The bad day

339 2 6
                                    

“Minggir kau, McKenzie,” Ucap Evy ketus kepada seorang pemuda yang kini menghalangi jalannya untuk pergi masuk ke kelas. Pemuda itu balas memandangnya dingin. Dia menggeser tubuhnya—memberi ruang agar bisa dilalui gadis bermata kelabu itu.

Gadis itu memang tidak pernah ramah. Masa’ pagi-pagi saja dia sudah berhasil membuat orang badmood?

Ah, biarkan sajalah!

“Alice!” Seru seorang pemuda berambut lurus—Will McKenzie. Dia menghampiri gadis bermata biru itu, “Kau sudah siap untuk pembacaan puisi yang ditugaskan Mrs. Hilary?”

Mampus!

Alice menepuk jidat. Alice benar-benar lupa hal yang satu ini. Dia lupa bahwa dia—bukan, seluruh murid kelas seni  harus tampil untuk pembacaan puisi sebagai penyambutan untuk tamu yang akan berkunjung di sekolahnya, yang akan diadakan beberapa hari lagi.

Tapi hari ini adalah hari penyeleksinya. Jika tidak dibacakan atau tidak dibuat, dipastikan nilai minus akan masuk dalam rapor. Mrs. Hilary adalah orang yang tegas.

Alice segera merogoh tasnya. Berharap secarik kertas kecil yang sudah kusut dan bekas goresan penanya terbawa serta olehnya. Namun dia tidak menemukannya. Mendadak wajah Alice berubah pucat.

“Err… Alice? Kau tak apa-apa kan?” Tanya Will yang keningnya mengerut heran.

“Kertas puisiku tidak ada,” Mata birunya menatap mata hazel di depannya. Hanya sekali lihat, Will tau Alice sedang panik.

“Biar aku cari,” Dia mengambil tas Alice dan merogoh isinya. Namun nihil. “Tidak ada,”

Alice hanya pasrah. Euh, terpaksa membuatnya lagi deh.

“Eh, tunggu, apa yang menyempil disakumu Alice?” Will berujar sambil mengerut heran. Alice segera merogoh sakunya dan kertas kecil yang dicarinya sudah ada dalam genggaman tangannya. Wajahnya berubah lega.

“Oh, bagaimana aku bisa lupa? Padahal tadi aku meletakkannya disakuku, hahaha,” Alice berkata sambil nyengir menahan malu. Will hanya geleng-geleng kepala.

“Kemarikan kertasmu,” Will dengan tidak sopannya menyambar kertas yang berisi puisi Alice. Dengan cepat tangannya membuka lipatan kertas itu. Dan saat terbuka…

“Alice… ini…” Ujar Will pelan. Alice menghembus nafas berat. “Kenapa ini masih penuh dengan coret-coret?!” Jerit Will kaget. “Kukira kau sudah siap,”

“Hehe, aku bingung buat puisi apa, makanya aku membawa kertas coretanku, mungkin ada inspirasi,” Alice mengambil kembali kertas yang sudah lusuh itu. Will hanya menggelengkan kepala. Lalu dia berpamitan dan pergi dari Alice. Alice melambaikan tangannya menatap sosok berambut coklat itu hingga menghilang dibalik lalu lalang anak-anak Crandford.

Alice merapikan penampilannya sebentar. Dan saat melihat kebawah, ia melihat sepatunya penuh dengan lumpur. Ewh… karena tidak nyaman, dia mengambil sapu tangannya dan mulai membersihkannya.

Saat sebuah bayangan menimpa Alice, dia mendongakkan kepalanya.  Ugh!

Evy melihatnya dengan pandangan mencela sebentar sambil berjalan. Dan Alice berhenti membersihkan sepatunya.

Uh. Oh. Sekarang dirinya tiba-tiba merasa badmood.

“Cih, dasar sombong,” cecar sebuah suara di belakang Alice. Alice hafal betul suara ini. Ini adalah suara…

“Helen?” Alice membalikan badannya dan terdapat sosok gadis bermata hijau.

 “Hai,” Helen sedikit mengangkat tangan saat mengatakan hal itu. “Aku semakin tidak suka cara Evelyn menatapmu, pandangan yang begitu mencemooh dan menganggap rendah orang lain,” Wajah Helen yang awalnya penuh dengan senyum putih—kita lebih mengenalnya dengan senyum pepsodent—mendadak berubah menjadi wajah kemarahan saat mengatakan pendapatnya tentang Evy.

Relationships areTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang