Prolog

71 12 3
                                    

Sebutan sebagai guru yang super duper sabar telah lama melekat pada dirinya.  Tepatnya dua puluh tahun sudah,  semenjak pertama kali dia menceburkan diri sebagai pengajar di sebuah SMA pedalaman di kotanya.  Sebagai sebuah sekolah pedalaman, tentu saja siswa-siswanya masih lugu dan polos. Selain itu,  mereka juga masih sangat sopan dan begitu menghargai guru.

Dia terlahir dari keluarga broken home. Sejak kecil dia tidak pernah tahu siapa dan seperti apa ayah kandungnya karena saat masih berumur dua bulan ayah ibunya sudah bercerai. Perceraian itu membawa dampak yang sangat besar dalam hidupnya. Dia menjadi orang yang sangat pendiam dan menutup diri dari laki-laki.

Di usianya yang remaja, ibunya memutuskan untuk menikah lagi dengan laki-laki yang lebih muda dan berkebangsaan Arab. Dari ayah tirinya dia memiliki seorang adik laki-laki. Namun tak lama adiknya meninggal dunia terkena penyakit campak.  Setahun berselang, abi yang sudah dianggapnya sebagai ayah kandungnya pun menyusul kepergian adik tirinya.

Berasal dari dua,  sekarang kembali menjadi dua. Dia kembali hidup berdua bersama ibu yang sangat dicintainya.   Kembali seperti masa lalu saat dia hidup berdua dengan ibunya.  Saat sang ibu bekerja, Oca,  begitu dia dipanggil,  dia harus pulang ke rumah budenya, karena kembali tidak ada siapapun di rumahnya.

Nama lengkapnya Rosalia Damayanti,  akrab dipanggil Alin.  Sekarang dia sudah menjadi wanita dewasa.  Umurnya 36 tahun. Namun di usianya yang segitu belum terlintas keinginan untuk menikah. Bahkan dekat dengan seorang lelaki pun tak  pernah. Dia normal,  senormal-normalnya,  namun trauma masa kecilnya membuat dia membenci laki-laki.

Bukan benci sih. Lebih tepatnya tertutup. Apakah dia tidak pernah jatuh cinta?  Entahlah. Tapi yang pasti
sebagai perempuan normal, Alin pernah menyukai seorang laki-laki. Dia adalah teman satu kampus. Wajahnya biasa saja namun perhatiannya yang luar biasa.  Alin sangat menyukai laki-laki perhatian. Sebaliknya,  dia sangat benci orang cuek karena baginya orang cuek itu jahat. Tidak sosialis,  padahal fitrohnya kita lahir sebagai makhluk sosial. Baginya orang cuek sangat bertentangan dengan sifatnya. Dia perhatian tapi tidak pernah membuka hatinya pada lelaki.  Tapi sekali lagi,  ini bukan cuek.

Zen,  nama panggilannya. Dia laki-laki yang penuh perhatian. Setiap momen tak pernah dia lewatkan untuk memberikan sesuatu atau sekadar ucapan, yang mungkin bagi orang lain tak penting.  Misalnya,  menguluk salam setiap bertemu diiringi senyuman manis. Dilanjutkan dengan pertanyaan, " kamu sehat?  Sudah sarapan? Masuk jam Berapa?  Dan sebagainya. Bagi Alin itu penting dan sangat membahagiakan.

Namun entah mengapa,  ternyata ketakutan akan kehilangan mengalahkan rasa sayangnya pada Zen. Hal itu terjadi saat Zen suatu hari mengungkapkan isi hatinya di kafe kampus.

"Lin,  sudah hampir setahun kita kenal dan dekat. Kurasa kamu juga sama sepertiku. Ku ingin hubungan ini bukan hanya sekadar hubungan pertemanan tapi lebih dari itu.  Kuliah kita sudah hampir kelar, ku juga sudah banyak cerita kamu ke keluargaku. Ayah dan ibuku setuju.  Gimana kalo hubungan kita berlanjut ke tunangan.  Nanti kalo kita dah lulus baru kita pikirkan lebih lanjut," ujar Zen panjang lebar sambil terus matanya tak berhenti menelusuri wajahku menunggu jawaban.

Kuhela nafas panjang sebelum kujawab ajakan Zen.

"Sebelumnya ku minta maaf Zen. Bukannya ku menolak ajakan baikmu. Oke,  ku juga punya perasaan yang sama denganmu. Tapi untuk menuju jenjang yang lebih dari hubungan ini,  kurasa belum saatnya. Ku masih harus menyelesaikan kuliahku dulu. Dan kurasa,  ku masih lebih senang kita bersahabat dulu, " jawab Alin sambil terus menunduk dan berusaha menahan butir bening yang telah menganak dipelupuk matanya.

Di luar dugaan,  Zen berdiri dan menepuk pundak Alin. Sambil tersenyum dia membisikkan kata,  "Oke Lin,  no problem. Ku paham kok. Kutunggu sampai kapan kau siap.  Sekarang ku kan pulang tuk menenangkan diri dulu. Kalo kau dah siap,  ku kan kembali," sambil berbisik begitu, Zen menghilang dari hadapan Alin.

Tinggallah Alin sendiri menekuri keputusannya.  Bulir bening yang sedari tadi ditahannya, kini jatuh dan jatuh membasahi pipinya yang merona kemerahan.

I Hate LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang