CHAPTER 4: Spoiled Tea

149 58 56
                                    

Aku terbangun dengan bau ethanol yang menyengat. Baiklah, aku ada di rumah sakit. Dan aku masih hidup.

"Hey." Kak Leon menyapaku dengan sendu.

Apa Kak Leon tahu?

"Hey." Aku berusaha untuk duduk saat Kak Leon dengan cepat membantuku dan menatapku seperti aku mau mati. "Jam berapa ini?"

Dia tahu.

"Jam delapan malam." Aku mengangguk dan Kak Leon berdehem. "Gimana? Baik-baik aja kan?"

"Hmm, baik-baik aja." Memang aku merasa baik-baik saja. Malah, aku merasa aku tidak pernah mengalami kejadian tadi—pingsan dan semuanya.

Biar aku beritahu, suasana disini lebih canggung daripada saat Emma Stone berebut pelukan saat Golden Globes.

"Kita harus bicara." Seperti ada backsound kaca pecah di kepalaku. Kak Leon tahu semua.

"Ya."

"Sejak kapan?" Kak Leon bertanya dengan nada suara yang dingin dan itu membuat bibirku bergetar.

"Empat bulan."

"Empat bulan? Kamu nyembunyiin tumor otak selama empat bulan?" Nada suara Kak Leon tiba-tiba meninggi. Aku tidak tahu apa itu nada marah, khawatir atau kecewa. Aku benar-benar tidak tahu.

"Ya." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.

"Kakak udah jadwalin operasi tiga ha..."

"Ga!" Aku bersumpah itu pertama kalinya aku membentak kakakku.

"Tash!"

"Ga. Kakak bakal batalin operasi itu dan kita pulang besok pagi, okay?" Mataku memanas, aku bisa merasakan air mata di sudut mataku.

"Kamu ga berhak ngasih tau kakak apa yang bakal kakak lakuin." Nafasku kembali tercekat. Aku tidak pernah melihat Kak Leon semarah ini. Aku bahkan tidak percaya ia bisa marah.

"Oh sebenarnya aku berhak. Ini tubuhku, keputusanku." Aku turun dari tempat tidur dan berdiri di hadapan Kak Leon. Ini pertengkaran pertama seumur hidup kami.

"Kamu mau mati?!"

"Iya aku mau mati!"

Hening. Kami beradu tatap selama dua menit dan air mata berjatuhan dari mata kami. Aku yakin Kak Leon tidak bisa menemukan keraguan di mataku dan itu yang membuat pertahanannya runtuh—karena Kak Leon tidak pernah menangis sebelumnya. Tidak di hadapan siapapun. Bunda bilang hanya ada satu tempat dimana kita boleh menangis di hadapan orang—pemakaman.

"Aku ga bisa hidup kayak gini. Udah cukup." Akhirnya aku mengakuinya.

"Tash..."

"Saat aku tau kalau aku punya tumor otak dan waktuku tinggal delapan bulan, aku pikir kalau itu bagus. Aku bakal mati, kakak nggak bakal terlalu sedih karena kakak tahu aku mati bukan karena bunuh diri, dan citra perusahaan bakal baik-baik saja. Win-win solution." Jelasku dengan air mata yang terus mengalir menuruni pipiku.

"Please..."

Aku mengusap air mata dari pipiku. "Aku udah lama mati, Kak." Aku tersenyum, mencoba meyakinkan Kak Leon. Atau diriku sendiri. "Dan aku udah nggak sanggup buat nahan semua ini lagi. Aku udah nggak sanggup buat bukan jadi diriku. Aku udah nggak sanggup jadi manusia yang mati rasa, nggak bisa ngerasain apa itu marah, sedih, senang, takut, dan jijik. Udah selesai, Kak. Aku capek. Aku cinta hidupku sebelum ini, dan itu mustahil buat dapetin hidup itu lagi."

21 Bullshit ListTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang