Rainford

49 0 0
                                    

Rainford pukul 14.30, sore dengan langit yang mendung. Kupandangi setiap pojok bangunan kota yang berdiri di sepanjang jalan wedenst, entah kenapa kota ini memang selalu begitu, baik suasana maupun udaranya, seperti ada sejarah yang terkubur dibawah sana dan tak pernah tertuliskan pada lembaran buku-buku pelajaran di sekolah. Mungkin terlupakan atau justru disembunyikan kisah dan ceritanya.

Kota ini tak terlalu banyak berubah sejak aku datang lima tahun yang lalu saat masih kelas 4 SD, ada sesuatu yang kuat mendorongku untuk kembali kesini. Untuk beberpa alasan aku ingin bertemu dengan sepupuku Dani dan bertemu dengan Nenek Tami, merasakan masakanya yang lezat dan mengisi waktu liburanku yang biasanya kuhabiskan dengan tak jelas ketika hanya dirumah. Aku ingin merasakan suasana yang baru, sedang di Rainford adalah kota tua yang begitu klasik bahkan setelah lima tahun aku tak pernah berkunjung hingga akhirnya kembali kemari tak ada satu bangunanpun yang berubah atau bertambah, jika berkurang mungkin beberapa saja karena sudah tua dan bisa jadi tak layak pakai.

Musim salju, aku hanya akan datang ke kota ini ketika liburan musim dingin. Suasana berbeda yang diciptakan dari embun dan dinginya adalah kesunyian. Sedangkan sepi ini mungkin salju membekukan segala hal yang ada di kota ini, termasuk orang-orang yang enggan keluar rumah dan lebih memilih untuk memenuhi lemari mereka dengan setumpuk cadangan makanan. Walau salju tak bisa dikatakan turun dengan sangat lebat tapi anak-anak kecil bahkan seperti tak menantikan perang bola salju dan membuat boneka-boneka salju seperti yang dilakukan anak-anak dibanyak tempat.

Mobil yang kutumpangi melaju lambat-lambat di tengah salju yang berjatuhan dari langit. Kaca mobil memburam karena embun, mungkin juga menggigil kedinginan jika ia bisa merasakanya. Aku hapus embun dikaca dengan tangan, agar pemandangan jalanan lebih terlihat jelas. Aku sedang menyusuri jalanan kota utama dimana dikanan kiri penuh dengan toko, rumah makan dan penginapan. Tapi bahkan tak kulihat orang-orang berbondong ke toko pakaian untuk menghabiskan satu stock produk terbaru musim dingin. Walau toko itu tetap terbuka tapi didalam seperti tak ada aktivitas jual dan beli. Begitupun dengan rumah makan dan penginapan, hanya ada beberapa gelintir orang saja yang seakan begitu tergesa-gesa dengan langkahnya dan segera ingin masuk ke sebuah bangunan.

"Jadi, kenapa mobil ini berjalan begitu lambat? Apa salju begitu deras? Aku kira tidak...jadi kenapa?" Tony bergumam menatapku sambil memanyunkan bibirnya, wajahnya pucat, ia mengigil kedinginan. Merapatkan jaket tebalnya dan mendekap erat tas ranselnya. "Sungguh pemanas mobil ini tak berguna sama sekali untuku."

"Well, inilah yang disebut sebagai bepergian. Kau harus menikmati perjalananmu, dan jangan menyia-nyiakan setiap pemandangan yang kau jumpai dengan meringkuk kedinginan. Bukankah dinginnya menyenangkan?" Aku berusaha acuh sambil menahan tawa, melihat hidungnya sudah mulai memerah. Ia selalu begitu, bermasalah dengan dingin, bahkan untuk kategori ketika orang umum tak mengatakan itu dingin, ia akan mengigil kedinginan.

"Sial, kau melihatku seperti anak rumahan yang selalu tidur siang tepat pada waktunya. Aku telah mengunjungi lebih banyak tempat dibandingkan denganmu. Hanya karena dingin, apa peduliku dengan dingin?"

"Jelas kau peduli dengan dingin."

"Tidak." Ia menolak keras.

"Iya."

"Dingin tak mempengaruhi jiwa petualanganku."

"Kau mengigil kedinginan dan terus mengeluh. Kau terpengaruh." Aku memeletkan lidah padanya.

"oke aku memang kedinginan, jadi bisakah lebih cepat mobil ini berjalan? Atau lebih baik aku saja yang menyetir?"

"Kau tak bisa menyetir."

Pipinya menggemung menahan kesal, kini warna hidungnya lebih memerah, bahkan juga telinganya. "Oke, aku memang tak bisa menyetir. Jadi tolong cepatkan laju mobilnya..."

Shimla WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang