Hubungan Darah

42 0 2
                                    

Susu hangat dengan campuran jahe, aku hampir memeluk gelas ini. Tony dan Dani makan seperti kerasukan, mereka bahkan melewatkan minum air putih terlebih dahulu. Mereka Tak saling bercakap, fokus dengan piringnya seperti itu semua akan menghilang jika mereka sedikit saja berpaling.

"Tuhan, aku tak menyangka kita pulang...dan tidak patah tulang." Tony melirikku.

Aku membuang muka.

"Entah ini tak masuk akal atau kita namai saja keajaiban. Kita harusnya mati tertimpa becak dan tertusuk kayu." Dani bergidik "Kurasa kita harus memilih tempat dan cara yang baik untuk kesana, jadi untuk kembalipun kita tidak perlu menghadapi kematian."

"Kau pikir itu sesuatu yang bisa dipesan dan direncanakan?" Kataku tak terima. Yang benar saja, jadi mereka menyalahkanku?

"Yeah, ditengah jalan...dan ramai. Itu tanggung jawabmu yang membaca mantra, pasti tidak dibaca dengan benar." Telunjuknya dengan mata berkilat-kilat.

"Dengar, seharusnya aku tidak membawamu pulang. Terus saja salahkan aku." Kataku berteriak.

Tony terdiam "Kau tahu semua hal yang terjadi harus ada yang disalahkan, kalau tidak akan menjadi aneh." Senyumnya mengembang. "Tidak mungkin aku yang salah."

Dani angkat tangan "Apa lagi aku, aku jelas tidak."

"Nah, artinya kamu yang salah."Tony menepuk pundaku ringan

Oh, shit.

Rencananya siang ini Pak Robert hendak mengajak kami berkeliling hutan belakang rumah dengan mobil antiknya. Tapi aku membatalkanya. Apa yang kau bayangkan tentang siang? Matahari dan terik? Tidak, siang bersalju artinya gelap. Tony mengerang jengkel dan berinisiatif tetap ikut dengan atau tanpa aku.

"Salju sedang lebat, hidungmu tidak akan baik-baik saja."

Tony menunjukan syal tebal kepadaku dan memakai sarung tangan bulu. Ia berputar di depanku dengan ekspresi pamer, menunjukan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan darinya.

Pak Robert tertawa renyah mengelus jenggotnya "Kau bersemangat sekali hari ini. Tak masalah bagiku walau hanya mengantar satu orang. Toh aku sedang senggang. Jadi kau tetap ingin berangkat?"

"Tentu." Tony mengangguk mantap.

Aku menyelipkan minyak kayu putih ke saku jaketnya agar ia bisa setiap waktu menggosok tengkuknya ketika kedinginan. Mobil tua Pak Robert mengecil tenggelam oleh putihnya salju. Aku menutup pintu rapat-rapat. Dani sedang kerumah temannya, jelas temannya itu perempuan karena ia tak mengajaku. Aku cukup bersyukur mereka pergi dengan begini aku bisa mengorek tentang rumah ini kepada Nenek, yang artinya aku harus betah berjongkok di depan kompor menunggui Nenek memasak. Oh aku tak suka itu.

Aku duduk di samping Nenek yang sedang memasukan kayu bakar ke dalam tungku. Ia meniup-niup selongsong bambu agar api tetap menyala. Dinding dapur ini sampai menghitam oleh asap dari kayu bakar, begitu juga pantat panci dan perabotan dapur lainnya.

"Harusnya Nenek memakai kompor listrik yang ibu berikan setahun yang lalu, jadi Nenek tidak perlu kesulitan."

"Nenek tidak kesulitan. Sama sekali tidak." Sahut Nenek ringan. Tanganya cekatan menyiapkan bumbu-bumbu.

"Tapi Nenek harus setuju bahwa kompor listrik itu memudahkan."

"Kuno bukan berarti sebuah kemunduruan. Toh kau sangat menyukai masakan Nenek dibandingkan ibumu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Shimla WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang