one

187 17 2
                                    

Tak terhitung berapa kali gadis itu mengecek jam tangannya. Ia gelisah. Sebersit pikirannya untuk keluar dari kelas ini. Namun mengingat bahwa ia tak memiliki alasan yang cukup kuat, maka iapun mengurungkan niatnya dan menunggu sampai bel berbunyi.

Sejurus kemudian, kaki gadis itu melangkah tergesa menuju ruang teater. Berharap ia bisa tiba duluan sebelum orang yang memberinya pesan menegangkan beberapa jam yang lalu. Kurang lebih isinya seperti ini.

Devan Alva:
"Pulang sekolah gue tunggu di ruang teater. Ga pake telat atau barang lo gue bakar."

Kalau bukan karena nasib novel itu, regina mungkin sudah dalam perjalanan pulang sekarang. Sudah lama gadis yang memiliki nama lengkap Regina Oktasha itu menginginkan novel yang sekarang berada di tangan cowok nan menyebalkan bernama Devan itu. Regina sengaja mengikuti PO agar mendapat tanda tangan penulisnya. Baru kemarin lusa novel itu sampai di rumahnya.

Tersadar dari lamunannya, Regina meniti sekeliling ruang teater. Benar benar sepi. Senyumnya memudar ketika ia menemukan cowok yang kemarin tak sengaja ditabrak olehnya. Lantas Regina mengingat bagaimana bisa kejadian kemarin terjadi.

Regina melangkah menyusuri koridor kelas 11. Tangan kanannya memegang jus alpukat yang baru saja dibelinya di kantin sekolah. Sementara tangan kirinya mengapit novel yang baru sampai kemarin sekaligus memegang ponsel miliknya. Gadis itu tengah asyik melakukan video call dengan karibnya, Gisel yang kebetulan hari ini izin sekolah.

Hingga tak sadar seorang laki laki menubruknya dari arah berlawanan. Jus alpukat yang dipegangnya tumpah mengenai seragam olahraga cowok tersebut. Menyisakan noda kecoklatan dan lengket.

"Mau main hp jangan sambil jalan dong! Udah kaya gini lo mau tanggung jawab?" bentak lawan bicaranya tersebut.

"loh elo juga di lorong gini harusnya jangan lari lari dong!" balas Regina. Sadar akan tatapan menyeramkan dari lawannya itu, Regina akhirnya menundukan kepala. Sedetik kemudian cowok yang ia ketahui bernama Devan Alva dari badge yang dikenakannya itu merampas novel yang sedari tadi diapit oleh Regina.

"Lo beruntung karena gue buru buru kali ini. Tapi urusan gue sama lo belum selesai." Devan mengacungkan novel milik Regina sembari menatapnya dengan tatapan menyeringai. Lalu berlalu begitu saja meninggalkan Regina yang keki setengah mati.

"Lama banget lo!" suara tersebut menyadarkan Regina dari lamunannya.

"Ini udah paling cepet."

"ck, novel lo masih di gue loh ya. Jangan bertindak gegabah." Seringaian yang diberikan Devan seakan mematikan.

Regina hanya diam. Tak tahu apa yang harus ia lakukan. Lalu dering ponselnya memecah keheningan diantara keduanya.

Rakaa Adhita is calling...

Regina menepuk jidatnya. Ia lupa hari ini kakaknya, Rakaa menjemputnya. Rakaa sudah bicara pada Regina bahwa hari ini ia ada jadwal kuliah setelah menjemput adik tersayangnya itu.

"umm, sorry gue buru buru. Boleh gue ambil sekarang kan novelnya?" ujar Regina pelan.

"Gak segampang itu" ucap Devan dingin. Ia menepis tangan Regina sembari berjalan meninggalkannya di ruang teater yang gelap. Sendirian.

***

Devan Alva:
"Gue tunggu lo besok pagi di cafe Louise. Ga datang, novel hak milik gue."

Malam harinya, Lagi lagi pesan menyebalkan itu hinggap di ponsel Regina. Pesan yang untuk kedua kalinya berhasil membuat Regina jengkel. Terkadang terlintas dibenaknya bagaimana Devan bisa mendapatkan kontaknya begitu mudah? Mengetahui namanya saja belum, bagaimana ia mencari kontak Regina? Ya, Regina tentu tidak perlu memikirkan itu. Yang perlu ia pikirkan hanyalah bagaimana cara mendapatkan novelnya kembali.

Regina sudah tiba lebih dulu dibanding Devan. Ia sengaja datang setengah jam lebih awal dari perjanjian. Ralat, bukan perjanjian, tetapi pemaksaan.

"Re, lo udah nyampe?" Tanya Devan lembut. Devan yang sekarang berbeda 180 derajat daripada yang kemarin. Sadar akan itu, Regina tak ingin mengacaukan suasana. Akan lebih baik jika Devan tetap seperti ini.

"iya, rumah gue deket sini kok!" ucap Regina selembut mungkin.

"Ohh, gitu ya. Waitress nya mana sih? Gue haus nih mau pesen!" Devan berkata. Matanya berputar meniti setiap sudut café mencari sesosok pelayan. Setelah memesan apa yang diinginkannya, Devan kembali menatap Regina. Regina yang sadar akan tatapan tersebut justru bersikap canggung. Tak ingin berlama lama, Regina akhirnya memutuskan untuk menanyakan poinnya.

"Novel gue? Masih utuh kan?" tanyanya pelan. Khawatir akan perubahan sikap lawan bicaranya tersebut. Devan yang mendengarnya lantas tertawa.

"Utuh sih utuh. Cuma ga gue bawa. Jadi gimana?"

"Loh?! Ko ga dibawa sih?! Terus gue kesini ga dapet apa apa gitu?! Lo lama lama ngeselin ya! Setengah hari merdeka gue sia sia gara gara lo!" Devan meringis mendengar amukan Regina.

"Eh, Eh, santai dong! Ini hukuman karena lo udah numpahin jus alpuket yang lengketnya ga kira kira ke baju gue!" Sedetik kemudian terdengar helaan nafas yang berasal dari gadis di hadapannya itu. Regina yang masih tak terima disalahkan hanya bisa diam. Membalas ucapan Devan hanya akan membuatnya pusing.

"Lo tau nama gue darimana?" ujar Regina berusaha untuk tetap menikmati harinya.

"Gue punya koneksi dimana mana. Sangat mudah nyari tau nama lo. Sekalian, Gue Devan Alva Trisnandie. Terserah lo mau manggil apa. Sayang juga boleh hehe" Devan menjulurkan tangannya. Ia tersenyum jahil. Regina membeku. Bukan, bukan karena kalimat akhir perkataan Devan. Melainkan mendengar nama Trisnandie membuatnya terpukau. Keluarga Trisnandie merupakan salah satu dari beberapa keluarga konglomerat. Harta kekayaannya pasti dimana mana.

"oh, gue Regina Oktasha. Gue juga udah tau nama lo dari kontak line lo kok."

"Lo mau ikut gue ke rumah buat ambil novel lo atau besok aja gue kasihin ke elo?" entah setan darimana yang berhasil membujuk Devan untuk segera mengembalikan novel milik Regina. Sementara Regina yang tak ingin kesempatan itu terbuang sia sia segera mengangguk setuju. Ia hanya khawatir besok Devan tak membawa novelnya lagi.

Sebenarnya Regina bisa saja membeli lagi novel yang sama. Namun melihat berapa lamanya ia menunggu novel plus tanda tangan penulisnya itu tentu saja sangat disayangkan.

"Gue ikut lo." Sahut Regina. Devan kemudian pergi menuju kasir untuk membayar pesanannya, tak terkecuali pesanan Regina. Regina sempat menolak, namun buru buru Devan menepis ucapannya. Kemudian mereka berjalan keluar dari café.

Devan membukakan pintu mobil untuk Regina. Ia lantas memutari mobilnya untuk duduk di kursi pengemudi. Regina yang masih terkaget tiba tiba diperlakukan seperti itu menampakkan wajah canggung. Devan yang menyadari itu lantas membuka percakapan.

"gue tau lo canggung. Gue juga gatau harus ngomongin apa sama lo. Tapi.." Devan memutus ucapannya.

"Tapi apa?"

"Ah enggak kok gak penting, gue harus fokus ke jalan re."

Tapi lo kok manis ya, re...

###

ANDDDDDDD HELLAAA WATTPAD-ERSSS...

Baru awal udah mereka semua ya hehe.

sorry gue masih amatiran, mohon bantuannya yaaaaaa..

kritik dan saran kalian sangat berguna kookkk...

don't forget to vomment okayyy! thank youuuuu

-maau

got you!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang