Suara langkah kaki terdengar jelas di koridor sekolah yang sudah sepi. Bukan, bukan sepi karena tidak ada siapa-siapa. Melainkan bel masuk telah berbunyi 45 menit yang lalu.
Lengka saat ini sedang menuju kelasnya dengan banyak pemikiran yang berkecamuk di dalam benaknya.
Tadi, gadis itu baru saja dari ruang BK. Dia memang tidak membuat masalah, tetapi Lengka baru saja diwawancarai mengenai kejadian yang menimpa Elwin sekitar satu minggu lalu. Ah, bahkan kejadian itu sudah cukup lama, tapi dia baru diintrogasi beberapa puluh menit lalu.
Saat kejadian itu terjadi, keesokan harinya para biang gosip di sekolah Lengka langsung menyebarkan berita bahwa Elwin kesurupan. Ada juga yang menduga Elwin kerasukan roh dari pelindung Lengka (ini menurut siswi yang melihat Elwin mencengkram tangan Lengka tapi mencoba untuk tak acuh ketika hal itu berlangsung).
Selain itu, Elwin juga malah semakin gencar mengganggunya. Ketika mereka berpapasan atau Elwin sengaja mencari Lengka-menurut pengakuan Elwin-, pasti lelaki itu melakukan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan. Seperti menjambaknya, merangkulnya terlalu erat sampai Lengka merasa kuku Elwin bisa saja menembus pakaiannya. Tangan Elwin memang terlihat menggandeng tangan Lengka padahal mencengkramnya, sampai terkadang menyeret Lengka jika keadaan di sekitar mereka sepi.
Seperti detik ini. Lengka yang seharusnya melanjutkan langkahnya untuk kembali ke kelas, malah tercegat oleh Elwin yang sepertinya sehabis dari perpustakaan. Oh bahkan Lengka bisa menebak, pasti anak itu dihukum lagi.
Elwin menyeringai. Sepertinya cowok itu sangat suka menyeringai.
Mencoba untuk tak memerdulikan Elwin, Lengka terus melangkah. Tapi lengan kiri bagian atasnya ditarik ke belakang, hingga tubuhnya pun ikut berputar membalik 180 derajat.
Lengka menatap Elwin sinis.
"Akhirnya kita ketemu, kemarin balik sekolah gue nyariin lo padahal. Ingat utang lo?" tutur Elwin sambil melihatkan deretan giginya setelah selesai bertanya.
Gadis yang berada di hadapan Elwin menahan dirinya untuk memutar bola mata. "Mau bayaran apa?" Dengan raut wajah datar, Lengka bertanya.
Lagi-lagi Elwin menyeringai, bibirnya sedikit terbuka hendak mengatakan sesuatu. Namun Lengka lebih cepat berbicara, "Gue gak ada waktu."
Kemudian gadis itu menepis cengkraman Elwin yang mulai merenggang pada tangannya dan melanjutkan jalannya menuju kelas dengan langkah cepat, terkesan tergesa-gesa. Dia takut Elwin akan mengejarnya-walaupun itu tidak mugkin.
Biasanya, setelah Lengka berhasil melarikan diri dari laki-laki tak berperasaan itu, Elwin langsung memukul kepalanya atau memukul dadanya beberapa kali.
Dan saat inipun begitu, setelah merasa cukup jauh, Lengka menengokan kepalanya ke belakang, di sana Elwin sedang memukul-mukul kepalanya. Namun anehnya, pasti Lengka selalu melihat bayangan kakaknya berada di sekitar lelaki itu setelah ia pergi. Untungnya ini tidak separah kejadian seminggu lalu, setelah beberapa kali Elwin melakukan hal itu pada dirinya sendiri, Elwin langsung berlari entah kemana. Itulah yang selalu dilihat Lengka.
*
Di dalam kelas lelaki itu terlihat sedang melamun, seperti banyak pikiran. Dia bahkan tak sadar bahwa bel pulang sudah berbunyi dan di kelas hanya tinggal menyisakan beberapa orang saja.
Tiba-tiba seorang lelaki berambut agak ikal, Indra, menepuk pundaknya. "Lo mau nginep di sini, El?" tanyanya sambil terkekeh kecil.
Setelah tersadar, Elwin melihat sekilas sekitarnya. Ternyata kelas sudah mulai sepi.
"Yoi, gue mau jadi penunggu sekolah ini, siapa tau dapet cewek cantik." Ucapannya tak sesuai dengan gerak tubuhnya, Elwin mulai membereskan beberapa buku yang ada di meja dan memasukan pena yang tadi dimainkannya secara asal ke dalam tas.
Indra hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. "Bukannya dapet cewek, yang ada nanti malem lo malah ketemu sama cewek yang punya rambut item panjang, pake baju serba putih, kulitnya pucet, terus yang terpenting, cewek itu gak napak tanah."
Elwin tertawa mendengar gurauan temannya itu, selera humornya memang buruk sepertinya. Padahal itu tidak lucu sama sekali.
"Yang penting cakep, 'kan?" tanyanya sambil berdiri lalu menyampirkan tas hitamnya di pundak sebelah kanan.
Lalu mereka berdua tertawa.
Setelah sampai parkiran, dia berpisah dengan Indra. Teman seperjuangannya itu menuju ke parkiran mobil, sedangkan dirinya ke parkiran motor.
Ketika akan menggunakan helmet full face-nya, entah kenapa Elwin merasa kedua bahunya berat, seperti ada yang menindih. Dia juga merasakan ada yang meniup tengkuknya, tiba-tiba merinding sendiri. Namun itu hanya beberapa saat. Elwin menghembuskan napas lega.
Tetapi dia merasa ada orang yang mengganggunya, lalu berbisik semacam, "Sandofal Fairus. Kematian. Gudang. Pisau. Pembunuhan."
Bulu kuduknya langsung berdiri, dia benar-benar merinding dan tak mengerti maksud orang itu.
Biasanya ketika dia mengganggu seorang gadis-yang ia lupa namanya siapa-, bisikan itu hanya terdengar berbicara, "Jangan ganggu Lengka."
Tetapi kali ini berbeda. Bisikan kali ini membuatnya bingung. Seperti Elwin ingin mengingat sesuatu, sayangnya ia tak bisa mengingatnya. Semacam ingatan itu seolah-olah terkunci dari memorinya.
Elwin mencoba untuk tidak memerdulikan segala bisikan yang didengarnya. Ia berpikir itu hanyalah ilusinya.
Dengan kesan yang cukup terburu-buru, Elwin melajukan motornya untuk segera sampai di rumah. Harapannya, bisikan ilusi itu tidak lagi terngiang di telinganya.
*
Bangunan rapi itu masih berdiri gagah, walaupun sudah lama tidak terpakai. Dua pemuda-salah satunya adalah Elwin-duduk di lantai depan salah satu ruangan tak terpakai.
Hanya keheningan menyelimuti karena mereka terlalu lelah untuk berbicara. Selelah apapun, mereka tidak ada niatan untuk beranjak pulang. Semilir angin membuat enggan beranjak dari tempat ini.
Raut wajah Elwin terlihat gusar dan tidak nyaman. Kakinya memanjang menghalangi jalan seraya merogoh sesuatu pada saku celananya.
Sebuah alat mencurigakan berada di tangannya, namun pemuda di sebelahnya mencoba acuh tak acuh. Kilauan mengilap muncul dari benda tersebut. Itu senjata tajam!
Dengan refleks, pemuda itu menjauhi Elwin yang sedang menggenggam senjata tajam.
Elwin tentu saja tidak tinggal diam. Wajahnya yang memerah-entah karena apa-terlihat sangat menakutkan. Tubuh kawannya hingga bergetar hebat hanya melihat perubahan signifikan dari Elwin.
Senjata tajam Elwin menggores lengan pemuda itu. Darah segar mengalir cukup deras.
Seperti tanpa rasa bersalah, Elwin malah tertawa melihat pemuda di hadapannya mengerang kesakitan. Elwin pun semakin gencar melayangkan senjata tajamnya.
Goresan tak dapat lagi terhitung. Pemuda itu seperti bermandikan darah. Kemeja putihnya sudah dipenuhi oleh darahnya sendiri. Tawa Elwin semakin keras.
Raut wajah Elwin kembali normal. Senjata yang dibawanya terlepas dari tangannya dan terjatuh membentur kerasnya lantai.
Jiwa malaikatnya kembali. Keinginan menolong pemuda itu bangkit, bahkan tak ada lagi tawa.
Namun semua terlambat. Tak ada lagi helaan napas yang dirasakan Elwin. Pemuda itu tiada.
Merasa sesak, Elwin terbangun dari tidurnya dengan terenggah-enggah. Ia memikirkan mimpi yang baru saja menghantuinya.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent
HorrorLengka Ratu Veralda. Cewek. 16 tahun. 2 SMA. Entah kenapa dia terlihat pendiam dibanding anak-anak seumurannya. Bukan, dia bukan jutek atau semacamnya. Karena satu hal yang membuat dia seperti itu. Kematian. Adelwin Anwar. Cowok. 17 tahun. 2 SMA. La...