○ O N E ●

80 9 11
                                    

"Dinda."

Gadis bernama Dinda itu menoleh, menatap tepat di manik mata Langit dengan senyum yang mengembang sempurna, "Kenapa, Lang?"

Selama sepersekian detik, Langit tenggelam dalam bola mata hitam pekat milik Dinda. Langit tahu, di dalam bola mata hitam pekat itu, tersimpan banyak harapan yang ingin dirajut bersamanya. Langit tahu, di dalam bola mata hitam pekat itu, tersimpan sebuah perasaan yang sangat besar untuknya.

"Langit, ada apa?" Ulang Dinda yang mampu membuat lamunan Langit terpecah sempurna.

Langit menebarkan senyum mautnya lalu berdeham, "Gue pengen ngomong sesuatu." Ucapnya lamat-lamat, penuh keseriusan.

Pipi tirusnya bersemu dan binar di matanya semakin terlihat jelas kala Langit menatap Dinda intens. Gadis itu tersenyum tipis seraya mengangguk.

"Kita putus, ya?"

Butuh waktu lima detik untuk mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Langit. Senyum itu perlahan luntur dari wajah Dinda. Kini, tak ada lagi binaran di dalam mata hitam pekat itu, "Kenapa?" Tanyanya serak—menahan tangis.

Langit membuang muka, lebih memilih menatap jalan raya yang ada di depannya dibanding menatap seorang gadis yang tengah duduk tepat di sampingnya. Menatap seorang gadis yang hatinya seolah diserbu jutaan sembilu, "Kenapa kalau putus harus ada alasan, sedangkan jatuh cinta, nggak?" Langit balik bertanya.

Dinda tak menjawab. Gadis itu masih terngiang permintaan putus dari Langit dan rasa sesak yang kian menelusup ke dalam dadanya. Oksigen yang ada di dalam ruangan itu serasa direnggut paksa darinya.

"Tapi, kali ini, aku butuh alasan kamu, Lang." Dinda berucap setelah beberapa menit terdiam. Air mata sudah menggenangi pelupuk matanya dan siap tumpah.

Tangan Langit bergerak untuk menyentuh punggung tangan Dinda. Digenggamnya tangan sedingin es itu.

"Gue suka lo, Dinda. Gue pikir dengan gue pacaran sama lo, rasa suka ini bisa berubah. Tapi, nyatanya selama dua bulan ini, rasa suka gue ke lo nggak berubah sama sekali." Langit menghentikan ucapannya sebentar. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, "Gue tetep suka sama lo sama kayak waktu gue nembak lo dulu."

Mendengar penuturan Langit, Dinda menjadi sedikit lega. "Terus kenapa kamu minta putus dari aku?"

"Rasa suka aja itu nggak cukup, Din." Papar Langit singkat, padat, dan jelas. Namun, sangat menohok hati Dinda.

Gadis itu segera menjauhkan tangannya dari genggaman hangat Langit. Dia menatap Langit tak percaya. Dia sudah berpacaran dengan Langit selama dua bulan dan baru sekarang Langit memberitahu soal perasaannya.

"Terus kenapa dulu kamu nembak aku?" Dinda menatap Langit menuntut meminta penjelasan.

"Karena gue suka sama lo, Dinda."

"Rasa suka aja itu nggak cukup, Lang." Dinda tersenyum samar dengan tatapan penuh kekecewaan ke arah Langit, "Seharusnya, waktu itu lo mikir dua kali buat nembak gue." Papar Dinda dan langsung membuat Langit tertohok.

Ini adalah pertama kalinya Dinda menggunakan gue-elo saat berbicara dengan Langit. Hal itu mampu membuat Langit terkejut dan dengan cepat menyembunyikan rasa keterkejutannya.

"Sori, Din. Gue terlalu gegabah waktu itu."

Dinda hanya bisa diam seraya menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan isak tangis. Matanya sudah tak mampu lagi menampung air mata yang kian merebak. Seharusnya, hari ini menjadi hari bahagia Dinda karena hari ini adalah hari dimana ia dan Langit jadian.

Seharusnya.

Dinda sudah merencanakan serentetan kegiatan untuk menghabiskan malam ini bersama Langit. Namun, harapan tinggalah harapan. Kini, ia bahkan hanya menghabiskan waktunya bersama Langit dengan mengobrol di sebuah kafe kalangan remaja dan berakhir dengan putus pula!

"Din?" Panggil Langit.

Dinda tersentak kaget lalu tersenyum getir ke arah Langit, "Kalo kamu mau putus, yaudah, kita putus."

Misi kedua: Jika sudah terlalu manis, jangan lupa dengan kata-kata 'Habis manis sepah dibuang'SELESAI.

Langit menatap Dinda yang tengah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Cowok itu lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Dinda, "Sebagai mantan yang baik, gue masih bersedia, kok, jadi tempat bersandar saat lo lagi sedih," Ucap Langit seraya menepuk pundaknya, "Nih, mumpung lagi kosong."

Sepersekian detik kemudian, air mata Dinda meluruh dengan cepat. Secepat gadis itu yang langsung memeluk Langit erat-erat dan menumpahkan segala emosinya di pundak cowok itu.

Semuanya terlalu tiba-tiba bagi Dinda. Rasanya seperti sebuah bom yang sudah lama terpendam namun tidak ia ketahui keberadaannya kemudian meledak. Menghancurkan semuanya.

Cowok itu memilih untuk membalas pelukan Dinda lalu mengusap punggung cewek itu lembut, "Sorry, bikin lo nangis, Din."

Dinda tak peduli dengan apa yang diucapkan oleh Langit. Yang ada di pikiran Dinda saat ini hanya mengeluarkan segala perasaan sesak yang tadi sempat menghimpitnya.

Butuh waktu sekitar lima menit untuk tangisan gadis itu mereda lalu melepaskan pelukannya pada Langit untuk yang terakhir kalinya. Dinda masih sibuk mengelap sisa-sisa air matanya, lalu menggerutu, "Aku baru inget kalo sekarang kita lagi di tempat umum."

Langit tertawa renyah, "Lo masih bisa ngumpet di pundak gue, Din. Sedangkan gue harus nanggung tatapan aneh dari orang lain sendirian."

"Sorry."

Langit menggeleng dengan sisa tawanya, "Seharusnya gue yang minta maaf. Sorry, Din, udah bikin lo nangis. Sorry, Din, gue belum bisa bales perasaan lo sepenuhnya."

Dinda tak menanggapi ucapan Langit. Dinta tak ingin menjawabnya.

Cowok itu mengulurkan tangannya untuk menepuk puncak kepala Dinda lembut, "Mau gue anter pulang?" Tawarnya.

Dinda langsung menganggukkan kepalanya lalu bangkit dan berjalan lebih dulu menuju pintu keluar kafe tersebut, "Sialan, gue baper lagi." Gerutunya pelan.

Misi ketiga: Sayangilah mantan sebelum mereka benar-benar melupakan kitaSELESAI.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 03, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DOMINOESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang