Event

348 33 38
                                    

Story 2

Story By : "SHIRO" 

*Author Real Name Will be announced later*

Enjoy

Judul.       : Miris

D'KOST ONESHOT : INI APAAA?!

Author POV
Ardi menghela napas, setengah menahan jengkel--setidaknya begitulah yang dilihat oleh Pras semenjak cowok manis itu mulai menghamparkan kertas dan alat-alat lukisnya diatas meja. Tak ada kemajuan apapun yang diperbuat oleh cowok mungil berkacamata itu sejak kedatangan Pras sejak beberapa jam lalu hingga saat ini dengan tumpukan kertas serta laptop yang layarnya sudah menjadi gelap. Segelap pikiran Ardi yang saat ini sedang pusing. Dan hal itu dimulai sejak beberapa jam lalu.
Tepatnya sejak Pras datang.
Jadi semua ini karena Pras? Kebuntuan ini?
Ardi tiba-tiba memutar tubuhya menghadap ke arah Pras yang duduk beberapa puluh senti di belakangnya. Di kursi ruang tengah, ya. Mereka sudah tidak tinggal di kostan itu lagi. Mereka pindah ke apartemen sederhana tak jauh dari kampus Ardi. Memang tidak besar, namun mereka tidak perlu lagi menekuk kaki saat hendak tidur. Semenjak salah satu karya Ardi--yang tidak pernah mau diperlihatkan pada Pras-- memenangkan sebuah lomba seyangDia ng hadiahnya lumayan dan dia membujuk Pras untuk pindah ke apartemen tersebut.
"A. . . Anak bapak, kok mukanya ditekuk gitu?" 'siyal, niat mau menggoda kenapa gue malah gugup gini sih?' pikir Pras sambil tersenyum. Senyumnya terlihat miris dibanding lucu. Dan senyum itu sama sekali tidak membantu membuat suasana hati Ardi menjadi setidaknya sedikit lebih baik. Ardi hanya menatapnya datar, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pras mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi pertanda heran sekaligus bertanya : 'ada apa?'. Gagal lagi. Mereka justru kelihatan seperti sedang melakukan mannequin challenge minus musik. Kaku. Kaku. Dan 5 menit terlewati, membuat Pras memutuskan untuk menurukan alisnya yang terasa pegal.
"Buntu."
Akhirnya. Ardi bersuara. Yang ditanggapi lain oleh Pras. Terlebih setelah ribuan detik terakhir dimana Ardi berhenti menggerakkan jemarinya dia aras kertas.
"Mi. . .mie instannya habis. Bapak ke warung dulu, ya. . . Anak Bapak yang pinter ya, ngerjain tugasnya. . ." dengan gugup, Pras segera mengenakan jaket kulit kebesarannya dan melangkah ke luar. Meninggalkan Ardi yang masih berada di dalam posisi yang sama seperti saat mereka mannequin challenge dadakan tadi. Dengan pikiran yang tak dapat digenggamnya. Ia tak mengerti dengan Pras yang selalu membuat mood- nya memburuk tiap kali cowok jones itu berada di sekitarnya. Dan rasa kehilangan (?) tiap kali Pras tak ada di sisinya. Ada apa dengan dirinya? Ini apaa?!
***
Pras menghembuskan napas, lelah. Ia sungguh tak mengerti dengan sikap Ardi padanya akhir-akhir ini. Tepatnya sejak dua bulan terakhir. Sejak Ardi memenangkan lomba itu dan dua minggu setelahnya malah mengajaknya pindah ke apartemen sederhana yang bagi Pras sudah merupakan surga dimana ia tak harus menekuk kakinya lagi saat tidur. Pras senang? Tentu saja.
Awalnya.
Siapa sangka sikap Ardi justru makin absurd setelah pindah?
Pras kembali menghela napas, kali ini dengan berat.
"Rokoknya enggak sekalian, Mas?"
Pras melirik kotak kaca di sisi kasir yang tengah tersenyum ramah itu. Lalu menggeleng dengan mantap. Ia ingat, terakhir kali sekaligus kali pertamanya mengisap asap itu justru membuat dirinya terserang bengek selama tiga hari! Meskipun tampilannya sangar, Pras tetaplah seorang anak emak yang lugu(?) dan tidak tahan dengan asap rokok. Lagipula saat ini uangnya tidak cukup untuk beli rokok. Mending dipakai untuk beli nasi di warteg. Atau jajan tahu bulat. Atau apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya.
Sekarang kemana? Saat ini Pras tak ingin kembali lagi ke apartemen dan menghadapi Ardi yang semakin jutek itu, sementara dirinya sudah tak tahu lagi bagaimana cara menghadapinya.
"Loh, Pras? Kok jongkok di sini?" tiba-tiba saja Bima Satria Garuda berhenti di depan Pras dengan motor matic-nya membuka kaca helm dan menatap Pras dengan tatapan heran. Tidak biasanya Pras pasang wajah mellow gini. Pras menatap Bima sendu, lalu tanpa mengatakan apa-apa, Pras langsung nemplok di boncengan Bima.
"Gue ga punya tempat tujuan. . . Gue nginep di kost lu ya?" ujar Pras sambil meluk-meluk nista.
"Nggak! Bukannya elo udah tinggal di apartemen? Turun gak?!" balas Bima heran campur jijik.
"Nanti gue bikinin indomie telor deh. . . Nih gue udah bawain loh. . ."
"Oke, deal!" angguk Bima nista. Mau aja disogok sama indomie telor. Padahal biasanya yang paling anti sama makanan instan kan dia. Mereka langsung meluncur ke kosan lama Pras.
"Gue ga sanggup lagi deh kayaknya ngadepin anak gue. . ." curhat Pras sambil menyeruput mie instan telor dobel milik Bima yang langsung dimasaknya setiba di kost. Bima mengernyit, lalu tertawa.
"Lo udah persis banget kaya bapak-bapak yang lagi pusing ngadepin anaknya yang lagi puber deh, Pras."
Pras malah manggut-manggut mengiyakan, kayak benar-benar Ardi anak kandungnya aja. Bima sibuk memotong telor dan Pras sudah lupa dengan mie-nya. Cowok itu mulai menjejali kuping Bima dengan cerita mengenai sikap aneh Ardi sejak mereka mulai tinggal bareng di apartemen. Sementara Bima nggak kelihatan benar-benar memperhatikan, hingga Pras melemparkan tatapan kesal padanya.
"Breh, lu denger ga sih gue ngomong apaan dari tadi?"
Bima sontak menghentikan suapannya, kuah terakhir dari mie instan tersebut.
"Intinya lo itu bego banget." balas Bima sambil melanjutkan suapannya. Mata Pras melebar, kalau nggak ingat mau numpang bobo di kosannya Bima. Udah dari tadi Bima dipiting sama Pras. Curhat sepanjang itu cuma ditanggapi dengan : 'lo bego banget.'  Aargh. . . Kalo itu doang, Pras juga tau dari dulu kali/eh.
"Ngomong-ngomong kamar bekas lo tempatin dulu masih kosong sampe sekarang." timpal Bima setelah membereskan mangkok bekas mie instan. Pras merebahkan tubuhnya di kasur Bima, menatap langit-langit.
"Apa gue balik kost di sini lagi ya, ngekost sendirian kaya dulu lagi?"
"Kenangannya ga nahan, breh." balas Bima seadanya.
"Kok lo ngomongnya kaya gue ada 'apaan' gitu sama Ardi sih?" Bima mengangkat bahu tak peduli. Pras memilih untuk tak ambil pusing dengan ucapan Bima barusan dan mulai menghitung-hitung isi dompetnya. Alasan sebenarnya bukan hanya karena juteknya Ardi, tapi dirinya yang memang merasa nggak enak sendiri tinggal di apartemen itu. Sudah dua bulan ia tinggal gratis, Ardi tak pernah mau menerima uang sewa bagiannya dan selalu bilang kalau semuanya gak perlu dipikirin. Siapa yang nggak bakal kepikiran, kalau setelah itu justru disuguhi tingkah absurd  kaya gitu?

INI APAA ?!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang