu bersikeras agar tidak ada seorang pria pun yang bisa mendekati Ariana.

"Baiklah," ucap Alexander menyerah. "Aku mau minta maaf," lanjutnya membuat Ariana bingung. Tidak biasanya Alexander mengucapkan kalimat itu.

"Maaf untuk apa? Kamu gak punya kesalahan kok."

"Aku gak bisa jadi pelatih tim kalian lagi," jawab Alexander terdengar sedih. "Temanku memaksaku untuk mengikuti perlombaan ini, aku sudah berusaha menolak, tapi dia berhasil membuat aku menyerah untuk menolak. Maafkan aku, Ana."

Ariana menghela napas, namun akhirnya ia tersenyum. "Tidak apa-apa. Ini juga cita-citamu, kan? Semangat ya! Sampai ketemu di lapangan nanti," balas Ariana.

Alexander segera memeluk Ariana. "Makasih, Ana. Kamu juga harus semangat. Aku yakin kalian bisa jadi juara," tutur Alexander sambil tersenyum.

Ariana membalas pelukan Alexander dan ikut tersenyum.

DamiAna [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang