Api unggun dalam perapian menari-nari menghangatkan ruang tengah. Syal kugulung dan kulingkarkan ke leher lebih ketat agar lebih hangat. Aku menatap Tony yang alisnya berkerut terus-terusan menatapku dengan tatapan penuh curiga, bibirnya terkatup seperti menahan semua pertanyaan yang menyumpal tapi urung untuk diucapkan. Ia menghela nafas berulang-ulang. Aku mendiamkanya, ia pasti ingin memakiku, tapi dengan hidungnya yang memerah itu kurasa ia tak bisa berbuat apa-apa selain meringkuk dalam-dalam.
Aku melirik jam dinding diatas perapian. Kurang lima menit lagi sebelum jarum jam menunjukan pukul satu tepat.
"Bisa katakan sesuatu?" Tony berbisik kesal.
"Apa?"
"Kenapa diam saja? Aku sudah datang kemari, tengah malam, dan kau mengatakan sesuatu yang aneh tentang perburuan sebelum kita tidur, lalu apa?"
Aku mengedikan bahu "Dani belum datang. Sabarlah sedikit."
"Aku akan benar-benar memusuhimu kalau ternyata apa yang akan kita lakukan ini adalah hal konyol tak masuk akal."
"Kamu membawa tas ransel?"
Tony menarik tasnya kesamping tubuhnya "Tak ada salahnya membawa perbekalan untuk berjaga-jaga. Aku tahu kau penakut jadi kita butuh senter dan ketapel, atau pisau untuk melindungi diri."
"Oh..." Aku mengangguk-angguk menahan tawa. Isinya pasti lebih dari itu. Sekotak kue, baju, air minum, dompet, permen itu pasti, dan barang-arang lainya. Tapi kubiarkan saja, percuma jika aku melarangnya, ia akan mendebat habis-habisan.
"Kau tak membawa apapun?"'
Aku menggeleng mencari jawaban. "Aku tahu kau sudah menyiapkan segalanya." Kataku pada akhirnya.
"Kurasa aku tidak telat, sorry." Dani muncul dari pintu dengan rambut sedikit basah bekas mencuci muka.
"Hampir. Oke kita langsung saja melingkar."
Dani mengangsurkan selembar kertas usang berwarna putih sepanjang setengah meter dan lebar 20 cm padaku dan satu batang besi setebal lidi dengan panjang tak lebih dari sepuluh centimeter. Tony memperhatikan dengan seksama. Ia bolak-balik meliriku dan Dani yang sibuk menyalakan lilin dan meletakan lilin-lilin itu di tiga titik membentuk segitiga.
"Tony, pegang ujung kertas ini." Kataku.
Tony mengikuti perintah Dani, wajahnya sedikit pucat.
Dani terkikik pelan "Apa kau pikir ini sebuah pemujaan atau ritual pemanggilan arwah?"
"Entahlah, selintas memang itu yang terpikir dikepalaku."
Kertas itu terbentang diatas lilin, pantulan cahaya lilin menerangi bawah kertas dan menembusnya, perlahan-lahan kertas putih itu berubah menjadi coklat. Aku memercikan air pada permukaan kertas itu dan dengan perlahan-lahan pula garis-garis dan tulisan dari tinta hitam muncul memenuhi kertas.
Tony hampir melepaskan kertas itu dari tanganya karena kaget. Wajahnya terlihat gawat, ia menelan ludah dan mendesis.
"Apa ini nyata? Maksudku apa aku bermimpi?"
Dani menggeleng "Setidaknya kau tidak sampai berteriak sepertiku dulu."
"Jadi ini nyata? Bagaimana bisa?" Tony mengerang meminta penjelasan, tanganya bergetar menyentuh kertas. "Ini bukan Harry Potter bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Shimla Warriors
PertualanganEmpat tangan kekuasaan dan Batu Sonzaiga. Tersimpan dalam tujuh mantra. Dengan hati yang sehitam malam Penyatu akan menjadi Pemecah dan akhir akan mendekat di pelupuk mata. Empat mahkota berdiri mengangkat pedang dan Penghianat berpaling dari petuah...