Kebahagiaan Yang Terenggut

28 8 6
                                    

Tiga bulan berlalu. Sejak peristiwa di kafe,  Zen tak pernah lagi nampak batang hidungnya sekalipun. Pernah terlintas penyesalan dalam diri Alin tapi sekali lagi trauma itu terus menghantuinya.  Hingga siang ini, usai kuliah seorang kakak kelasnya menyodorkan sebuah undangan pernikahan.

"Titipan buat kamu."
Hanya itu.

Alin melihat undangan berwarna merah jambu itu. Gambar sepasang angsa menghias bagian depannya. Tiga Maret 2017. Tiga Maret? Mengapa bersamaan dengan tanggal lahirku? Belum terjawab pertanyaan di benaknya, bagai disambar petir ketika diarahkan pandangannya ke tulisan besar di tengah.
ACHMAD ZEN ARIZAL putra bapak.....

Tak kuasa lagi Alin tuk membendung air mata. Tumpah ruah membasahi pipinya. Belum lagi tuntas kesedihannya,  tiba-tiba hp digenggamannya berdering. Terdengar suara yang tak dikenalnya di seberang menanyakan kebenaran namanya.

"Ya Pak,  betul nih saya Alin. Maaf Bapak siapa ya? "tanya Alin penasaran.

"Saya Pak Karno Lin," jawab orang yang di seberang singkat.

Pak Karno RT?  Ada apa ya!  Jangan-jangan....

"Betul Nak,  saya pak Karno RT.  Nak Alin ada di mana? "lanjut suara bariton Pak Karno seakan tahu tebakannya.

"Saya masih di kampus Pak.  Ada apa?"

"Kalau begitu Nak Alin segera pulang saja ya. Ditunggu." Belum sempat Alin bertanya kembali,  panggilan sudah ditutup.

Bergegas dia menuju tempat parkir dan mengambil matic pink kesayangannya.  Kali ini lajunya di atas normal,  yup 90. Sepanjang perjalanan pikirannya tak henti dan lekat pada wajah sang ibu. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.

Tikungan kecil di gang rumahnya dia lewati begitu saja.  Tampak orang berkerumun di sepanjang gang.  Terlewatkan olehnya,  bendera warna putih yang berkibar di tikungan tadi.  Namun lantunan surah Yasin menyadarkan lamunannya.  Ibunya telah berpulang, di saat dia sedang membutuhkan tempat berbagi dan bersandar.

Penyakit jantung yang selama ini diderita telah merenggut nyawa ibunya.  Keluarga satu-satunya yang dia miliki. Ibu yang telah menjadi belahan jiwanya. Meninggalkannya tanpa pesan apapun di saat dia berduka ditinggal oleh orang yang juga disayanginya, Zen.

Duka yang menimpanya sungguh mendalam.  Berhari-hari Alin meratapi kepergian mereka.  Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.  Bahkan saat para tetangga dan karibnya datang bertakziyah raut wajahnya selalu diselimuti mendung hitam tebal. Entah sampai kapan.

Kebahagiaan memang tak pernah berpihak padanya.  Tuhan tak pernah sayang padanya.  Dosa apa yang telah ia perbuat sehingga Tuhan marah padanya dan merenggut semua orang yang dicintainya.  Sungguh tidak adil. Begitu ratapnya selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan.

Kepergian dua orang yang sangat dicintainya, membuat dia patah semangat. Kehilangan arah.  Tak tahu lagi akan ke mana dan bagaimana.

I Hate LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang