Bab Dua

424 60 9
                                    

...

Masih dengan tatapan datar, aku kembali menanyakan hal yang sama. Lalu kali ini anak itu menjawab "Aku bukan makhluk halus, tapi aku Choco."

Aku memiringkan kepalaku bingung. Oh, rupanya dia ingin mempermainkan aku.

"Kalau kamu coklat, berarti bisa dimakan, dong?" tanyaku datar. Lalu entah kenapa, anak itu kembali tertawa. Kali ini ia tertawa lebih keras. Iihh..sungguh, dia membuatku ngeri.

"Namaku memang Choco tapi aku bukan coklat, dasar bodoh" ujarnya.

"A-apa? Justru kamu..-"

"Siapa namamu?" tanya anak lelaki yang mengaku bernama 'Choco' itu. Ayolah, dia baru saja menyela perkataanku.

Aku menghela nafas berat. Malas untuk menjawab dan memilih untuk diam. Tapi si Choco ini terus saja menanyaiku tanpa henti dengan ekspresi wajah yang tak berubah. Ceria.

Jengkel, aku segera meninggalkan anak itu begitu saja. Nasi gorengku masih tersisa satu suapan lagi. Namun berhubung mentalku sudah terkuras habis, maka aku lebih memilih pergi ketimbang meladeni si Choco aneh itu. Tapi ketika aku berhasil menjauh lima langkah, entah kenapa kakiku refleks terdiam dan seketika bibirku terbuka tanpa ragu "Pie."

"Heh-?" gumam Choco.

"Namaku Pie. Hanya Pie." ujarku tanpa menoleh sedikitpun kepadanya.

Sejak kejadian itu, akupun sering bertemu dengan Choco di kantin. Aku selalu menanggapinya dengan malas, sebaliknya dengan Choco yang begitu antusias mengobrol denganku. Padahal sedari tadi jawabanku hanyalah "Hm." atau "Oh."

Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa nyaman jika di dekat Choco. Aku memberanikan diriku untuk bercerita tentang hidupku dan juga tentang mata kutukanku kepadanya. Dan, tidak seperti orang lain yang langsung menjauhiku, Choco justru tertarik. Ia kagum denganku yang tetap kuat berdiri tanpa siapapun di sampingku selama ini.

"Pie, tapi kenapa kau menyebut kemampuanmu dengan 'mata kutukan'?" tanya Choco penasaran. Terlihat iris mata coklatnya membulat lebar menatapku.

"Bagiku ini bukan kemampuan melainkan kutukan. Aku sungguh membencinya." jawabku jujur.

Tiba - tiba saja, tangan kanan Choco bergerak menyibakkan poniku. Memperlihatkan kedua mata beriris hitam milikku yang selama ini kuanggap sebagai pembawa sial. Kedua mata Choco menatap mataku lekat - lekat dan kemudian ia berkata "Matamu indah, Pie."

DEG!

"Matamu terlalu indah untuk dikatakan sebagai sebuah kutukan."

Wajahku mulai terasa panas dan dengan cepat aku segera menampis tangan kanan Choco dari wajahku. Kurasakan detak jantungku berpacu sangat cepat. Ini sangatlah aneh. Apa aku baru saja terkena serangan jantung ringan?

"Aw! Sakit tahu." ringis Choco begitu tangannya aku tampis barusan.

"Maaf, aku baru ingat akan sesuatu. Sampai jumpa" selaku cepat. Lalu aku segera melangkahkan kakiku pergi menuju kelas. Meninggalkan Choco dengan sejuta pertanyaan di hatinya.

Kepalaku terus mengingat - ingat kejadian di kantin bersama Choco hari ini. Entah kenapa tiba - tiba saja aku merasa kalau Choco itu ternyata tampan. Eh, apa yang baru saja kupikirkan, sih!? Arggh,, kepalaku sakit sekali. Masa bodoh. Aku yakin besok semuanya akan kembali normal. Lalu aku dan Choco akan mengobrol seperti biasanya.

Keesokan harinya, di jam makan siang, aku berlari menuju kantin dengan perasaan senang. Jika ditanya kenapa aku senang, aku sendiri tidak tahu alasannya. Di tengah perjalanan, aku bertemu kembali dengan si wanita berseragam kuno. Kali ini tatapan sayu miliknya itu menatap tepat ke arahku. Tapi aku tidak peduli, yang penting aku ingin segera bertemu dengan Choco.

Aku memesan makanan dan duduk di tempat biasa. Sesekali mataku menyapu ke seluruh kantin, mencoba menemukan sosok Choco. Tapi aku belum juga melihat batang hidungnya. Kemudian mataku beralih menatap jam di layar ponselku.

"10.15" gumamku. Seharusnya Choco sudah ada disini. Tapi kok, tidak ada, ya?

🍰

Choco PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang