Genggaman Tangan

238 9 17
                                    

Kalena hanya mampu menunduk lemah dikursi besi yang terasa dingin itu sekarang ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalena hanya mampu menunduk lemah dikursi besi yang terasa dingin itu sekarang ini.

Bahkan untuk mengganti pakaiannya saja, Kalena sudah tidak memikirkannya lagi, terlalu bodoh jika pakaian juga menjadi urusannya sekarang. Jika perlu pakaian kotor, tersobek Kalen akan tetap bersedia memakainya asalkan dirinya bisa sampai ditempat ini dengan sangat cepat.

Dingin yang menusuk kulitnya mulai terasa hingga membuatnya menggigil. Jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam dan tidak terasa lima jam lamanya ia menunggu sebuah kepastian dari dalam ruangan sana. Kepastian yang sama sekali sulit ditebaknya atau paling tidak dibayangkan oleh dirinya sendiri sekarang ini.

Kalena mendengus lelah, ingin rasanya mata ini istirahat namun begitu seulit seakan dipaksa untuk tetap terbuka menanti sebuah pengharapan yang besar. Orang yang dicintainya dengan hati dan memberinya cinta dalam seumur hidupnya tengah berjuang menentukan kehidupannya disana, berjuang bersama sang penciptanya. Kalena menyayanginya dan mencintainya tanpa batas dengan waktu yang tidak terkira kapanpun itu.

"Kamu sudah makan, Kalena?" tanya perempuan berusia lima puluh tahunan itu. Wajahnya sangat damai, Kalena menatapnya dengan sendu. Betapa dirinya ingin bercerita keluh-kesah yang dirasakannya sekarang ini kepada perempuan itu, tapi untuk tersenyum sedikitpun saja bibirnya terlalu berat terangkat.

Kalena menggeleng pelan.

"Jangan terlarut dalam kesedihan, Kalen" ucapnya dengan sebutan akrab untuknya "Bertahanlah untuk tetap kuat. Saya percaya kuatmu akan menguatkan orang yang kamu cintai disana untuk tetap berjuang tanpa lelah..." tambahnya lagi.

Kalena menoleh menatap kearah dua bola mata indah itu. Damai, tenteram, sejuk dan sangat lembut terasa menusuk dibagian ruang pikiran Kalena yang saat ini sedang kosong. Semua terasa terisi kembali dengan hal-hal yang sulit diraih oleh Kalena sendiri selama ini, dirinya hanya menatap tegas kearah perempuan paruh baya berumur kepala empat itu. Tatapan tegas perempuan itu selalu mengajarnya untuk kuat, tetap tenang dalam hal seberat apapun itu.

"Oma..." ucap Kalena sangat lirih seraya menghapus jejak air matanya yang sudah terjatuh sedari tadi. Oma, panggilan khusus untuk Kalena. Panggilan saudara, dekat dan seperti sedarah. Selama ini Kalena sudah dianggap sebagai cucunya, keluarganya, anaknya. Siapa sangka kedekatan Kalena sampai saat ini dengan Oma justru menumbuhkan ikatan persaudaraan yang sampai sekarang ini membuatnya sangat lebih dekat untuk sekedar sebuah perkenalan dalam kehidupannya.

"Jangan menangis..." begitulah dia. Membantah semua hal yang membuat Kalena terlihat sangat rapuh didepannya matanya "Menangis bukan menyelesaikan semua masalah, Kalena" ucapnya menenangkan seraya menghusap punggung Kalena itu.

"Bagaimana sekarang takdir aku, Oma?" namun dengan cepat perempuan yang dipanggil Kalena dengan sebutan Oma itu membantah cepat ucapannya.

"Jangan pernah pikirkan apapun untuk sekarang ini..."

Sepucuk Rasa  [ONESHOOT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang