Ujian untuk yang Masih Sendiri

877 50 45
                                    

"Wa, kapan nikah?" tanya Bu Dewi, guru senior di sekolah tempatku mengajar.

Pertanyaan klasik nan sederhana itu akhir-akhir ini sering memekakan telingaku. Nadanya tak keras, tapi aku tak suka. Suara sekecil apapun akan terdengar jika berhubungan dengan yang tak disuka. Benda sekecil apapun akan terlihat jika berhubungan dengan sesuatu yang tak disuka. Aku seperti menjadi over protective.

Andai bisa, ingin kuteriakan pada mereka yang bertanya "Aaah, please... jangan tanya itu! Aku juga mau nikah, tapi nanti! Nanti! Kalau saatnya tiba, kalian juga pasti bakal tahu."

"Aah, Nashwa belum tahu, Bu." nyatanya itulah yang keluar dari mulutku. Dengan senyum tersungging di mulut seperti seorang siswa yang ditanya gurunya tapi tak bisa menjawab, alhasil jawaban seadanya yang keluar disertai senyum dan tawa khasnya.

"De, kamu itu cantik, baik, udah kerja, apalagi yang kamu cari? Emang gak ada yang ngedeketin kamu?" suara Bu Tita terdengar dari belakangku. Ku berbalik melihat ke arah suara, duduk menyamping di kursi. Suka tak suka ku kembangkan senyumku padanya.

"Ibu cantik, baik, tahu enggak? Aku juga mau, tapi ya gimana lagi. Memangnya jodoh bisa datang sekeinginanku. Mmm, emang gak ada yang ngedeketin aku? Ha, emang aku harus menikah begitu saja dengan orang yang dekat denganku, enggak kan? Kecuali kalau datang langsung pada orang tuaku, mungkin bisa kupertimbangkan, Bu."

"Wa, ko diem?" Bu Dewi mengetuk meja kerjaku dengan pulpennya membuyarkan pikiranku. Senyum kembali kulemparkan pada Bu Dewi, lalu melirik ke Bu Tita. Tanpa sadar, semua yang ada di ruang guru terfokus padaku. Mereka seperti menunggu mulutku untuk terbuka. Karena aku di sini guru baru dan satu-satunya yang belum menikah, aku sering jadi pusat perhatian saat membahas topik seperti sekarang ini.

"Hmm, soal nikah, ya? Belum Allah pertemukan saja, Bu."

Tettt. Saatnya masuk kelas, jam istirahat telah selesai. Alhamdulillah, aku terbebas dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan kudengar lagi. Kuambil beberapa buku dan alat tulis, lalu keluar dari ruang guru menuju kelas XII Bahasa. Kuhilangkan dulu semua pikiranku tentang yang dibahas tadi. Kini saatnya akau bersenang-senang dengan anak-anakku di kelas.

***

Nikah. Momen indah yang memang diimpikan wanita yang sudah beranjak dewasa, khususnya aku. Awalnya aku tak pernah merasa resah ataupun malu karena belum menikah. Lagian aku masih merasa muda dan juga baru lulus kuliah. Masih banyak hal yang belum kuketahui dan belum kulakukan. Jadi ya, enjoy aja menikmati masa-masa sendiri.

Tapi sejak sering mendengar bisikan orang tentang nikah, entah apa yang terjadi padaku. Saat sedang sendiri tak ada pekerjaan, pasti saja aku kepikiran. Bahkan terkadang saat ditanya kapan nikah, aku merasa hal itu lebih terdengar sebagai sebuah ejekan. Seperti "Kok kamu belum nikah sih, gak laku ya?" Haha. Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi memang hal itu kadang melintas di benakku. Aku tahu, aku gak boleh bersuudzan. Aku juga kadang malu sendiri pada Dia yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Atau kata orang-orang, malu pada khimar yang kau kenakan. Tubuh dijaga tapi pikiran masih bebas berkelana.

Ya, aku belum sepenuhnya mampu menjaga pikiran, ucapan, dan perbuatanku dari hal-hal yang kurang baik. Mungkin pikiran burukku ini menjadi salah satu penghalangku bertemu kamu, calon imanku. Jadi aku harus terus belajar dan memperbaiki diri. Juga meluruskan niat. Jangan sampai hal-hal baik yang kulakukan hanya semata untuk memantaskan diri agar segera bertemu kamu yang disebut jodohku. Semua yang kupikirkan, semua yang kukatakan dan semua yang kulakukan harus diniatkan semata-mata untuk beribadah kepada Allah.

Rencana-Nya selalu lebih indah. Dia yang mengatur kapan saatnya aku dan kamu dipertemukan, di waktu yang paling tepat, di tempat yang paling baik, dan di suasana yang paling indah. Aku sangat percaya itu. Aku hanya perlu bersabar dan mengisi hariku dengan beribadah kepada-Nya.

***

Bel akhir belajar telah terdengar. Sangat nyaring di telinga para siswa. Dan jujur bagi kami juga sebagai guru. Setidaknya, kami bisa segera beristirahat setelah seharian jadi titik pusat perhatian siswa (siswa yang jiwa dan raganya terlibat dalam kegiatan belajar tentunya).

Setelah merapikan beberapa berkas, aku langsung pamit pulang pada guru yang lain. Ingin segera pulang dan sebenarnya menghindari tersambungnya percakapan waktu istirahat tadi. Namun belum sampai kakiku melangkah keluar pintu ruang guru, Bu Lina memanggilku. Deg. "Ada apa?" pikirku. Ternyata beliau memintaku menggantikannya untuk mengisi mentoring Rohis (rohani islam) besok siang. Aku iyakan saja, karena kurasa tak ada salahnya ku terima selama aku mampu.

Sampaikanlah walau satu ayat. Menurutku hadits itu merupakan salah satu perintah kepada kita sebagai seorang muslim untuk mensyiarkan kebaikan. Hadits itu juga yang memberi semangat kepadaku untuk menerima tawaran Bu Lina. Terlebih mengisi mentoring anak-anak SMA, rasanya menyenangkan sekali. Anak seumuran mereka sudah bisa berfikir kritis sehingga bisa berdiskusi dengan aktif. Dan anak seumuran mereka memang harus banyak dilibatkan dalam kegiatan mentoring seperti ini. Selain memberi ilmu tambahan, juga untuk menjaga mereka dari hal-hal negatif. Ya, anak seumuran mereka memang masih mencari jati diri dan sangat antusias untuk mencoba hal baru, sehingga harus banyak diberi pengarahan.

"Nanti Ibu kirim file materinya ke email Nashwa, ya?" ucap Bu Lina sambil menepuk bahuku.

"Siap, Bu!"

Aku berjalan ke arah tempat parkir sekolah. Tak jarang beberapa siswa menyapa. Puluhan motor berjejer rapi di parkiran. Mataku tertuju pada motor matic warna biru dan hitam. Ku berjalan ke arahnya. Setelah siap, kustarter motor maticku lalu melaju menuju kosan. Beberapa menit dari gerbang sekolah, terdengar olehku suara ambulance yang selalu membuat hatiku bergetar. Ada perasaan takut juga iba pada orang yang berada di dalam mobil tersebut.

Hampir setiap hari aku mendengar suara serupa karena posisi gedung sekolah tempatku mengajar hampir persis berseberangan dengan rumah sakit. Jadi tak heran aku sering mendengarnya. Kufokuskan kembali pikiranku mengendarai motor. Tak sampai tiga puluh menit aku telah sampai di kosan. Tempatnya memang tak terlalu jauh dari sekolah.

Setelah bersih-bersih, shalat ashar dan makan, kuhempaskan tubuhku ke ranjang sambil menghela napas. Rasanya nyaman sekali. Saat mataku akan terpejam, terdengar suara ponsel. Yaaah, gak jadi tidur. Kulihat ponselku, ternyata itu email dari Bu Lina. Aku penasaran Bu Lina ingin aku menyampaikan materi apa untuk mentoring besok. Email itu langsung kubuka. Deg. Kenapa harus tema itu? Astagfirullah.

Saat kubuka emailnya, tertera judul Perspektif Islam tentang Pacaran. Sebenarnya relevan untuk anak SMA. Tapi, apakah aku mampu mengajak orang untuk tidak melakukan sesuatu namun aku sendiri melakukannya? Mungkin mampu, tapi pantaskah?

NB: Terima kasih buat yang udah baca. Tunggu kelanjutan ceritanya juga ya... ^_^

Aku dan Kamu dalam Genggaman DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang