putih abu-abu

39 9 1
                                    

Seperti yang sudah ia tebak semalam, Kirana terlambat bangun. Alarm yang ia andalkan pun tak kuasa membangunkannya. Tiga puluh menit lagi bel masuk sekolah berbunyi. Tapi, untuk mematikan alarm jamnya yang dari satu jam yang lalu berbunyi setiap lima menit, Kirana tidak sanggup. Lemas rasanya. Film yang ia tonton lewat laptopnya semalam benar-benar membuat ia mabuk. Matanya sedikit sembap karena jalan cerita apalagi ending filmnya yang membuat ia tak tahan lagi menahan panas di bawah matanya. Perasaan itu terbawa sampai Kirana mau tidur.

Gak mau sekolah, maunya tidur lagi aja. Mau tidur.. Mau tidur..

Kirana menggerutu pada dirinya sendiri sambil tetap memaksakan langkahnya yang berat masuk ke kamar mandi.

"Astaga, Ki! Udah jam berapa ini??!" Akhirnya ada juga yang buka mulut untuk menyerbu Kirana dengan pertanyaan dan pernyataan klise, seperti Udah jam berapa ini? Ki, kamu ini bangun jam berapa? Pasti semalam nonton sampai malam, kan? Makanya nurut sama Mama! Orangtua ngomong jangan dibantah! Ki, sarapannya gimana?

"Ki, sarapannya gimana?"

Nah, kan. Baru aja dibatin, udah ngomong lagi. Panjang umur.

"Dibawa ke sekolah aja, Ma. Nanti Ki makan di sekolah. Bekal, bekal." jawab Kirana tergesa sambil memakai sepatunya yang nyaris sesak.

"Mana, Ma, bekalnya?" Kirana bergegas berdiri, menghampiri Dewi.

"Nih, ya. Coba kamu bangunnya nggak telat, ya nggak bakal repot kayak gini, Ki. Makanya lain kali, omongan Mama itu didengerin. Mama ngomong apa coba semalem? Mama udah bilang kan kalau.."

"Dah, Ma.. Ki berangkat dulu. Terimakasih bekalnya!" Tiba-tiba dilihatnya Kirana sudah sampai di pintu depan, hendak mengambil sepeda birunya. Dewi hanya bisa tersenyum tipis geleng-geleng.

**

Dengan sepeda birunya yang selalu setia menemaninya dari ia SMP dulu, Kirana menikmati setiap kayuhannya. Angin menerpa-nerpa rambut panjangnya yang ia ikat. Dari rumahnya, lalu mengikuti jalan lurus yang sejalur juga dengan selokan panjang di daerahnya ini, sampai melewati tiga perempatan,di perempatan keempat belok kanan, mengikuti jalan di depannya sampai ia melihat sekolah tingkat barunya yang akan ia huni selama tiga tahun. Semoga tepat tiga tahun, kurang boleh dengan maksud positif tentunya, lebih jangan.

Sesampainya ia di sekolah barunya itu, Kirana bingung. Pintu pagarnya tertutup. Tidak ada satupun murid yang terlihat. Tidak terlihat kendaraan apapun keluar masuk sekolah. Sekolahnya sepi. Ia menyadari ada yang tidak beres. Apa jangan-jangan aku yang sebenarnya tidak beres?

Kirana mengangkat tangan kirinya, di dekatkannya ke matanya. Ia terbelalak. Jam tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh. Ya pantas saja lah! Dasar, bodoh!

Kirana mencoba menggedor-gedor pintu gerbang sekolah. "Pak! Bu! Tolong bukain pintunya!! Tolong, saya anak baru disini! Pak! Bu! Siapapun!"

Disaat yang bersamaan, Priyono sedang khusyuk membaca koran pagi ini, di posnya–tempat ia bekerja sehari-hari. Kedua kakinya disilangkan dan diangkat ke meja. Sambil memainkan jenggot tipis di dagunya, ia mengeluh sendiri tentang tagline di halaman depan koran itu.

"Saiki opo-opo kok larang to yo, yo.. Wes bensin regane naik, saiki cabe yo melu-melu. Piye iki, Pak.."

"Pak! Bu! Ayo dong, tolong bukain!" Ia mendengar suara teriakan dari pintu gerbang sekolah.

"Iki sopo to yo, yo, kok mbrebegi banget.."

Karena terganggu dengan suara teriakan itu, Priyono akhirnya terpaksa keluar dari 'kandang'nya untuk memeriksa asal muasal teriakan itu.

"Kosek, Mbak. Sabar." Supri membuka gembok pintu gerbang sekolah dan agak terkejut melihat seorang murid perempuan berseragam putih biru terlihat ngos-ngosan di depannya.

Kirana hampir 5 menit berusaha untuk masuk, teriak-teriak tidak jelas berharap ada yang menggubrisnya, loncat-loncat sambil menggerakkan tangannya ke atas berharap ada yang melihatnya, tidak bisa berbuat banyak selain meneriakkan 'Pak' atau 'Bu' atau 'siapapun'. Akhirnya, ia tidak sia-sia.

"Pak.. Maaf.. Saya mau–" Kirana terbata-bata karena nafasnya yang masih sesak.

"Mbaknya murid baru, ya? Maksudnya baru kelas 10? Monggo, monggo.. Masuk aja, Mbak."

"Iya, Pak.. Makasih.. ya.. Ini.. saya.. harus kemana?" Kirana masuk dengan jalan lunglai.

"Nanti Mbak masuk lobby terus ke kiri aja, Mbak. Udah pada ngumpul di lapangan."

"Oke.. Makasih, Pak.." jawab Kirana sambil tersenyum lemas dan mengacungkan jempolnya diatas kepala.

"Lain kali jangan telat ya, Mbak. Apalagi Mbak ini masih baru, untung masih dimaklumin."

Kirana tidak lari, sudah pasti ia tidak kuat lagi. Ia berjalan dengan cepat dan langkah yang lebar. Berharap tidak ada yang mengintrogasinya atau mempermalukan dirinya di hari pertama. Mati, mati, mati!

Saat Priyono berbalik lalu mau menutup pintu gerbang, tiba-tiba seorang murid laki-laki datang, kali ini berseragam putih abu-abu tanpa dasi dan sabuknya. Sudah pasti ini murid sekolah sini. Priyono kaget tak main-main.

"Pagi, Pak Pri." murid laki-laki itu tersenyum tanpa dosa. Priyono sudah hafal diluar kepala siapa orang ini. Murid laki-laki yang suka terlambat hampir setiap hari. Sekalinya tidak telat, ternyata hanya ingin menitip absen atau mau mencontek PR temannya.

"Pagi juga, Di." Priyono hanya membalasnya datar lalu menggeser sedikit pintu gerbang agar ia bisa masuk.
Setelah menutupnya kembali, Priyono  mendengus panjang, berharap suatu saat murid laki-laki yang paling dikenalnya itu bisa berubah, atau setidaknya ada yang bisa merubah diri anak itu yang berantakan.

**

Kembali di posnya sambil menyeruput kopi yang diambang setengah panas dan setengah dingin.
"Dipta.. Dipta.. Artinya berkilauan. Mungkin belum saatnya."
Priyono hanya berharap suatu saat anak itu menemukan cahayanya sendiri.

ANONIM: UNTUK DIPTAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang