prolog

46 9 2
                                    

Namanya Kirana. Ia sedang duduk bersender di kursi plastik berwarna hijau sambil terus menggerutu. Langit sore hari ini sangat gelap. Abu-abu lebih tepatnya, tapi memang sangat tebal. Kirana kesal kepada mendung, karenanya ia tidak bisa melihat senja yang ia tunggu-tunggu hari ini. Padahal ia sudah berusaha tidur siang dua jam, demi bisa menyaksikan proses jatuhnya matahari ke barat. Hanya demi melihat semburat keelokan gradasi warna ungu, kadang merah atau kadang jingga dengan langit biru.

Karena dengan hal-hal kecil seperti inilah, Kirana bisa merasakan damai yang tenang, yang tak bisa ia temukan dalam hal apapun–kecuali debur ombak, angin sepoi-sepoi atau malam di Kaliurang yang dingin.

Dan sekarang, Kirana benar-benar kesal sekali. Usaha yang ia lakukan hanya untuk senja semuanya sia-sia. Dia sudah membayangkan bagaimana indahnya senja sore ini. Bagaimana tidak, sebelum Kirana melakukan ibadah tidur siangnya, cuaca masih cerah, bahkan cenderung panas. Sampai Kirana harus menyalakan kipas angin kecilnya dengan kecepatan maksimal.
Jam setengah lima sore, Kirana bangun dengan gerah yang tak tertahankan. Sinar matahari menembus pertahanan jendela kamar Kirana. Ia masih ngantuk, tapi sudah tidak bisa tidur lagi. Untuk mengisi luang waktunya menunggu si senja, ia membaca buku di teras kamarnya di lantai dua.

Setelah selesai membaca dan bahagia dicampur terharu karena ending buku yang ia baca, Kirana baru menyadari warna langit di depan matanya sekarang berubah. Yang tadinya biru laut dengan gumpalan-gumpalan kapasnya sekarang malah menjadi abu-abu tebal.

Kirana menengok ke belakang sebentar, melihat jam dinding di kamarnya. Sudah pukul enam kurang lima belas. Seharusnya senja itu sudah tiba untuk menjemputnya. Tapi, apa daya? Mendung dan hujan berkonspirasi untuk merebut kebahagiaan senjanya.

Daripada kesal Kirana terbuang sia-sia dan nanti bisa dibilang tidak waras, Kirana akhirnya hanya bisa menulis.

Sialan!
Langit pembohong! Penipu!
Teganya ia memberi harapan palsu
Salah apa aku ini?
Bahagiaku tidak muluk-muluk
Hanya sederhana;
melihat senja. Tidak boleh?
Kesal aku kali ini, langit keparat! Mendung perusak!
Hujan perebut!
Kesal, kesal, kesal!

**

"Hayo, Ki! Lagi mikirin apa sih, spaneng banget."

"Hih, apasih.. Udah ngagetin, gak pake acara ngetuk pintu dulu pula, langsung masuk gitu aja."

"Baru juga masuk, udah diomelin. Ya udah, terserah. Cuma mau bilang ya, situ masih manusia, kan? Udah jam sembilan gini, yakin gak laper? Mumpung di meja masih ada sisa makanan lho, ya, belum tak kasih ke Romeo."

Kirana kaget. Bukan karena kakaknya, Bima namanya, yang paling menyebalkan tapi selalu ada buat Kirana itu. Tapi, ia baru menyadari ia sudah menghabiskan berjam-jam di sini, memandangi langit yang sekarang menurunkan hujan dan melepaskan angin-angin ribut.

"Ha? Udah jam 9? Astaga, cepet banget.."

"Kamunya yang kurang kerjaan. Hujan angin kok malah di luar, emang nggak kecipratan air hujan? Nggak kedinginan?" kata Bima sambil menciprat-cipratkan air hujan yang ada di pinggir balkon.

"Iiihhh! Kak Bima emang ya.. Terserah, ah..  Kesel!" seru Kirana sambil menghindar lalu menuruni tangga dengan langkah yang sengaja dihentakkannya. Bima hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah adik anehnya itu.

**

"Kenapa sih, Dek, kok manyun kayak gitu?" tanya Dewi, Mama Kirana yang sedang membereskan piring-piring kotor di meja makan.

"Tanya aja sama Kak Bima, Ma.." jawab Kirana ketus.

Kirana sekarang sudah di meja makan. Benar kata kakaknya. Yang tersisa di meja tinggal satu telur mata sapi dan sedikit tumis sawi pedas. Kirana tetap melahapnya dengan nafsu. Lapar yang baru ia sadari tadi telah menggerogotinya daritadi sore.

Selesai makan, ia mencoba membongkar isi harta karunnya–kulkas. Banyak stok snack dan susu di sana. Kirana mengambil dua bungkus biskuit rasa coklat dan coklat kacang, satu bungkus kecil Cheetos, pop mi rasa kari ayam dan satu susu kotak kecil rasa coklat. Sambil mengunyah permen karet, Kirana membawa semua senjata perutnya itu untuk dibawa ke kamarnya.

"Ya ampun, Nak.. Kamu ini mau ngapain? Mau ngeronda RT?" seru Dewi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Enggak, Ma. Mau jadi ibu-ibu arisan yang perhatian sama suaminya waktu lagi ngeronda." Kirana menjawab dengan muka datar, membuat Dewi tidak bisa lagi untuk menahan tawanya.

"Emang siapa suaminya? Kasih tau Mama dong.."

Pertanyaan itu membuat Kirana sedikit terkejut. Kirana paling tidak suka ketika sang Mama mulai berbicara hal-hal yang menyerempet  berbau kehidupan cinta. Biasanya, Dewi suka ngelantur sendiri tentang kehidupan cinta anak perempuannya itu. Dan Kirana benar-benar risih.

"Udah ya, Ma. Kirana naik dulu. Selamat malam, Tante Dewi! Semoga anak perempuannya ini bisa nonton film dengan tenang." Kirana langsung menaiki anak tangga cepat-cepat.

"Jangan malem-malem, Ki! Besok sekolah! Hari pertama!!" teriak Dewi. Lalu terdengar pintu kamar Kirana ditutup cukup keras.

ANONIM: UNTUK DIPTAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang