Seven

68 7 16
                                    

"Are you a camera? Because
everytime i see you,
I smile."

###

Regina mendengus kesal. Pesan yang dikirimnya 10 menit yang lalu tidak di balas. Parahnya, Devan hanya membaca pesannya.

Padahal akan lebih nyaman jika Devan tidak membacanya.

"Ah udahlah. Apa pedulinya sama gue? Dia siapa gue? Ko gue ngarepin banget di bales sih. Kalo song joong ki yang ngegituin baru deh gue kesel. Inimah bajunya mirip aja engga, apalagi mukanya."  Gumam Regina dalam hati.

"Woi ngelamun aja. Temenin gue ke kamar mandi yu re. Bosen nih gue dengerin bu sopi. Gue pengen tidur daritadi ga bisa bisa. Itung itung cabut bentaran laah." Gisel menepuk pundak Regina dengan kasar. Ia berkata setengah berbisik sambil mendekat ke telinga Regina.

Regina yang sama bosannya dalam kelas saat itu lantas mengiyakan ajakan tablematenya itu. Ia mengangguk seraya tersenyum lebar. Sedari tadi ia hanya memainkan ponselnya diatas meja. Ia menyenderkan ponselnya pada botol minum yang diameternya lebih besar dari lebar ponselnya. Sehingga tak terlihat jika Regina sedang memainkan ponselnya.

Keduanya keluar kelas dengan selamat. Bu sopi tidak menanyakan apapun ketika mereka meminta izin pergi ke toilet. Ia hanya mengiyakan lalu melanjutkan dongengnya yang tak pernah ada endingnya itu. Pantas saja anak satu kelas ngantuk bukan main.

"Sel, balik ke kelas jam berapa? Ntar kita dicurigain deh sama bu Sopi. Males gue urusan sama dia!" Ujar Regina.

Meskipun ini bukan pertama kalinya Regina menemani Gisel membolos, hatinya masih gusar. Padahal ia tahu, Gisel adalah pembolos yang handal. Ia memperhitungkan semuanya dengan matang supaya tidak ada skandal apapun yang terjadi pada mereka.

"Kita punya waktu 1 jam pelajaran. 15 menit lagi bu Sopi keluar dari kelas. Abis itu pa Adi bakalan telat masuk kelas sekitar setengah jam. Dia ngadain pertemuan sama anak kelas 12 buat bahas yearbook. Jadi lo tenang aja." Jelas Gisel.

Lihat? Dia pembolos handal bukan?

Regina menghela nafas panjang. Ia harus ingat temannya ini merupakan pembolos handal nomer satu di dunia. Atau hanya pandangannya saja? Ia pun tak tahu.

"Yaudah sekarang lo mau kemana?"

"Gue pengen ke kantin beli jus. Tapi kayanya jam segini ada guru piket jaga. Jadi kita ke taman belakang aja, 10 menit lagi kita ke kantin beli jus. Guru piket pergi 10 menit lagi."

Regina menggelengkan kepalanya melihat kelakuan temannya itu. Bisa bisanya dia memiliki teman yang kecerdikannya dimanfaatkan seperti itu.

Kedua gadis tersebut berjalan beriringan. Mereka mengobrol tentang banyak hal selama perjalanan. Langkah mereka terhenti ketika sampai pada pintu uks yang dipadati para kaum hawa yang sibuk mengintip ke dalam uks lewat jendela.

Termasuk Alvia yang merupakan adik kandung dari ketua kelasnya, Alvaro. Regina yang penasaran apa yang terjadi lantas menanyakannya pada Alvia.

"Eh, Kak Rere, Kak Gisel, itu Kak Devan pingsan! Sekarang di dalem udah ada temen temennya Kak Devan. Mereka nunggu dokter pribadinya Kak Devan datang." Jelas Alvia.

Oh, pantas saja ramai. Sekali lagi mari kita tegaskan. Siapa yang tidak mengenal Devan Alva Trisnandie? Pengagumnya dimana-mana. Terutama kaum hawa.

Eh, tunggu? Apa? Devan pingsan? Kenapa? Kok bisa?

Pertanyaan tersebut berputar putar di kepala Regina. Apa yang terjadi padanya? Apa semua ini akibat ia maksa menerobos hujan kemarin? Kalau iya, kenapa dia masuk sekolah hari ini? Ah, kalau saja Devan tidak memaksakan semuanya, hal ini tak akan terjadi.

Regina tak tahu seberapa keras kepalanya seorang Devan Alva Trisnandie.

Regina mencoba menerobos kerumunan para kaum hawa tersebut. Namun sepertinya tenaganya kurang kuat berbanding dengan banyaknya jumlah kerumunan tersebut.

Tak lama kemudian sesosok yang Regina kenal keluar dari balik pintu uks yang sedari tadi terkunci. Dhirga keluar dari dalam uks. Matanya langsung menangkap wajah yang kemarin di kenalkan oleh Devan. Dhirga terlihat memikirkan sesuatu. Sekejap kemudian, ia menarik lengan Regina dan membawanya ke suatu tempat.

Gisel yang terheran-heran melihatnya tak mau ambil pusing. Ia langsung mengikuti kemana temannya dibawa. Mereka berhenti di tempat yang kira kira tidak terdengar oleh para kerumunan tersebut.

"Lo Regina kan? Cewe yang kemaren dibawa Devan?" Tanya Dhirga.

"Eh, iya ga, ada apa? Devan baik baik aja kan?" Tanya Regina memastikan.

"Tadi gue nemuin dia pingsan di lapangan depan sekolah. Tapi badannya panas banget. Dia baru aja siuman, tapi dokternya belum dateng. Lo mau bantuin gue ga?"

"Bantu apa kak?"

"Gue minta tolong bawain teh manis anget ke uks buat Devan. Gue mau jemput dokter pribadinya Devan. Ntar gue telfon Alden biar dia bukain pintu uks buat lo."

"Hmm, tapi kak~"

"Plis, gue butuh bantuan lo. Cuma elo yang bisa gue percaya saat ini. Gue buru-buru, tolong gue ya!" Dhirga memotong perkataan Regina. Ia lantas pergi meninggalkan Regina dan Gisel yang masih bingung.

Regina menatap Gisel. Sebaliknya pun begitu. Mereka bertatapan sebelum akhirnya beranjak pergi menuju kantin.

Lalu kemudian keduanya membalik arah ke uks. Alden sudah menunggu di depan pintu uks. Lalu ia membawa kedua gadis tersebut masuk ke dalam ruangan uks. Terlihat Devan terbaring di salah satu bilik uks.

Sebelumnya Alden sudah berbisik kepada Regina

"Lo aja yang kasihin tehnya. Dia kayaknya marah gara-gara tubuhnya lemah. Mungkin lo bisa tenangin dia." Katanya.

Devan sedang memejamkan matanya ketika Regina menghampirinya.

"Dev, ini gue bawain teh anget." Ujarnya.

"Hmm." Devan menjawab seadanya.

Regina menghela nafas. Ia lalu menaruh gelas berisi teh hangat di meja kecil di sebelahnya. Ia memegang kening Devan. Panas. Devan yang masih kesal dengan cepat menepis tangan Regina yang berusaha memegang keningnya. Matanya masih terpejam. Wajahnya menggambarkan kemarahan.

"Dev, lo gak lemah. Lo kuat, jangan salahin badan lo. Salahin aja cuaca. Emang cuacanya lagi ga bener ko. Gue juga bisa sakit kalo jadi lo." Regina mencoba menenangkan Devan.

"Ngapain nyalahin cuaca. Gue masih waras."

"Yaudah lo boleh nyalahin apa aja. Asal bukan diri lo sendiri. Lo ga lemah Dev."

"Yaudah gue nyalahin lo."

"Loh kok gue? Kan lo yang nawarin gue! Jadi gue yang salah?!" Regina mulai sensitif.

"Yaudah gue nyalahin diri gue aja." Devan sengaja menggoda Regina. Ini semacam hiburan untuknya.

"Eh jangan!"

"Gue nyalahin lo ga boleh. Nyalahin diri gue gaboleh. Salah terus ya gue di mata lo!" Devan mulai membuka matanya melihat wajah Regina.

"Yaudah salahin gue aja." Regina cemberut.

"Hahaha. Muka lo tuh kaya beruang mau melahirkan. Ngakak gue hahaha." Devan tertawa lepas. Terdengar bisikan bisikan dari luar ruangan yang semakin keras. Ya, mereka semua iri pada Regina sejak awal ia masuk ruangan. Sementara Gisel menunggu di luar bilik bersama Alden.

"Apasih Dev nyebelin banget. Gue manusia bukan beruang!" Regina menatap Devan sinis. Ia semakin menekuk mukanya. Itu membuat Devan makin tertawa ngakak.

###

Alohaaa!!!!
Welcome back to my world yeaaah!!

Maafin Devan yang nyebelin ya gaesss!
Wish nya apa nih buat mereka? Sad ending kah? Happy ending kah?
Yang terbaik aja lah yaa buat mereka hehehe

Don't forget to vote and comment ya gaeessss😘😘

Lav yu😘
-maau-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

got you!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang