3

61 6 5
                                    

Lengka disibukkan dengan tumpukan buku di meja belajarnya. Bukan hanya sekedar pajangan, tugas sekolahnya menumpuk menanti untuk dikerjakan.

Sudah satu jam Lengka duduk di kursinya tanpa beranjak. Memang tempat dimana ia belajar sangat nyaman. Di hadapannya, berhadapan langsung dengan jendela sehingga ia dapat menghirup udara segar.

Namun tiba-tiba, ia mendadak merasa gelisah. Berkali-kali ia menengok ke arah lain hanya untuk memastikan bahwa ia benar-benar sendiri di sini.

Tapi, semakin detik rasanya gadis itu semakin tidak nyaman, ia merasa seperti ada orang yang sedang memerhatikan dirinya.

Sampai akhirnya cewek berusia 16 tahun itu bangkit dari duduknya dan memutuskan untuk tidur.

Guling kanan.

Guling kiri.

Terlentang.

Aduh, entah kenapa Lengka tidak bisa tidur. Sudah sekitar 15 menit ia berada di tempat tidur tapi pada nyatanya ia tak bisa untuk terlelap.

Mungkin sedikit membaca buku akan membuat dia mengantuk, pikirnya. Detik selanjutnya, Lengka mengambil salah satu dari tiga novel yang tertumpuk di atas nakas.

Lengka mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Kedua kakinya ia lipatkan hingga menjadi sila, badannya ia sandarkan kepada kepala ranjang, lalu ia membaca dengan diterangi hanya lampu tidur saja.

Lagi-lagi gadis itu merasakan hal ini. Hal yang membuatnya gelisah kembali namun tanpa sebab.

Gadis yang menginjak kelas 2 SMA itupun kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamarnya. Tapi nihil, di kamarnya tak ada siapa-siapa.

Lengka mencoba kembali fokus pada buku yang dipegangnya. Sampai pada beberapa menit setelahnya, terdengar seseorang bersuara. "Lengka."

Suara bariton itu membuat sekujur tubuh Lengka merinding.

Pertama-tama ia menengok ke pintu memastikan yang memanggil itu bisa saja ayahnya, namun pada kenyataannya pintu kamar Lengka tertutup seperti posisi sebelumnya.

Kemudian Lengka mencoba menurunkan buku yang ada di hadapan wajahnya.

Detik berikutnya Lengka melotot.

Buku yang dipegangnya terlempar secara refleks mengenai wajah seseorang.

Namun buku itu tembus.

Lengka menganga.

Di tengah-tengah kasurnya ada sebuah kepala.

Hanya kepala saja.

Seperti menyembul dari bawah.

Bahkan lehernya pun tak terlihat.

Mulut dari bagian kepala itu tersenyum manis.

"Kk-kak-kakak?" Ucapan Lengka terbata.

"Apa kabar Lengka?" Sebuah kepala yang dipanggil Lengka sebagai kakak itu bertanya.

Lengka hanya menggeleng kaku. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Kepala itu hanya tersenyum geli. "Iya Lele, ini aku, Kak Ofal."

Lele adalah panggilan kesayangan yang diberi oleh Ofal kepada Lengka. Memang terdengar seperti nama ikan, tapi Ofal suka memanggil Lengka seperti itu, padahal Lengka sudah menolak keras nama panggilan itu.

"Ta-tapi," Lengka berdeham untuk menetralkan suaranya, "gimana bisa?"

Ofal, menampakkan seluruh bagian tubuhnya sekarang. Lalu ia melayang dan duduk di hadapan adiknya.

SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang