two

123 15 0
                                    

Regina yang menyadari bahwa dirinya tengah ditatap tanpa kedip oleh pria di sebelahnya itu kemudian membalas tatapan Devan. kemudian berkata.

"Katanya harus fokus ke jalan?" Sedetik kemudian Devan memalingkan kepalanya kedepan.

Astaga, mikir apaan gue. Ujar Devan dalam hati. Ia buru buru menepis pikirannya dan kembali fokus ke jalanan.

Mobil honda CR-Z putih milik Devan memasuki gerbang tinggi yang sudah dibukakan oleh beberapa satpam. Tak heran seberapa besarnya rumah keluarga Trisnandie. Perusahaan keluarganya berdiri di hampir seluruh penjuru dunia.

Regina mengamati sekitarnya tanpa mendelik. Ia terkagum kagum dibuatnya. Tanpa sadar mobil telah berhenti. Beberapa pelayan membukakan pintu mobilnya lalu membantu Regina keluar dari mobil. Ia melihat Devan yang diperlakukan sama dengannya. Devan kemudian berlari kecil menuju salah satu pelayannya. Ia berbisik mengatakan sesuatu, entah apa itu Regina rasa ia tak perlu tahu. Ia hanya perlu mengambil novelnya kembali kemudian pulang dari tempat itu.

Regina memperhatikan Devan yang tengah berbisik kepada pelayannya. Mendengar jawaban dari pelayannya itu wajah Devan langsung berubah. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Namun sekali lagi, Regina tidak perlu tahu itu.

Devan kemudian berjalan mendekati Regina yang masih berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian berkata.

"Ayo Re.." ujarnya. Devan mengamit tangan Regina dan mengajaknya berlari. Bukan masuk ke dalam rumah. Devan membawa Regina memutari rumahnya. Hingga sebuah tangga di sisi kiri rumahnya terlihat. Barulah Devan memelankan langkahnya.

Setelah sampai diujung tangga, Regina melihat sebuah pintu berwarna putih. Perasaannya mulai tak enak. Apalagi ia bersama Devan yang belum sepenuhnya ia kenal.

Devan menarik suatu benda bulat yang menempel di tembok yang kemudian diketahui merupakan sebuah laci. Mungkin ada ratusan kunci disana. Devan mengambil gantungan bertuliskan 'dvn1'. Ia lalu menggunakan kunci tersebut untuk membuka pintu dihadapannya itu.

Pintu tersebut membawa mereka menuju suatu lorong yang sepertinya berada di lantai 2. Regina lagi lagi terkagum kagum melihat bangunan rumah milik keluarga Trisnandie itu. Rumah megah bernuansa putih krem menambah pandangan Regina bahwa betapa glamor nya keluarga Devan.

Devan kemudian menariknya lagi. Mereka berlari tanpa suara. Sepertinya memang ada hal yang Devan sembunyikan. Kemudian suara keras dari arah kanan mengangetkan mereka.

"DEVAN ALVA! APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN? LALU SIAPA JALANG INI? BERANINYA KALIAN BERTINDAK KOTOR DIRUMAH INI. APA-" Suara melengking milik seorang wanita anggun cukup membuat kedua telinga mereka sakit. Devan meringis. Regina terkejut. Devan yang tak sampai hati melihat Regina yang terkaget kaget tersebut lantas memotong ucapan wanita tersebut.

"Tante! Devan ga ngapa ngapain. Dia temen sekolah Devan. Kesini buat ngambil novelnya yang kemaren Devan rampas. Oh iya tante kapan datang? Dari bandara di jemput siapa? Maaf tadi Devan ga sempet jemput soalnya banyak urusan pentinggg banget." Devan berusaha mengalihkan pembicaraan.

"HEI TANTE GA MINTA KAMU BUAT NGALIHIN PEMBICARAAN! TANTE GA TERIMA ALASAN KAMU! CEPAT BAWA PEREMPUAN SIALAN INI KELUAR! DAN JANGAN PERNAH KESINI LAGI! MENGERTI KAMU?!" Regina sangat amat terkejut atas perlakuan wanita yang diketahui merupakan tantenya Devan. Ia cukup sakit hati. Bagaimana tidak? Baru saja ia datang, tak tahu apa apa dan langsung mendapat semprotan fitnah seperti itu. Regina kembali memupuk harga dirinya yang jatuh dihadapan wanita tersebut. Ia berpikir untuk segera meninggalkan rumah ini.

"Baik, saya akan pergi. Tapi sebelumnya saya ingin berterima kasih atas semprotan fitnah itu. Terima kasih sudah memaki saya." Ucap Regina tegas. Ia berlari meninggalkan rumah keluarga Trisnandie.

got you!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang